Home / Agama / Kajian / Imam Madzhab yang Selalu Tolak Tawaran Jabatan Mufti

Imam Madzhab yang Selalu Tolak Tawaran Jabatan Mufti

“Di antara pendiri empat madzhab fiqih yang terkenal hingga saat ini hanya Imam Abu Hanifah yang bukan orang Arab.”

Oleh: Admin

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

Seorang Imam yang madzhabnya dianut oleh banyak penduduk negeri di belahan dunia ini begitu gigih mempertahankan marwah ilmu sehingga ia seringkali menolak jabatan apapun yang ditawarkan pemerintah negaranya saat itu.

Jangankan jabatan yang tidak sesuai dengan bidangnya, jabatan mufti yang memang dipandang sangat pantas dijabatnya, bahkan ditolak oleh beliau. Padahal pemerintah yang berkuasa di negaranya saat itu adalah pemerintah muslim, bukan pemerintah kafir penjajah seperti Belanda. Keteguhan dan ketegarannya dalam menjaga marwah ilmu, meski nyawa taruhannya, sungguh kuat beliau pegang. Sosok ulama yang mesti dijadikan panutan bagi ulama-ulama lain yang hidup di zaman pemerintahan modern saat ini.

Biografi dan Napak Tilas Akademik

Nama kecil Imam Abu Hanifah adalah Al-Nu’man bin Tsabit bin Nu’man Zuwatho (80-150 H). Beliau lahir di Kufah, Iraq, pada tahun 80 hijriyah, 70 tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW atau bertepatan dengan tahun 699 Masehi. Beliau berasal dari keturunan bangsa Persia dan mengalami dua masa khilafah, Daulah Umaiyah dan Daulah Abbasiyah.

Ayahnya, Tsabit dilahirkan sebagai seorang muslim. Sempat bertemu Ali bin Thalib ra di masa kecilnya. Kelahiran Abu Hanifah bertepatan dengan permulaan perkembangan daulah Bani Umayyah, pada masa raja Abdul Malik bin Marwan. Di awal hidupnya, Abu Hanifah sempat mengalami hidup pada kekuasaan Al Hajjaj Al-Tsaqafi atas Iraq. Dia ikut menyaksikan kekejamannya atas setiap lawan politik dinasti Umayyah.

Beliau termasuk ulama dalam kategori tabi’ al-tabi’in, meskipun sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa beliau sebenarnya termasuk tabi’in karena dipercaya pernah bertemu dengan Anas bin Malik, seorang yang berkedudukan sebagai Sahabat Nabi saw. Beliau adalah ahli fiqih dari penduduk Irak. Meskipun demikian ulama sepakat bahwa dia hidup dalam satu masa dengan 4 sahabat Rasulullah. Mereka adalah Anas bin Basrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahal bin Saat Al-Saidi di Madinah dan Abu Tufail ‘Amir bin Wailah di Makkah. Akan tetapi, dia tidak pernah bertemu dengan mereka.

Di samping sebagai ulama fiqih, Abu Hanifah berprofesi sebagai saudagar, pedagang kain di Kufah. Pada masa mudanya, Abu Hanifah dikenal sebagai seorang pedagang di kota Kufah yang dihuni oleh banyak ulama dan ahli fiqih. Sehingga dia pun tertarik untuk belajar dari mereka khususnya dari Khammad bin Abi Sulaiman, seorang ulama besar terkemuka di Iraq.

Ketika Khammad bin Abi Sulaiman wafat, Abu Hanifah menggantikannya sebagai pemimpin kaum muslimin di Iraq. Sebagaimana beliau pada masa mudanya menyaksikan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz yang dikenal sebagai seorang penguasa yang adil lagi saleh, Abu Hanifah juga sempat menyaksikan masa-masa kemunduran kekuasaan dinasti Umayyah dan kehancurannya. Lalu muncullah dinasti Abasiyyah sebagai penggantinya hingga beliau wafat pada masa pemerintahan khalifah al-Mansur tahun 150 H.

