Home / Agama / Thariqat/Tasawwuf / Imam Al-Ghazali: Rindu (dan Cinta) kepada Allah (Bagian ke-1)

Imam Al-Ghazali: Rindu (dan Cinta) kepada Allah (Bagian ke-1)

Penjelasan tentang adanya rindu kepada Allah sebenarnya telah cukup ketika menjelaskan adanya cinta.

Kejelasan yang sempurna bisa dicapai dengan langsung (musyahadah) dan tampaknya objek (tajalli) dengan sempurna. Hal itu hanya bisa terjadi di akhirat. Dengan sendirinya hal itu menimbulkan suatu kerinduan. Hal itu pula yang merupakan puncak kecintaan bagi orang-orang arif. Hal ini juga merupakan bentuk pertama dari dua macam bentuk rindu, yaitu upaya menyempurnakan kejelasan dari suatu objek yang sudah jelas.

Sedangkan bentuk kedua dari rindu diuraikan sebagai berikut.

Hal-hal ilahiah tidak ada batasnya. Hanya sebagian yang bisa tersingkap oleh seorang hamba, sehingga masih tersisa banyak hal ilahiah yang masih tersembunyi. Seorang arif mengetahui keberadaan hal-hal ilahiah itu. Ia menyadari bahwa hal-hal itu hanya diketahui sepenuhnya oleh Allah. Seorang arif juga menyadari bahwa apa yang tidak ia ketahui jauh lebih banyak dari yang telah ia ketahui. Dengan demikian, ia pun rindu untuk mengetahui hal-hal yang selama ini belum ia ketahui sama sekali. Memang, tidak ada makrifat yang betul-betul jelas, dan tidak ada makrifat yang betul-betul tidak jelas.

Bentuk rindu pertama berakhir di akhirat dengan apa yang dinamakan melihat, bertemu, dan menyaksikan langsung. Hal ini tidak mungkin terjadi di dunia. Dalam kaitan ini, Ibrahim bin Adham termasuk orang-orang yang dilanda rindu Ilahi. Ia berkata, ”Suatu hari, aku berdoa : ‘Ya, Tuhan, jika Kau hendak memberikan kepada salah seorang di antara orang-orang yang mencintai-Mu sesuatu yang bisa menentramkan hati sebelum bertemu dengan-Mu, maka berikanlah ia padaku. Sungguh, kegelisahan ini telah membuatku menderita.’” Lantas, Ibrahim bin Adham meneruskan ceritanya, ”Aku pun bermimpi, Dia menghentikanku tepat di hadapan-Nya seraya berfirman, ’Hai, Ibrahim, apakah kau tidak malu pada-Ku dengan meminta-Ku agar memberimu sesuatu yang bisa menenteramkan hatimu padahal kau belum bertemu dengan-Ku? Apakah orang yang dilanda rindu bisa tenteram sebelum bertemu Kekasihnya?’ Aku lalu menjawab, ’Aku sedang kalut dalam cinta-Mu, sehingga aku pun tidak menyadari apa yang kukatakan. Ampunilah aku dan ajarilah aku apa yang mestinya kukatakan.’ Maka, Tuhan Menyahut, ‘Katakanlah : ‘Ya, Allah, berikanlah aku kerelaan untuk menerima keputusan-Mu, kesabaran untuk menghadapi cobaan-Mu, dan sikap syukur terhadap karunia-Mu.’”

Bentuk rindu yang kedua adalah diungkapkan berikut ini. Bentuk kerinduan ini tidak berakhir di dunia maupun di akhirat. Sebab, akhir kerinduan ini adalah tersingkapnya bagi seorang hamba di akhirat kelak segala yang diketahui tentang Allah, baik keagungan, sifat, kebijaksanaan, maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Padahal hal itu mustahil, karena ia tidak ada akhirnya. Seorang arif tentu menyadari bahwa selalu masih ada sesuatu dari keindahan dan keagungan Allah yang belum jelas baginya. Dengan demikian, kerinduannya pun tidak akan terobati sama sekali. Apalagi jika di atas tingkatan orang yang mampu melihat Allah itu masih terdapat banyak tingkatan lain yang belum ia capai.

