Jika bicara konfrontasi terbuka, sebenarnya cukup dengan 1000-an roket dari Aceh atau Medan niscaya Singapura bakal minta-minta ampun angkat bendera putih, kayak Israel sewaktu menggelar operasi militer bertajuk Pillar of Cloud dan Cast Lead di Palestina.
Persoalannya, bangsa ini telah dilumpuhkan pemahaman geopolitik, dilemahkan dari sisi internal dengan paket DHL (demokrasi, HAM dan lingkungan), korupsi, konflik komunal, dll sehingga sibuk di tataran hilir, kepruk-keprukan antar sesama warga sendiri. Tapi saya yakin, suatu ketika akan tiba saatnya!
Ingat! Bukankah zaman Bung Karno (BK), Indonesia itu “mimpi buruk” bagi Singapura karena visi BK terhadap neokolonialisme? Zamannya Pak Harto mungkin merasa aman karena katanya Pak Harto “mentor“-nya Lee.
Manakala Pak Harto jatuh dan Habibie naik, Lee panik! Buru-buru menemui Habibie untuk membangun komitmen namun ditolak dengan alasan RI pasti dirugikan, apalagi Habibie punya mimpi bahwa Sabang, Batam dan Bintan akan mampu mengalahkan Singapura.
Di mata Habibie, Singapura tidak ada apa-apanya. Mudah sekali untuk dikalahkan. Habibie juga geram dan marah kepada Singapura yang selama ini dianggap “menghancurkan” RI secara sistematis. Disini Lee meradang. Dan diyakini ia memiliki peran dalam penjatuhan Habibie via penolakan pertanggung-jawaban di MPR-RI, setidak-tidaknya Singapura membantu uang dan opini!
Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate GFI
Source: The Global Review