Pada era Abu Hanifah, kekhalifahan Islam mencapai puncak kejayaannya. Kekuasaannya mencapai samudra atlantik ke arah barat. Sedang ke arah timur mencapai daratan Cina. Bahkan sebagian daratan Eropa sempat berada di bawah kekuasaan Islam. Karena luasnya daerah kekuasaan Islam, jauhnya jarak antar daerah-daerah kekuasaan tersebut, perbedaan suku dan bangsa, perbedaan kebudayaan, dan keanekaragaman kebutuhannya, maka diperlukan pondasi yang kokoh untuk membangun sebuah kekuasaan dan undang-undang yang mengatur hubungan luar negeri, baik pada masa damai atau masa perang.

Dari keadaan yang seperti itu, pada masa Abu Hanifah muncul kelompok-kelompok keagamaan yang bekerja keras untuk menyebarkan pendapatnya sehingga sering timbul perselisihan dan perdebatan. Lalu mulailah penulisan ilmu pengetahuan. Penerjemahan berbagai macam ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa juga mulai dilakukan sehingga pemikiran Yunani dan Persia masuk ke dunia Islam. Saat itu Iraq menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan dinasti Abasiyyah memilihnya sebagai pusat pemerintahan.

Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama terdepan dalam aliran “Ahlu al-ra’yi”. Beliau tergolong ulama yang cukup menonjol dalam penggunaan nalar dan logika. Boleh dibilang beliau memang lebih banyak menggunakan pendekatan qiyās ketimbang teks hadits. Sebagian analis menyebutkan bahwa latar belakang mengapa beliau melakukan itu adalah karena pada masa itu Irak merupakan sumber hadits palsu. Sementara perkembangan metodologi kritik hadits belum lagi dimulai. Al-Bukhari dengan metodologi kritik hadits yang banyak dipuji pun belum lahir saat itu karena Al-Bukhari hidup antara tahun 194 hingga 256 Hijriyah. Sedangkan Imam Abu Hanifah lahir pada tahun 80 hijriyah dan hanya terpaut 70 tahun sepeninggal Rasulullah SAW. Dengan begitu, Imam Abu Hanifah sangat sedikit memiliki koleksi hadits ṣaḥīḥ.

Dengan uraian tersebut, Imam Abu Hanifah seringkali meninggalkan teks hadits bukan karena tidak percaya atau enggan menggunakannya. Sebaliknya, beliau menempatkan hadits pada posisi sangat agung sehingga penggunaannya harus selektif. Beliau dikenal sangat mutasyaddid (ketat) dalam menyeleksi hadits. Tidak sembarangan hadits bisa beliau terima sebagai dalil. Sebaliknya, hanya hadits yang telah diketahui secara pasti kemutawatiran dan kemasyhurannya yang beliau gunakan sebagai dalil.

Seiring maraknya pemalsuan hadits pada saat itu, hadits shahih yang beliau loloskan dalam seleksi sangat sedikit. Sebagai alternatif, beliau mengembangkan prinsip analogi sehingga persoalan hukum yang berkembang pesat di masyarakat bisa ditelusuri persamaan ‘illat-nya kemudian diinduksi kepada ketentuan hukum yang sudah disebutkan secara tersurat dalam teks.

Contoh pentingnya pendekatan analogi di kemudian hari dapat tercermin dalam masalah zakat fitrah. Kita tahu bahwa semua hadits dari Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa membayar zakat fitrah itu hanya dengan kurma atau gandum. Tidak ada riwayat hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah membayar zakat fitrah dengan beras. Lewat pendekatan analogi seperti yang dilakukan oleh Abu Hanifah, maka dicarilah ‘illat hukum dari ketentuan zakat ini. Kesimpulannya, yang perlu dikeluarkan dari zakat fitrah ini adalah qūṭ baladih, yaitu makanan pokok yang dikonsumsi oleh suatu bangsa. Karena itu, orang boleh membayar zakat fitrah dengan makanan pokok yang berlaku di setiap Negara. Walaupun tidak ada satu pun hadits dan teladan dari Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan bahwa beliau berzakat dengan beras.