Hanya saja, dalam kaitan ini, seseorang bisa merindukan kesempurnaan hubungan dengan Allah ketika ia telah mencapai suatu dasar untuk menjalin hubungan dengan Allah. Dengan demikian, ia bisa merasakan kenikmatan rindu tanpa tersiksa. Ia pun terus menerus tanpa henti merasakan dekat dengan kelembutan-kelembutan kasyf dan pandangan pada Allah. Kenikmatan dan kelezatan itu selalu bertambah selama-lamanya. Adanya kelezatan itu senantiasa memperbarui diri, merupakan suatu penghalang untuk merasakan kerinduan sehingga seseorang tidak berhasil mencapai puncak kerinduan. Namun, hal ini dengan catatan bahwa berhasilnya kasyf tersebut adalah pada sesuatu yang sama sekali tidak berhasil tersingkap di dunia. Jika tidak demikian, kenikmatannya hanya berhenti pada suatu batas tertentu serta tidak bertambah, tetapi ia terus menerus ada selamanya.

Allah berfirman, Cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, seraya mereka berkata, ”Ya, Tuhan kami, sempurnakanlah cahaya kami.” (QS. Al-Tahrim : 8). Ayat ini mengandung makna bahwa Allah memberikan kenikmatan kepadanya dengan menyempurnakan cahayanya jika ketika di dunia ia sudah berbekal cahaya.

Pada ayat lain disebutkan pula : Tunggulah kami, agar kami dapat memperoleh sebagian cahaya kalian. Dikatakan kepada mereka, ”Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya untuk kalian.” (QS. Al-Hadid : 13). Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang harus berbekal dasar cahaya ketika di dunia, baru kemudian cahaya itu bisa bertambah terang ketika di akhirat. Sedangkan cahaya yang senantiasa memperbarui diri tidak akan bisa bertambah terang. Adalah berbahaya menghukumi hal ini dengan berbagai praduga. Kita tidak bisa menyingkap apa yang dialami seseorang setelah ia memperoleh cahaya tersebut. Kita hanya bisa memohon kepada Allah, semoga Dia menambah ilmu dan petunjuk kita, serta memperlihatkan kebenaran kepada kita sebagai kebenaran sesungguhnya. Inilah tolok ukur dari cahaya-cahaya mata batin yang menyingkap hakikat-hakikat kerinduan serta makna-maknanya.

Tak terhitung banyaknya kesaksian oleh berbagai hadits dan riwayat. Salah satunya adalah doa Rasulullah Saw yang masyhur berikut ini : “Ya, Allah, anugerahkanlah aku kerelaan menerima keputusan-Mu, kedamaian hidup setelah kematianku, kenikmatan menatap wajah-Mu yang mulia, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu. (HR. Ahmad dan Al-Hakim).

Abu Darda pernah berkata kepada Ka’ab Al-Ahbar, ”Beritahukanlah aku ayat yang paling istimewa dalam Taurat.” Ka’ab menjawab, Allah berfirman, ‘Begitu lama kerinduan orang-orang shalih untuk bertemu dengan-Ku. Namun jauh lebih lama kerinduan-Ku untuk bertemu dengan mereka.’” Lalu, Ka’ab berkata lagi, “Di samping itu, tertulis pula dalam Taurat : ‘Siapa yang mencari-Ku, ia akan mendapatkan-Ku. Dan siapa yang mencari selain-Ku, ia tidak akan mendapatkan-Ku.’” Kemudian Abu Darda berkomentar, “Aku menjadi saksi bahwa sungguh aku pernah mendengar Rasulullah mengatakan hal itu.”

Dalam berita-berita tentang nabi Daud, disebutkan bahwa Allah berfirman, “Hai, Daud, sampaikanlah kepada penduduk bumi bahwa sungguh Aku adalah Kekasih bagi orang yang mencintai-Ku, teman duduk bagi orang yang duduk bersama-Ku, teman akrab bagi orang yang akrab dengan mengingat-Ku, sahabat bagi orang yang bersahabat dengan-Ku, pilihan bagi orang yang memilih-Ku, dan patuh kepada orang yang mematuhi-Ku. Jika seorang hamba mencintai-Ku dan Kuketahui cinta itu telah menjadi keyakinan dalam hatinya, niscaya Aku akan menerimanya dalam Diriku, dan mencintainya dengan cinta yang belum pernah dialami oleh satu pun dari makhluk-Ku.

“Siapa yang mencari-Ku dengan kebenaran, ia akan mendapatkan-Ku. Siapa yang mencari selain-Ku, ia tidak akan mendapatkan-Ku. Wahai penduduk bumi, enyahkanlah tipuan yang ada pada diri kalian. Marilah menuju kemuliaan-Ku, persahabatan dengan-Ku, dan kebersamaan dengan-Ku. Berakrab-akrablah dengan-Ku, niscaya Aku akan akrab dan segera mencintai kalian. Sungguh, Aku menciptakan watak para kekasih-Ku dari watak Ibrahim kekasih-Ku, Musa rahasia-Ku, dan Muhammad sahabat pilihan-Ku. Aku menciptakan hati orang-orang yang merindukan-Ku dari cahaya-Ku. Aku anugerahkan nikmatnya keagungan-Ku dalam sanubari mereka.”

