Home / Berita / Indonesia sebagai sasaran perang asimetris

Indonesia sebagai sasaran perang asimetris

Indonesia sebagai sasaran perang asimetris

Oleh Satrio Arismunandar

Indonesia saat ini menjadi target perang asimetris di berbagai sektor politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan. Jika pemerintah tidak tanggap dan tidak serius menghadapinya, kepentingan nasional bisa terancam.

Lembaga kepolisian Indonesia, Polri, baru-baru ini terguncang. Tiga anggota polisi tewas dalam sejumlah aksi “penembak misterius” pada Juli-Agustus 2013. Jika “serangan-serangan teror” terpisah ini dilakukan secara terencana oleh “pihak yang sama,” bisa jadi ini merupakan perang asimetris yang dilancarkan pihak tertentu terhadap institusi Polri khususnya dan aparat keamanan umumnya.

Dua anggota Polsek Pondok Aren, Tangerang Selatan –Aiptu Kus Hendratno serta Bripka Ahmad Maulana– tewas ketika sedang berpatroli malam di Jalan Graha Raya, akibat ditembak orang tidak dikenal pada 16 Agustus 2013. Lalu, rumah anggota Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Andreas Tulam, di Cipete, Pinang, Tangerang, ditembak orang tidak dikenal dengan air soft gun pada 13 Agustus 2013.

Sebelumnya, dua anggota polisi lain tewas ditembak orang tak dikenal. Aipda Patah Saktiyono tewas ditembak di Jalan Raya Cireundeu, Tangerang Selatan, pada 27 Juli 2013. Sedangkan Aiptu Dwiyatna ditembak dan tewas dalam perjalanan ke kantornya di Ciputat, Tangerang Selatan, pada 7 Agustus 2013.

Persoalannya bukan soal jumlah korban. Polri sudah kehilangan anggotanya dalam jumlah lebih besar di daerah konflik Aceh dan Papua. Tetapi serangan mematikan yang terkesan terencana dan terarah pada anggota polisi, di daerah yang relatif dianggap aman di seputar Jabodetabek, benar-benar di luar perkiraan. Serangan berpola “perang asimetris” tersebut, apapun motifnya dan siapapun pelakunya, jelas telah menjatuhkan moral jajaran kepolisian.

Apakah sebenarnya yang disebut perang asimetris (asymmetric warfare) itu? Perang asimetris adalah perang antara pihak-pihak yang memiliki perbedaan signifikan dalam kekuatan militer, strategi, atau taktik. Peperangan semacam itu sering melibatkan strategi dan taktik perang yang non-konvensional, di mana pihak yang lebih lemah berusaha menggunakan strategi untuk mengimbangi kekurangannya dalam kuantitas maupun kualitas. Strategi itu mungkin tidak harus bersifat militer.

Gerilya, Pemberontakan, dan Terorisme

Perang asimetris berbeda dengan perang simetris (symmetric warfare), di mana dua pihak yang bertikai memiliki kekuatan militer dan sumberdaya yang setara, sehingga mereka juga menggunakan taktik-taktik yang secara keseluruhan mirip. Perbedaannya hanya dalam hal rincian dan cara eksekusi.

Istilah “perang asimetris” ini sering digunakan dalam menganalisis perang gerilya, pemberontakan, terorisme, kontrapemberontakan, dan kontraterorisme. Semua itu pada dasarnya adalah konflik kekerasan antara militer formal melawan musuh yang informal, kurang memiliki perlengkapan, dukungan, ataupun personel, tetapi ulet.

Popularitas istilah ini berawal dari artikel Andrew J.R. Mack (1975) di World Politics, berjudul “Why Big Nations Lose Small Wars.” Di sini “asimetris” secara sederhana diartikan sebagai kesenjangan kekuatan yang signifikan antara pihak-pihak yang bertentangan dalam konflik. “Kekuatan” di sini secara luas disamakan dengan kekuatan material, seperti jumlah tentara yang besar, persenjataan canggih, ekonomi yang maju, dan seterusnya.

Meski konsep ini sempat diabaikan pada masa itu, analisis Mack ternyata memancing minat baru sejak berakhirnya Perang Dingin tahun 1990-an. Pada 2004, militer Amerika secara serius mulai mempertimbangkan kembali problem-problem yang terkait dengan perang asimetris.