Abu Hanifah pernah berkata tentang dasar madzhabnya, “Aku mengambil dari kitabullah bila aku dapati, bila tidak ada, maka aku mengambil dari sunnah Rasulillah SAW, bila tidak aku dapati pula maka aku ambil perkataan shahabat yang aku kehendaki dan aku tinggalkan yang tidak aku kehendaki. Aku tidak keluar dari perkataan sebagain mereka kepada perkataan sebagian yang lain. Namun bila masalah sudah sampai kepada pendapat Ibrahim (Al-Nakha’i), As-Sya’bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Sa’id bin Musayyab, maka aku pun akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”

Madzhab Hanafi yang dibangun Abu Hanifah tersebar sangat luas di dunia Islam. Penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan seperti Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa. Madzhab ini juga tersebar di Mesir terutama di bagian Utara, separuh Irak, Syria, Libanon dan Palestina. Madzhab ini juga sampai ke Kaukasia, yaitu Chechnya dan Dagestan.

Salah satu faktor tersebarnya madzhab ini adalah karena para khalifah Utsmaniyah di Istanbul sebagai pusat kepemimpinan tertinggi umat Islam sedunia bermadzhab Hanafi. Bukan hanya itu, bahkan madzhab ini mengalami proses qanūnisasi, sehingga format Undang- undang khilafah itu didasarkan pada madzhab Hanafi. Qanun itu kemudian diterapkan di seluruh negeri Islam. Meski grass root masyarakat suatu negeri bermadzhab lain seperti Syafi’i, namun dalam hukum tata negara, madzhab negara itu adalah Hanafi, atau setidaknya banyak mengadaptasi madzhab Hanafi.

Menolak Tawaran Menjadi Mufti oleh Pemerintah

Di antara pendiri empat madzhab fiqh yang terkenal hingga saat ini, hanya Imam Abu Hanifah yang bukan orang Arab. Beliau keturunan Persia atau disebut juga dengan bangsa ‘Ajam (Non-Arab). Pendirian beliau sama dengan pendirian imam yang lain, yaitu sama-sama menegakkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.

Penulis Kitab Fiqih, al-Fiqh al-Akbar, ini masyhur dengan sebutan nama Abu Hanifah disebabkan beberapa hal, yaitu:

  1. Beliau mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Hanifah, maka ia diberi julukan dengan Abu (Bapaknya) Hanifah.
  2. Semenjak kecil beliau sangat tekun menghayati setiap yang dipelajarinya. Karenanya ia dianggap seorang yang ḥanīf (condong) pada agama. Itulah sebabnya ia masyhur dengan gelaran Abu Hanifah.
  3. Menurut bahasa Persia, Hanifah berarti tinta. Imam Abu Hanifah sangat rajin menulis hadits ke mana ia pergi selalu membawa tinta. Karena itu, ia dinamakan Abu Hanifah.

Imam Abu Hanifah dilahirkan pada saat pemerintahan Islam berada di tangan Abdul Malik bin Marwan dari keturunan Bani Umaiyyah kelima. Kepandaian Imam Abu Hanifah tidak diragukan lagi, beliau mengerti betul tentang ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu kalam, dan juga ilmu hadits.

Di samping itu, beliau juga pandai dalam ilmu kesusasteraan dan hikmah. Beliau adalah seorang hamba Allah yang bertakwa dan saleh, seluruh waktunya lebih banyak diisi dengan amal ibadah. Jika beliau berdoa, matanya bercucuran air mata demi mengharapkan keridhaan Allah SWT. Walau demikian, orang-orang yang berjiwa jahat selalu berusaha untuk menganiaya beliau.