Pada berita-berita tentang nabi Daud, juga diungkapkan bahwa Allah menurunkan wahyu kepadanya : “Hai, Daud, kau sudah berkali-kali menyebut surga dan tidak memohon kerinduan kepada-Ku!” Nabi Daud menyahut, “Ya, Tuhanku, siapa orang-orang yang rindu kepada-Mu itu?” Tuhan pun menjawab, “Orang-orang yang rindu kepada-Ku adalah orang-orang yang telah Ku-sucikan diri mereka dari setiap noda. Ku-peringatkan mereka untuk mawas diri, dan Ku-koyak hati mereka sedemikian rupa sehingga mereka memandang-Ku. Ku-bawa hati mereka dengan kedua tangan-Ku lalu kuletakkan di atas langit-Ku. Lantas, kupanggil malaikat-malaikat-Ku yang cerdik. Ketika mereka telah datang berkumpul, mereka pun bersujud kepada-Ku. Aku pun berkata kepada para malaikat itu, ‘Aku tidak memanggil kalian untuk bersujud kepada-Ku, tapi Aku memanggil kalian untuk menunjukkan hati orang-orang yang rindu kepada-Ku. Aku membanggakan orang-orang yang rindu kepada-Ku di hadapan kalian. Di langit-Ku, hati mereka menyinari para malaikat-Ku sebagaimana matahari menyinari penghuni bumi. Hai, Daud, Ku-ciptakan hati orang-orang yang merindukan-Ku dari surga-Ku. Ku-curahkan nikmat-Ku di dalamnya dengan cahaya wajah-Ku. Aku angkat mereka sebagai teman bicara-Ku. Ku-jadikan tubuh mereka sebagai alat penglihatan-Ku di bumi. Aku ciptakan dalam relung kalbu mereka suatu cara tertentu agar mereka bisa memandang-Ku sehingga setiap hari mereka semakin bertambah rindu kepada-Ku.”

Diantara riwayat-riwayat dari Nabi Daud, diungkapkan pula bahwa sesungguhnya Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Daud : “Kau mengaku bahwa kau mencintai-Ku. Maka, jika kau betul-betul mencintai-Ku, maka keluarkanlah cinta dunia dari relung hatimu. Sungguh, cinta kepada-Ku dengan cinta pada dunia tidak akan bisa berkumpul dalam satu hati. Hai, Daud, sucikanlah cinta kalian pada-Ku dengan sesuci-sucinya.

“Hai, Daud, cintailah Aku dengan memusuhi hawa nafsumu. Lindungilah dirimu dari berbagai keinginan duniawi, maka Aku pun memandangmu dan tersingkaplah tabir antara Diri-Ku dan dirimu. 

“Aku memperbolehkan hawa nafsu hanya bagi makhluk-makhluk lemah. Bagaimana mungkin orang-orang kuat tunduk kepada hawa nafsu? Hawa nafsu hanya akan mengurangi kenikmatan munajat dengan-Ku. Sungguh, Aku tidak merelakan dunia untuk para kekasih-Ku. Maka, Aku pun menyucikan mereka dari godaan dunia.

“Andai orang-orang yang menjauhi-Ku mengetahui bagaimana penantian-Ku kepada mereka, kasih sayang-Ku kepada mereka, dan kerinduan-Ku agar mereka meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat, niscaya mereka mati karena rindu kepada-Ku dan anggota-anggota badan mereka bercerai-berai karena cinta kepada-Ku. Hai, Daud, inilah kehendak-Ku terhadap orang-orang yang menjauhi-Ku. Maka, bagaimanakah kehendak-Ku terhadap orang-orang yang menghadap mendekati-Ku? Hai, Daud, hamba-Ku sangat membutuhkan-Ku ketika ia benar-benar kehilangan-Ku. Aku sangat mengasihi hamba-Ku ketika ia telah berpaling dari sisi-Ku. Dan perbuatan yang paling mulia dari hamba-Ku adalah ketika ia kembali ke pangkuan-Ku.”

(*Pada konteks bahasa, cinta merupakan suatu istilah untuk menunjukkan kecenderungan nafs atau jiwa pada sesuatu yang memiliki kesesuaian dengannya. Sedangkan rindu adalah suatu istilah untuk menunjukkan kecenderungan tersebut yang kuat dan besar)

Sumber : Imam Al-Ghazali, “The True Power of Love”- Kitab para Pecinta Allah (dari Kitab Al-Mahabbah wa Asy-Syauq wa Al-Uns wa Ar-Ridla dalam Ihya Ulum Ad-Din)

 

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...