Dalam menelaah konsep ini, para akademisi cenderung lebih berfokus pada upaya untuk menjelaskan teka-teki: Mengapa pihak yang lemah bisa menang dalam perang? Jika “kekuatan” secara konvensional dianggap mendukung tercapainya kemenangan dalam perang, bagaimana kita bisa menjelaskan kemenangan pihak yang “lemah” terhadap yang “kuat?”

Penjelasan kunci itu mencakup: (1) interaksi strategis; (2) kesediaan pihak yang lemah untuk lebih banyak menderita atau menanggung biaya lebih besar; (3) dukungan eksternal pada pihak yang lemah; (4) keengganan untuk mengeskalasi kekerasan dari pihak yang kuat; (5) dinamika kelompok internal; dan (6) tujuan-tujuan perang dari pihak kuat yang terlalu berlebihan.

Kemenangan Pihak yang Lemah

Konflik-konflik asimetris, termasuk perang antar-negara dan perang saudara, selama sekitar 200 tahun terakhir, biasanya dimenangkan oleh pihak-pihak yang kuat. Namun sejak 1950, pihak-pihak yang lemah telah memenangkan mayoritas dari seluruh konflik-konflik asimetris.

Keberhasilan taktis perang asimetris tergantung pada setidak-tidaknya beberapa asumsi. Ketidak-unggulan teknologi biasanya bisa diatasi dengan menyerang infrastruktur yang lebih rapuh, yang bisa menjadi sasaran dengan dampak yang sangat merusak. Penghancuran jaringan tenaga listrik, jalan raya, dan sarana air minum di wilayah yang berpenduduk padat, misalnya, bisa berdampak dahsyat secara ekonomi dan melemahkan moral. Pada saat yang sama, pihak yang lemah justru sulit diserang karena mereka lebih lincah bermanuver dan memang tidak memiliki struktur seperti itu sama sekali untuk diserang.

Salah satu taktik yang bisa dilakukan dalam perang asimetris adalah penggunaan unsur-unsur non-pemerintah, yang biasanya secara diam-diam memiliki koneksi atau bersimpati pada kepentingan negara tertentu. Ini bisa disebut juga war by proxy (perang oleh seseorang yang diberi wewenang untuk bertindak demi kepentingan pihak lain).

Perlawanan gerilyawan Hizbullah di Lebanon (yang didukung Iran dan Suriah) melawan militer Israel, yang secara jumlah pasukan dan persenjataan militer lebih unggul, termasuk war by proxy. Perlawanan gerilyawan mujahidin, yang didukung oleh sejumlah negara Arab, Amerika, dan anggota NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara), dalam upaya meruntuhkan rezim Bashar al-Assad di Suriah, juga termasuk kategori ini. Contoh lain adalah dukungan pemerintah Amerika terhadap gerilyawan Contra di Nikaragua.

War by proxy biasanya dilakukan agar dapat memberikan bantahan keterlibatan (deniability) di pihak aktor negara yang terlibat. Kemampuan membantah itu diperlukan agar aktor negara tidak tercemar oleh dampak negatif tindakan tersebut, sehingga memungkinkan ia bernegosiasi dengan seolah-olah ada niat baik. Aktor negara akan mengklaim bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan pihak-pihak yang sekadar simpatisan. Hal itu juga menghindarkan aktor negara dari tuduhan suka berperang atau melakukan kejahatan perang.

Perang Asimetris oleh OPM

Dalam konteks Indonesia, sudah ada kasus pendirian kantor perwakilan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang dipimpin Benny Wenda di Oxford, Mei 2013. Seandainya pemerintah Inggris benar-benar serius mendukung berdirinya kantor OPM, hal itu juga bisa dikategorikan sebagai war by proxy. Situasi semacam ini bukan cuma dialami Indonesia, karena banyak kelompok separatis juga mendirikan kantor perwakilan di Inggris, seperti Gerakan Tibet Merdeka, yang ingin melepaskan negeri Tibet dari kekuasaan China.

