Oleh: Admin
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Mari kita belajar dari seorang tokoh besar kalangan zahid, yaitu Imam Hatim al-Asham. Nama lengkapnya adalah Abu Abdirrahman Hatim ibn Alwan al-Asham (w. 237 H/751 M).
Menurut Syaikh Abu Ali ad-Daqaq, Hatim dijuluki “al-‘Asham” (yang tuli), bukan karena beliau tuli, tapi karena beliau pernah berpura-pura tuli demi menjaga kehormatan seseorang.
Alkisah, seorang wanita tengah bertanya kepadanya. Tapi di tengah perbincangan itu dia kentut. Tentu dia sangat malu. Hatim tahu akan hal itu dan sadar bila wanita itu akan sangat malu kalau dia mengetahuinya. Ia mencoba menyembunyikan hal itu dengan pura-pura tidak mendengarnya.
Berikut kisah dialog Hatim al-‘Asham dengan gurunya, Syaqiq al-Balkhi… Semoga bermanfaat.
Syaqiq al-Balkhi bertanya kepada muridnya, Hatim al-Asham: “Berapa lama kamu nyantri kepadaku?”
Hatim menjawab: “Sudah sejak 33 tahun…”
Syaqiq bertanya lagi: “Apa yang kamu pelajari dariku selama itu?”
Hatim menjawab: “Ada delapan perkara…”
Syaqiq berkata: “Innã lillãhi wa innã ilaihi rãji’ûn. Aku habiskan umurku bersamamu selama itu, dan kamu tidak belajar kecuali delapan perkara?!”
Hatim menjawab: “Guru, aku tidak belajar selainnya. Sungguh aku tidak bohong…”
Syaqiq kemudian berkata lagi: “Coba jelaskan kepadaku apa yang sudah kamu pelajari…”
Hatim menjawab:
“Pertama, saya memperhatikan manusia, dan saya lihat masing-masing mereka menyukai kekasihnya hingga ke kuburannya. Tapi ketika dia sudah sampai di kuburnya, kekasihnya justru berpaling darinya… Maka saya kemudian menjadikan amal kebaikan sebagai kekasih saya, yang apabila saya meninggal dan masuk ke liang kubur, dia akan ikut bersama saya…”
Syaqiq berkata: “Pinter kamu Hatim. Sekarang apa yang kedua?”
Kedua, saya memperhatikan firman Allah Ta’ala:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الهَوَى فَإِنَّ الجَنَّةَ هِيَ المَأْوَى ۞
“Dan adapun orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)”. (QS. an-Nazi’at [79]: 40-41)
Maka saya ketahui bahwa firman Allah-lah yang benar. Karena itu saya meneguhkan diri saya dalam menolak hawa nafsu, hingga saya mampu menetapi ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Ketiga, saya memperhatikan manusia, dan saya amati masing-masing memiliki sesuatu yang berharga, yang dia menjaganya agar barang tersebut tidak hilang. Kemudian saya membaca firman Allah Ta’ala:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللّٰهِ بَاقٍ ۞
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah kekal”. (QS. an-Nahl [16]: 96)
Dari situ, apabila saya memiliki sesuatu yang berharga, maka segera saja saya serahkan kepada Allah, agar milikku terjaga bersamaNya tidak hilang.
Keempat, saya memperhatikan manusia dan saya ketahui masing-masing mereka membanggakan harta, kemuliaan leluhur, pangkat dan nasabnya. Kemudian saya membaca firman Allah Ta’ala:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ أَتْقَاكُمْ ۞
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian”. (QS. al-Hujurat [49]: 13)
Maka saya takwa, hingga menjadikan saya mulia di sisi Allah Ta’ala.
Kelima, saya memperhatikan manusia, dan (saya tahu) mereka mencela dan mencaci antara satu dengan yang lainnya. Saya tahu masalah utamanya di sini adalah sifat iri hati. Maka saya kemudian membaca firman Allah Ta’ala:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيْشَتَهُمْ فِي الحَيَاةِ الدُّنْيَا ۞
“Kami telah menentukan pembagian nafkah hidup di antara mereka dalam kehidupan dunia”. (QS. az-Zukhruf [43]: 32)
Maka saya kemudian menanggalkan sifat iri hati dan menghindar dari manusia, karena saya tahu bahwa pembagian rizki itu benar-benar dari Allah Ta’ala, yang menjadikanku tidak patut memusuhi dan iri kepada orang lain.
Keenam, saya memperhatikan manusia, yang mereka saling menganiaya dan memerangi antara satu dengan yang lainnya. Kemudian saya melihat firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا ۞
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian)”. (QS. Fatir [35]: 6)
Maka kemudian saya menghindar dari memusuhi orang lain, dan sebaliknya saya berusaha fokus dan penuh waspada dalam menghadapi permusuhan syaitan.
Ketujuh, saya memperhatikan manusia, maka saya lihat masing-masing menghinakan diri mereka sendiri dalam mencari rizki. Bahkan ada di antara mereka yang berani menerjang hal-hal yang tidak halal. Saya kemudian melihat kepada firman Allah Ta’ala:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا ۞
“Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi ini melainkan Allah-lah yang menanggung rizkinya”. (QS. Hud [11]: 6)
Saya kemudian menyadari bahwa saya adalah salah satu dari binatang yang Allah telah menanggung rizkinya. Maka saya kemudian menyibukkan dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadaku, dan sebaliknya saya meninggalkan apa-apa yang tidak dibagikan kepadaku.
Kedelapan, saya memperhatikan manusia, dan saya lihat masing-masing mereka menyerahkan diri kepada makhluk lain seumpamanya: sebagian karena sawah ladangnya, sebagian karena perniagaannya, sebagian karena hasil karya produksinya, dan sebagian lain karena kesehatan badannya. Maka saya melihat kepada firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۞
“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Ia akan mencukupi (keperluan)-nya”. (QS. al-Thalaq [65]: 3)
Maka saya kemudian menyerahkan diri dan mempercayakan semuanya kepada Allah Ta’ala, karena Dia akan mencukupi segala keperluanku..
Mendengar pernyataan-pernyataan Hatim, sang guru yaitu Imam Syaqiq al-Balkhi mendoakannya: “Semoga Allah memberi pertolongan kepadamu…”