Sifat keberanian beliau tercermin dalam keteguhannya menegakkan dan mempertahankan kebenaran. Untuk kebenaran ia tidak takut sengsara atau apapun bahaya yang akan diterimanya. Dengan keberaniannya itu, beliau selalu mencegah orang-orang yang melakukan perbuatan mungkar, karena menurut Imam Abu Hanifah kalau kemungkaran itu tidak dicegah, bukan orang yang berbuat kejahatan itu saja yang akan merasakan akibatnya, melainkan semuanya, termasuk orang-orang yang baik yang ada di tempat tersebut.

Sifat Imam Abu Hanifah yang lain adalah menolak kedudukan tinggi yang diberikan pemerintah kepadanya. Beliau menolak pangkat dan uang yang diberikan kepadanya. Akibat dari penolakannya itu beliau pernah ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Di dalam penjara ia disiksa, dipukul dan sebagainya.

Gubernur di Iraq pada waktu itu berada di tangan Yazid bin Hurairah Al-Fazzari. Selaku pemimpin ia tentu dapat mengangkat dan memberhentikan pegawai yang berada di bawah kekuasaannya. Pernah pada suatu ketika Imam Abu Hanifah akan diangkat menjadi ketua urusan perbendaharaan negara (Baitul māl), tetapi pengangkatan itu ditolaknya. Beliau tidak mau menerima kedudukan tinggi tersebut, sampai berulang kali Gubernur Yazid menawarkan pangkat itu kepadanya.

Pada waktu yang lain, Gubernur Yazid menawarkan pangkat qāḍi (hakim) tetapi juga ditolaknya. Rupanya Yazid tidak senang melihat sikap Imam Abu Hanifah tersebut. Seolah-olah Imam Abu Hanifah memusuhi pemerintah, karena itu timbul rasa curiganya. Oleh karena itu, ia diselidiki dan diancam akan dihukum dengan hukumam dera. Ketika Imam Abu Hanifah mendengar kata ancaman hukum dera itu beliau menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan mengerjakan jabatan yang ditawarkan kepadaku, sekalipun aku akan dibunuh oleh pihak kerajaan.” Demikian beraninya Imam Abu Hanifah dalam menegakkan pendirian hidupnya.

Pada suatu hari, Yazid memanggil para alim ulama ahli fiqih yang terkemuka di Iraq, dikumpulkan di muka istananya. Di antara mereka yang datang ketika itu adalah Ibnu Abi Laila, Ibnu Syblamah, Daud bin Abi Hind dan lain-lain. Kepada mereka, masing-masing diberi kedudukan resmi oleh Gubernur. Ketika itu Gubernur menetapkan Imam Abu Hanifah menjadi ketua jawatan Sekretariat Gubernur. Tugasnya adalah bertanggungjawab terhadap keluar masuk uang negara. Gubernur dalam memutuskan jabatan itu disertai dengan sumpah, “Jika Abu Hanifah tidak menerima pangkat itu niscaya ia akan dihukum dengan pukulan.” Walaupun ada ancaman seperti itu, Imam Abu Hanifah tetap menolak jabatan itu, bahkan ia tetap tegas tidak mau menjadi pegawai kerajaan dan tidak mau campur tangan dalam urusan negara.

Karena sikapnya itu, akhirnya Abu Hanifah ditangkap oleh Gubernur, kemudian dimasukkan ke dalam penjara selama dua minggu, dengan tidak dipukul. Lima belas hari kemudian baru dipukul sebanyak 14 kali pukulan, setelah itu baru dibebaskan. Beberapa hari sesudah itu Gubernur menawarkan menjadi qāḍi, juga ditolaknya. Kemudian ditangkap lagi dan dijatuhi hukuman dera sebanyak 110 kali. Setiap hari didera sebanyak sepuluh kali pukulan. Namun demikian, Imam Abu Hanifah tetap dengan pendiriannya. Sampai ia dilepaskan kembali setelah 110 kali cambukan.

