Pada kesempatan hari ini, tepatnya 12 Februari 2021, tercatat sebagai momentum Tahun Baru Imlek 2572. Artinya perhitungan tahun Imlek sudah mencapai 2500 tahun lebih. Ada baiknya kita analisa sejarah Imlek dan makna kemunculannya yang diambil dari artikel yang sudah diposting di Republika.Co.Id pada tahun 2019 lalu.
Di Cina sendiri, Imlek dikenal dengan nama pesta musim semi
Imlek diperingati dan dirayakan keturunan Tionghoa di mana pun, termasuk di Indonesia. Di Cina sendiri, Imlek dikenal dengan nama pesta musim semi. Dalam pesta ini ditampilkan berbagai pertunjukan seperti barongsai dan naga-nagaan yang terbuat dari kertas, pesta semacam ini juga dijumpai di Indonesia.
Di Beijing, disebut dengan Chuenjie untuk istilah lain dari pesta musim semi itu. Masyarakat akan memasang spanduk beraneka warna dan menyalakan kembang api. Imlek dirayakan semua etnis Cina beragama Kong Hu Cu maupun Budha dan juga yang menganut ajaran Tao.
Perayaan Imlek disambut gembira dengan latar belakang kebudayaan Cina. Biasanya, pada tahun baru Imlek umat Kong Hu Cu dan umumnya etnis Cina mengadakan sembahyang sebagai perganitan tahun baru. Hari raya Imlek biasanya jatuh bulan kedua tarikh Masehi, yaitu pada Februari.
Dulu, tahun baru imlek dirayakan meriah selama 15 hari, mulai dari 1 Cia-Gweei sampai 15 Cia-Gwee dan dirayakan sebagai hari raya Cap Go Meh. Tahun baru Imlek atau Sin Cia jatuh pada tanggal satu bulan Cia Gwee atau bulan pertama penanggalan tarikh Kongcu. Tarikh Kongcu merupakan sistem penanggalan dari Dinasi He 2205-1766 SM yang perhitungannya berdasarkan peredaran bulan dan matahari. Sistem pennggalan inilah yang masih digunakan sampai saat ini yang dikenal sebagai penanggalan Imlek.
Ada beberapa pendapat mengenai asal mula perayaan Imlek. Pertama perayaan Imlek dikaitkan dengan dimulainya musim semi di Cina. Atau disebut juga Cun, sehingga pada hari tahun baru Cina itu mengucapkan selamat dengan Sin Cun Kiong Hi. Terlebih setiap tanggal 15 dari tiap bulan tahun imlek adalah bulan purnama. Realitas tersebut sangat membantu petani dan nelayan untuk melihat situasi untuk bercocok tanam atau pergi ke laut.
Pendapat kedua yakni awal imlek dikaitkan dengan kisah Giok Hong Siang Tee yang menitis ke muka bumi dan menjadi seorang Raja. Ketiga adalah hari lahirnya Bi Lek Huda atau O Mi To Hud atau A Mi Tou Fo yang berarti Buddha.
“Kebudayaan cina hampir setiap zaman mempunyai tantangan terutama dari bangsanya sendiri. Oleh karena itu sistem pertahanan budaya bagi mereka adalah secara Individu. Secara Individu etnis Cina sangat menyukai dan menyenangi kebudayaan mereka sehingga ke mana pun pergi, identitas budaya mereka akan tetap terlihat. Fenomena identitas budaya menunjukan loyalitas mereka terhadap kebudayaan leluhur mereka walaupun hidup di perantauan,” tulis Rani Usman Dalam Etnis Cina Perantauan Di Aceh.
Sementara ribuan tahun lalu kerajaan-kerajaan Nusantara telah berhubungan dengan orang-orang Cina dengan melakulan perdagangan. Seiring berjalannya waktu asimilasi kebudayaan pun terjadi. Misalnya dalam kesenian reog yang kerap dimainkan berbarengan dengan barongsai. Begitu pun perayaan imlek yang dipadukan dengan budaya lokal setempat. Seperti perayaan Imlek di Solo yang dimeriahkan dengan tradisi grebek Sudiro.
Meski demikian, perayaan Imlek di Indonesia sempat di larang. Pemerintahan Orde Baru saat itu menolak Imlek termasuk segala hal yang berbau Cina semisal pertunjukan barongsai. Penolakan pemerintah terhadap hal-hal yang berbau Cina ditegaskan dengan keluarnya intruksi presiden nomor 14 tahun 1967.
“Akibatnya sering mereka harus melakukan kegiatan di tempat pemeluk agama Budha. Diskriminasi terhadap masyarakat luar jawa juga terjadi, perlakuan ini menjadi bom waktu yang terbukti meledak setelah Soeharto lengser,” tulis Guruh Dwi Riyanto dan Pebriansyah Ariefana dalam Rapor Capres.
Setelah Orde Baru runtuh, warga Cina di Indonesia mulai perlahan dapat terbuka menunjukan budaya tradisinya. Terlebih Presiden Abdurahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur mencabut Inpres tersebut dan menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 19 tahun 2001 tanggal 9 April 2001. Isinya meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif.
Di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarono Putri pada 2003, Imlek secara resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional. “Dia (Gus Dur) dan anggota kabinetnya menghadiri perayaan tahun baru Imlek Februari 2000 di Jakarta, perayaan yang di organsasi oleh Matakin,” tulis Wibowo dan Thung Ju Lans dalam Setelah Air Mata Keing.
Kini Imlek sama meriahnya dengan perayaan hari besar di Indonesia. Setiap pusat perbelanjaan modern menghias diri dengan pernak-pernik Imlek. Bahkan media masa pun berlomba-lomba membuat acara yang bernuansa Imlek. Menyadur ungkapan Lan Fang dalam buku Imlek Tanpa Gus Dur, mengucapkan Gong Xi Fa Chai sama meriahnya dengan saat mengucapkan minal aidzin wal foto atau Merry Christmas.
Source: Republika.Co.Id
Rep: Andrian Saputra
Red: Karta Raharja Ucu