بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saat penulis belajar Metodologi Hukum Islam (ushûl fiqh), tepatnya pada semester enam, penulis merasa terkesima dengan penjelasan dosen yang begitu memakau.
Beliau menerangkan bahwa pencetus ilmu ini, yaitu Imam Syafi’i dengan karyanya yang berjudul ar-Risâlah pernah ditanya oleh seseorang, “Wahai Imam apa hukuman untuk seseorang jika membunuh orang?”
Sang Imam pun menjawab bahwa membunuh orang adalah perbuatan haram yang dilarang agama, yang pelakunya tidak dimaafkan dan akan dimasukkan ke dalam neraka.
Beberapa hari kemudian ada orang lain yang bertanya lagi kepada Imam Syafi’i tentang pertanyaan yang sama. Kemudian Imam Syafi’i menjawab bahwa membunuh adalah perbuatan dosa, akan tetapi pelakunya bisa mendapatkan ampunan Tuhan apabila bertaubat dengan sungguh-sungguh.
Murid Imam Syafi’ie pun terheran-heran dengan gurunya ini, bagaimana mungkin pertanyaan yang sama dijawab dengan dua jawabanya berbeda; yang satu pelakunya tidak akan dimaafkan dan dimasukan ke dalam neraka, sedangkan yang satunya lagi bisa mendapatkan ampunan.
Kemudian Imam Syafi’ie menjawab, “Wahai muridku tahukah engkau bahwa orang pertama yang menanyakan ini sedang menaruh dendam dan ingin melakukan pembunuhan. Makanya saya jawab dengan tegas bahwa pelaku pembunuhan tidak akan dimaafkan dan akan dimasukkan dalam neraka. Dengan jawaban ini semoga orang itu tidak akan melakukan pembunuhan.”
Sedangkan orang kedua yang menanyakan ini adalah orang yang pernah membunuh orang, sehingga saya jawab bahwasanya pelaku pembunuhan akan tetap mendapatkan ampunan asalkan mau bertaubat dengan sungguh-sungguh. Semoga dengan jawaban ini dia mau bertaubat dan mengerti bahwasanya ampunan Allah itu maha luas.
Kemudian Muridnya bertanya lagi, Wahai guru dari mana engkau bisa mengetahui hal itu, maka Imam Syafi’ie menjawab saya melihat dari sorot matanya.
Ternyata dalam memberikan fatwa ini, Imam Syafi’ie tidak hanya menggunakan pendekatan ilmu fiqih saja akan tetapi juga menggunakan Ilmu firasat, yaitu suatu ilmu yang digunakan untuk membaca karakter seseorang dengan melihat anggota tubuhnya.
Walaupun cerita mengenai ilmu firasat ini mashyur akan tetapi Imam Syafi’i tidak membukukannya dalam sebuah buku. Imam Syafi’ie hanya membukukan ilmu yang berkaitan dengan agama saja, seperti kitab al-Umm dan ar-risalah.
Sedangkan ulama yang membukukan ilmu firasat ini adalah Imam ar-Razi dalam kitabnya yang berjudul “Al-Firâsat Dalîluka Ilâ Makrifatil Ahlâqin Nâs”. Dalam dunia modern ilmu firasat dinamakan dengan ilmu Fisiognomi.
Yang lebih menarik adalah ada naskah nusantara yang mencatat secara apik mengenai ilmu firasat Imam Syafi’ie ini. Penulis menemukan ada dua naskah yang merekam ilmu firasat Imam Syafi’ie ini. Naskah pertama dengan judul “Wirasat Sapi’i” dan naskah kedua berjudul “Pirasating Sujalma Miwah Katurangganing Wanita”.
Naskah pertama ini merupakan koleksi Perpustakaan Nasional, dengan nomor panggil Br 8. Naskah ini menggunakan bahasa Jawa dan beraksara Arab-Pegon. Dalam naskah ini bisa kita temukan ilmu firasat Imam Syafi’i untuk mengetahui karakter seseorang, baik itu perempuan ataupun pria.
Naskah ini memberikan informasi yang cukup detil mengenai karakter seseorang dilihat dari wajahnya. Ada delapan Aspek dalam wajah yang perlu dicermati untuk bisa menilai karakter seseorang yaitu bentuk kepala, rambut, dahi, alis, telinga, mata, hidung dan bibir. Setiap bentuk dari delapan aspek ini akan menunjukan karakter yang berbeda.
Agar lebih mudah, penulis sajikan salah satu aspek dari delapan wajah tersebut, yaitu aspek hidung.