Akibat dari pukulan itu, muka dan seluruh badannya menjadi bengkak-bengkak. Hukuman cambuk itu sengaja untuk menghina Imam Abu Hanifah. Walaupun demikian, ketika Imam Abu Hanifah disiksa ia sempat berkata, “Hukuman dera di dunia lebih ringan daripada hukuman neraka di akhirat nanti.”

Ketika ia berusia lebih dari 50 tahun, ketua negara ketika itu berada di tangan Marwan bin Muhammad. Imam Abu Hanifah juga menerima ujian. Kemudian pada tahun 132 H., sesudah dua tahun dari hukuman tadi, terjadilah pergantian pimpinan negara, dari keturunan Umaiyyah ke tangan Abbasiyyah, ketua negaranya bernama Abu Abbas al-Saffah. Pada tahun 132 H., sesudah Abu Abbas meninggal dunia, dan diganti dengan ketua negara yang baru bernama Abi Ja’far Al-Mansur, saudara muda dari Abul Abbas al-Saffah. Ketika itu, Imam Abu Hanifah telah berumur 56 tahun. Namanya masih tetap harum sebagai ulama besar yang disegani.

Suatu hari, Imam Abu Hanifah mendapat panggilan dari baginda Al-Mansur di Baghdad, supaya ia datang mengadap ke Istana. Sesampainya di istana Baghdad ia ditetapkan oleh baginda menjadi qāḍi (ḥākim) kerajaan Baghdad. Dengan tawaran tersebut, salah seorang pegawai negara bertanya: “Adakah guru tetap akan menolak kedudukan baik itu?” Dijawab oleh Imam Abu Hanifah; “Amīrul mukminīn lebih kuat membayar kifarat sumpahnya daripada saya membayar sumpah saya.”

Karena ia masih tetap menolak, maka diperintahkan kepada pengawal untuk menangkapnya, kemudian dimasukkan ke dalam penjara di Baghdad. Pada saat itu para ulama’ yang terkemuka di Kufah ada tiga orang. Salah satu di antaranya ialah Imam Ibnu Abi Laila. Ulama’ ini sejak pemerintahan Abu Abbas al-Saffah telah menjadi mufti kerajaan untuk kota Kufah. Karena sikap Imam Abu Hanifah itu, Imam Abi Laila pun dilarang memberi fatwa.

Pada suatu hari, Imam Abu Hanifah dikeluarkan dari penjara karena mendapat panggilan dari Al-Mansur, tetapi ia tetap menolak. Baginda bertanya, “Apakah engkau telah suka dalam keadaan seperti ini?” Dijawab oleh Imam Abu Hanifah: “Wahai Amīrul Mukminīn semoga Allah memperbaiki Amīrul Mukminīn. Wahai Amīrul Mukminīn, takutlah kepada Allah, janganlah bersekutu dalam kepercayaan dengan orang yang tidak takut kepada Allah. Demi Allah, saya bukanlah orang yang boleh dipercayai di waktu tenang, maka bagaimana saya akan dipercayai di waktu marah, sungguh saya tidak sepatutnya diberi jabatan itu.”

Baginda berkata lagi: “Kamu berdusta, kamu patut dan sesuai memegang jabatan itu.” Dijawab oleh Imam Abu Hanifah: “Amīrul Mukminīn, sungguh baginda telah menetapkan sendiri, jika saya benar, saya telah menyatakan bahwa saya tidak patut memegang jabatan itu. Jika saya berdusta, maka bagaimana baginda akan mengangkat seorang maulana yang dipandang rendah oleh bangsa Arab. Bangsa Arab tidak akan rela diadili seorang golongan hakim seperti saya.”