Pertempuran antara Israel melawan beberapa organisasi pembebasan Palestina, seperti Hamas dan Jihad Islam, adalah contoh klasik perang asimetris. Israel memiliki angkatan darat, laut, dan udara yang sangat kuat, sedangkan pihak Palestina tak memiliki akses terhadap persenjataan militer skala besar untuk mengadakan operasi militer. Maka, mereka memanfaatkan taktik-taktik asimetris, seperti baku tembak dengan senjata ringan, penembakan jitu lintas perbatasan, serangan roket, dan bom bunuh diri.

Sebetulnya tidak ada yang betul-betul baru dalam konsep perang asimetris. Pihak yang lebih kecil mengerahkan kekuatannya terhadap titik-titik lemah dari pihak yang lebih besar. Inilah yang dilakukan para gerilyawan di Amerika Selatan, Kuba, Chechnya, dan oleh para laskar pejuang kemerdekaan Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda. Meski konsepnya tidak baru, perang asimetris sekarang memiliki dimensi baru dan pengertian lebih luas.

Perang asimetris tidak cuma menggunakan cara-cara militer, tetapi juga meluas ke taktik disinformasi (propaganda), tekanan ekonomi, pengaruh sosial-budaya, selain tentunya pertahanan-keamanan. Keberhasilan tokoh individual semacam Ramos Horta, yang berkampanye dari satu negara ke negara lain, terbukti berhasil memojokkan Indonesia terkait isu Timor Timur dalam forum internasional.

Kita tahu, ujung perang asimetris yang dilancarkan Horta, aktivis-aktivis LSM (termasuk sejumlah aktivis LSM Indonesia sendiri), dan para pendukungnya, adalah terwujudnya referendum yang penuh rekayasa, yang memang sudah didesain untuk melepaskan Timor Timur dari Indonesia. Benny Wenda dan sejumlah aktivis OPM lain kini mencoba resep yang sama dalam kasus Papua.

Di bidang ekonomi, Indonesia yang sedang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan nilai rupiah terhadap dollar AS, penurunan IHSG (indeks harga saham gabungan), turunnya nilai ekspor, bahkan ada yang mengatakan berpotensi jatuh ke dalam krisis ekonomi baru, juga sangat rawan menghadapi perang asimetris di bidang informasi dan ekonomi. Jika kepercayaan rakyat terhadap pemerintah merosot, sedikit isu atau disinformasi tentang perbankan yang bangkrut atau industri padat karya yang mau ditutup, bisa memicu gangguan ekonomi, bahkan kerusuhan sosial.

Menghadapi ancaman perang asimetris tidak bisa dilawan dengan cara-cara konvensional atau pendekatan militer semata. Para perencana strategi di Amerika dan Inggris, yang secara serius mempelajari taktik-taktik perang asimetris, menyadari bahwa bagian penting dari strategi itu bersifat “psikologis.” Hal ini dilakukan oleh pasukan khusus Inggris, SAS, ketika melakukan operasi melawan para “pemberontak” di Malaya pada 1950-an dan Oman pada 1960-an dan 1970-an.

Sedangkan Amerika, dalam memerangi “terorisme,” juga menggunakan berbagai macam front: politik, diplomatik, finansial, dan ekonomi. Bahkan Amerika siap membiayai upaya perubahan kurikulum di pesantren-pesantren di Indonesia, yang dianggapnya rawan sebagai tempat pembibitan radikalisme anti-Amerika dan potensi-potensi terorisme!

Dengan latar belakang seperti itu, pemerintah Indonesia perlu lebih serius memperhatikan ancaman perang asimetris ini. Skala ekonomi Indonesia yang semakin besar, dan peran politiknya di kancah internasional yang juga semakin besar, tidak lantas membuat Indonesia jadi lebih aman. Tetapi posisi ini justru menghadirkan potensi-potensi rawan untuk diserang lewat taktik-taktik perang asimetris.

Jakarta, 25 Agustus 2013
(Tulisan untuk Majalah AKTUAL)

About admin

Check Also

Era Post-Truth dan Fenomena Hoax

Mengenal apa pengertian era post-truth, contoh-contohnya, hingga sejarah kemunculannya di Indonesia. Simak selengkapnya di sini, ...