Sedangkan naskah kedua merupakan koleksi dari Perpustakaan Museum Kirti Griya Taman Siswa Yogyakarta dengan nomor panggil MTS.DKG.Bb.1073. Naskah ini ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Krama dan dengan menggunakan aksara Jawa.
Dalam naskah ini diceritakan banyak kisah tentang Imam Syafi’ie dalam menerapkan ilmu firasatnya. Di antaranya, Imam Syafi’ie bisa menjelaskan dua anak dari seorang perempuan, bahwa anak perempuan tersebut yang satu adalah hasil pernikahan yang sah dan yang satunya adalah sebab zina.
Dalam naskah ini juga diceritakan ketika Imam Syafi’ie sempat merasa bimbang karena ilmu firasat yang dimiliki meleset untuk mengetahui kharakter seseorang akan tetapi pada akhirnya memang benar bahwa Ilmu firasat Imam Syafi’i itu tepat.
Menurut hemat penulis bahwa ilmu firasat itu berasal dari ilmu titen atau ilmu pengamatan dengan menggunakan landasan kaidah fiqih al-‘Âdah al-Muhakkamah (Adat bisa dijadikan hukum). Artinya, ilmu ini telah diterapkan kepada banyak orang sehingga muncul suatu kesimpulan atau adat bahwa orang yang memiliki hidung panjang akan memiliki karakter ini dan yang memiliki hidung pendek akan memiliki karakter itu.
Dalam naskah ini diterangkan bahwa untuk mengetahui karakter seseorang harus diperhatikan 18 aspek. Berbeda dengan naskah pertama yang hanya menyebutkan delapan aspek saja.
Kedelapan belas aspek tersebut dimulai dari bentuk kepala, rambut, bulu, dahi, alis, telinga, mata, hidung, bibir, gigi, dagu, suara, jenggot, leher, bahu, dada, perut, serta betis.
Hal ini menunjukan bahwa naskah kedua memberikan informasi yang lebih komprehensif dalam menerangkan ilmu firasat daripada naskah yang pertama. Dalam naskah kedua ini juga ditambah ilmu firasat untuk mengetahui karakter seorang perempuan.
Bahkan bisa dikatakan naskah ini cukup informatif dalam mengabarkan karakter kaum Hawa ini. Tentu saja ya, informasi ini dari sudut pandang laki-laki yang bisa dinilai amat misoginis (Imam Syafi’ie laki-laki bukan?). Hal ini karena naskah ini menyajikan lebih dari tiga puluh aspek untuk mengetahui karakter perempuan.
Sebagaimana contoh naskah ini menuliskan:
“Yen kuning pawakanipun, akas rema tur apanjang, ing pucuk lemes tur dadi, dhasar aking sakunira, punika estri kinaot, abener pangucap ira, iku wong estri srepen, ing candranipun pinunjul, ingaran retna kencana”
Terjemahan:
“Kalau kuning badannya, rambutnya panjang dan lurus serta di pucuknya lembut dan pekat, kakinya kurus kecil itu istri yang baik yang diucapkan selalu berupa pengetahuan yang benar memiliki kelebihan yang disebut mutiara kencana”.
Pada halaman 30, naskah ini juga menerangkan bahwa perempuan yang mempunyai kulit putih banyak bicaranya serta memiliki rambut lurus dan panjang menunjukan bahwa karakter perempuan yang banyak mendatangkan kenikmatan, banyak diberkahi Tuhan serta khusyu‘ dalam beragama.
Dan masih banyak lagi aspek-aspek lainnya di dalam naskah ini yang menggambarkan secara jelas karakter perempuan. Bahkan dalam salah satu kitab yang berjudul “Fathul Izâr”, wajah perempuan pun juga menunjukan bagaimana organ intimnya.
Dalam kitab tersebut dituliskan:
“Para ahli firasat berkata bila mulut seorang wanita lebar maka besar pula organ intimnya. Bila mulutnya kecil begitupun juga dengan organ intimnya. Bila kedua bibir wanita tebal, maka tebal pula bibir organ intimnya.”
Dalam budaya patriarkis-misogonis, cukuplah laki-laki dengan bermodal ilmu ini untuk memilih perempuan yang mau dijadikan istrinya. Tapi apakah ilmu ini masih masuk akal sekarang? Apakah ilmu ini menghormati hak-hak perempuan untuk menerima atau menolak laki-laki, bahkan menolak “kodrat” perempuan untuk menjadi istri seperti Rabiah al-Adawiyah?
Oleh: Ahmad Khalwani
Source: Alif.Id