Home / Ensiklopedia / Ekonomi / Indonesia di Ambang Krisis Pangan

Lahan-lahan pertanian terus menyusut akibat pengalihan fungsi menjadi perumahan dan industri. Padahal, tahun 2030, Indonesia butuh setidaknya 15 juta hektare lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan 280 juta penduduk. Krisis pangan menanti jika konversi lahan pertanian tak dicegah. 

Indonesia di Ambang Krisis Pangan

Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan, dalam kurun waktu 2004-2009, alih fungsi lahan pertanian di Indonesia mencapai 15.999,60 hektare atau rata-rata seluas 3.199,92 hektare per tahun. “Untuk industri dan perumahan mencapai sekitar 6.000 hektare,” kata Deputi Kepala BPN Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, Yuswanda, kepada GATRA.

Secara umum, dalam kurun waktu 30 tahun belakangan, Indonesia telah kehilangan sekitar dua juta hektare lahan pertanian. Pada 1981-1999 saja, sebanyak 1,6 juta hektare sawah beralih fungsi, dengan satu juta hektare di antaranya terjadi di Pulau Jawa. Sementara itu, pada 1999-2002, konversi sawah mencapai 563.000 hektare. Sebagian besar lahan sawah itu beralih fungsi menjadi perumahan (58,7%), non-sawah (21%), dan lainnya (19,5%).

Peneliti pada Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor (PSP3-IPB), Ivanovic Agusta, mengatakan bahwa semakin cepatnya laju konversi lahan pertanian itu terjadi akibat pertanian yang kian terabaikan. Sejak tahun 1991, pertanian tak lagi menjadi prioritas pembangunan. “Arah prioritas pembangunan pemerintah adalah industri,” katanya.

Perubahan suatu negara dari agraris menjadi negara industri, menurut guru besar ekonomi pertanian IPB, Hermanto Siregar, sebenarnya merupakan hal yang lumrah. “Secara alamiah, negara maju pasti mengarah pada industri,” ujarnya. Celakanya, Indonesia kurang cepat dalam mengantisipasi hal ini. “Indonesia kurang cepat dalam pengembangan mekanisme industri sektor pertanian,” tambahnya.

Alhasil, upaya pemerintah menghambat laju alih fungsi lahan persawahan dengan cara menerbitkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang PLPB terasa percuma. Apalagi, secara teknis, aturan ini harus ditindaklanjuti daerah-daerah hingga tingkat kabupaten dalam bentuk perda. Hal itu jelas tak mudah direalisasikan dalam waktu cepat.

Tren Impor Bakal Terus Naik

Berdasarkan data Tim Koordinasi Pemantauan Luas Sawah tahun 2011, luas lahan sawah di Indonesia saat ini hanya 8,1 juta hektare.

Berpegang pada data ini, Indonesia masih membutuhkan setidaknya tujuh juta hektare lahan baru agar kebutuhan pangan tahun 2030 tercukupi. Jika tidak, diperkirakan skenario krisis pangan akan terjadi. Pasalnya, alih-alih menggenjot, Indonesia malah terus kehilangan lahan pertaniannya. “Laju alih fungsi lebih cepat dari pembukaan lahan baru,” kata Sumarjo Gatot Irianto, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian.

Padahal, untuk mengejar target cadangan beras 10 juta ton pada 2014 saja, pemerintah mencanangkan pencetakan 200.000 hektare lahan sawah baru. “Tahun ini, targetnya 100.000 hektare lebih,” kata Gatot. Dana yang dikucurkan untuk program ini mencapai Rp 1 trilyun. Sayangnya, realisasi program ini baru mencapai 25%-30% alias baru tercetak 25.000-30.000 hektare sawah baru.

Said Abdullah, pengamat masalah pangan dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, mengatakan bahwa dengan asumsi tingkat konversi lahan 110.000 hektare per tahun, diperkirakan pada 2014 Indonesia berpotensi kehilangan 2,5 juta ton gabah atau setara dengan 1,58 juta ton beras. “Itu dengan asumsi produktivitas sawah per hektare mencapai 5 ton,” katanya.