Pernah juga terjadi, baginda Abu Jaffar Al-Mansur memanggil tiga orang ulama besar ke istananya, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan al- Tsauri dan Imam Syarik al-Nakha’ei. Setelah mereka hadir di istana, maka ketiganya ditetapkan untuk menduduki pangkat yang cukup tinggi dalam kenegaraan, masing-masing diberi surat pelantikan tersebut. Imam Sufyan al-Tsauri diangkat menjadi qāḍi di Kota Basrah, lmam Syarik diangkat menjadi qāḍi di ibu kota. Adapun Imam Abu Hanifah tidak mau menerima pengangkatan itu di manapun ia diletakkan.

Pengangkatan itu disertai dengan ancaman bahwa siapa saja yang tidak mau menerima jabatan itu akan didera sebanyak l00 kali deraan. Imam Syarik menerima jabatan itu, tetapi Imam Sufyan tidak menerimanya, kemudian ia hijrah ke Yaman. Imam Abu Hanifah juga tidak menerimanya dan tidak pula berusaha melarikan diri. Oleh sebab itu, Imam Abu Hanifah dimasukkan kembali ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman sebanyak 100 kali dera. Setiap pagi dipukul dengan cambuk sementara di leher beliau dikalungi rantai besi yang berat.

Suatu kali Imam Abu Hanifah dipanggil baginda untuk menghadapnya. Setelah tiba di depan baginda, lalu diberinya segelas air yang berisi racun. Ia dipaksa meminumnya. Setelah diminum Imam Abu Hanifah kembali dimasukkan ke dalam penjara. Imam Abu Hanifah wafat dalam keadaan menderita di penjara ketika itu ia berusia 70 tahun.

Imam Abu Hanifah menolak semua tawaran yang diberikan oleh kerajaan daulah Umayyah dan Abbasiyah adalah karena beliau merasa tidak sejalan dan tidak sesuai dengan corak pemerintahan yang mereka kendalikan. Oleh sebab itu, mereka berusaha mengajak Imam Abu Hanifah untuk bekerja sama mengikuti gerak langkah mereka, dan akhirnya mereka siksa hingga meninggal, karena Imam Abu Hanifah menolak semua tawaran yang mereka berikan.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْهُمْ، وَأَكْرِمْهُمْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَدِ الصِّدْقِ عِنْدَكَ يَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، اَللّٰهُمَّ اسْتُرْ عَيْبَ مُعَلِّمِي عَنِّي وَلَا تُذْهِبْ بَرَكَةَ عِلْمِهِ مِنِّي، إِنَّكَ أَنْتَ سَتَّارُ الْعُيُوْبِ .

Allâhummaghfir limasyâyikhinâ wa liman ‘allamanâ warhamhum, wa akrimhum biridhwânikal ‘adzhîm, fî maq’adish shidqi ‘indaka yâ arhamar râhimîn. Allâhummastur ‘aiba mu‘allimî ‘annî walâ tudzhib barakata ‘ilmihi minnî, innaka anta sattârul ‘uyûb.

“Wahai Allah ampunilah guru-guru kami dan orang yang telah mengajar kami. Sayangilah mereka, muliakanlah mereka dengan keridhaan-Mu yang agung, di tempat yang disenangi di sisi-Mu, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang. Ya Allah, tutupilah aib guruku dariku, dan jangan Engkau hilangkan berkah ilmunya dariku, sesungguhnya Engkau Maha Penutup segala aib.”

__________

* Dikutip dari Al-Fiqh Al-Akbar Dan Paradigma Fiqh Imam Abu Hanifah, Alwi Bani Rakhman, Jurnal Lisan Al-Hal Vol. 6, No. 1, Juni 2012.

About admin

Check Also

Kisah Sayyidah Aminah Saat Mengandung Rasulullah SAW

“Bertebaran petunjuk dan cahaya, betapa haru biru perasaan Sayyidah Aminah saat mengandung bayi Nabi Suci ...