Dengan demikian, tekad pemerintah memiliki cadangan beras 10 juta ton akan sulit tercapai, kecuali dengan meningkatkan impor. Karena itu, tren impor pangan juga diperkirakan akan naik. Tahun lalu saja, pada semester pertama, Indonesia mengimpor beras 1,9 juta ton, dengan nilai setara Rp 8,5 trilyun. Itu hanya untuk beras, padahal pertanian pangan lain, seperti jagung, kedelai, bawang putih, dan bawang merah, selama ini juga mengandalkan impor.

Saat ini, sekitar 65% kebutuhan pangan nasional dipenuhi lewat impor. Bahkan, menurut Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Pusat, Martin Hutabarat, angka impor pangan Indonesia pada 2011 secara total mencapai Rp 125 trilyun.

SBY Perintahkan Investigasi Jatuhnya Sukhoi

Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan investigasi untuk mencari sebab jatuhnya pesawat Sukhoi. “Saya berharap investigasi terus dilakukan saksama,” katanya pada konferensi pers di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta pada Kamis, 10 Mei 2012.

Ia juga menginstruksikan semua upaya dilakukan untuk menyelamatkan para korban jiwa yang berjumlah 40 orang lebih, yang kebanyakan warga negara Indonesia.

Untuk itu, Presiden telah menginstruksikan agar semua penyelamatan oleh SAR ini disegerakan.

“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Oleh karena itu penyelamatan korban jiwa kalau masih ada yang bisa diselamatkan menjadi prioritas, dan tentunya tugas-tugas SAR yang lain,” tegasnya.

Kabar terakhir dari alat telekomunikasi Badan SAR Nasional, pesawat Sukhoi jenis Superjet SJ 100/95 telah ditemukan di kawasan Cijeruk, Loji, Gunung Salak, Kamis, 10 Mei. Dia berada di arah utara ke selatan Batu Tapak, ketinggian 5.200 kaki, Gunung Salak.

Pesawat tersebut ditemukan pecah berkeping-keping menabrak tebing. Dalam paparan di Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma, Kamis, helikopter Tim SAR gabungan bisa memfoto dan memvideokan sisa-sisa pesawat terbang buatan Rusia itu.

Kondisi Sukhoi itu digolongkan ke dalam kategori “total loss”. Pecahan Sukhoi terbagi menjadi tiga sebaran di dinding jurang Kawasan Cirurug, Gunung Salak.

Data yang diperoleh menyatakan titik koordinat persis seperti koordinat saat kontak dengan menara pengendali penerbangan.

Rusia Bentuk Tim Investigasi Sukhoi

Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev, telah membentuk suatu komisi khusus untuk menyelidiki masalah yang menimpa pesawat Sukhoi Superjet 100 (SSJ 100) di Indonesia.

Menurut kantor berita RIA Novosti, PM Medvedev menunjuk Yury Slyusar, yang merupakan pejabat dari Kementerian Industri dan Perdagangan Rusia. Komisi ini juga melibatkan pejabat dari Kementerian Luar Negeri dan Korporasi Pesawat Bersatu Rusia.

Pesawat Sukhoi Superjet 100 merupakan pesawat buatan Rusia yang telah mendapat sertifikat kelayakan terbang dari Badan Keselamatan Penerbangan Eropa (EASA) tahun 2010. Pesawat ini hilang kontak kala melakukan penerbangan demo.

Menurut kantor berita Reuters, Sukhoi telah memiliki 170 pesanan SSJ 100 ke mancanegara, termasuk Indonesia. Perusahaan itu bahkan berencana memproduksi 1.000 unit SSJ dan diprioritaskan untuk pasar luar negeri.

Sukhoi pun untuk saat ini berencana menjual 42 unit SSJ 100 ke Indonesia, yang dipandang memiliki pasar penerbangan komersil yang berkembang pesat. (IRIB Indonesia/Gatra/Media Indonesia/Antara/Vivanews)

 

About admin

Check Also

Investasi Cina, Salami Slicing?

Demi tanah air, benar-tidaknya perangkap dalam investasi asal Cina, tetap perlu dicermati. Sikap skeptis, tidak ...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *