“Barangsiapa mengamalkan ilmu (kasbi)-nya, maka Allah wariskan kepadanya ilmu (wahbi/laduni) yang tidak pernah ia ketahui.”
Oleh: Dr. TGH. Abdul Aziz Sukarnawadi, M.A.*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Was-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.
الْعُلَمَآءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَآءِ
“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. at-Tirmizi)
Statmen ini tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya, karena disabdakan langsung oleh sang penghulu para nabi, Rasulullah SAW. Akan tetapi, apakah kemudian setiap public figure yang telah dikenal sebagai ulama di tengah-tengah masyarakat otomatis menjadi pewaris nabi? Inilah yang penting untuk dikaji dan diluruskan.
Sebagaimana kita ketahui, para nabi dan rasul memiliki level keilmuan yang sangat tinggi. Nah, ketinggian ilmu itulah yang tentunya diwariskan kepada para ulama. Apabila para nabi diyakini meraih ilmu secara laduni, maka tidakkah seharusnya para pewaris mereka pun menerima ilmu secara laduni? Pasalnya, yang diwariskan oleh para nabi adalah ilmu mereka, sementara ilmu mereka tidak lain bersifat laduni.
Bukan berarti tidak boleh menuntut ilmu secara kasbi (melalui usaha dengan belajar), sebab ilmu kasbi merupakan salah satu sarana untuk mencapai perolehan ilmu laduni. Dalam hadits dikatakan:
مَنْ عَمِلَ بِمَا يَعْلَمُ وَرَّثَهُ اللّٰهُ تَعَالَى عِلْمٌ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Barangsiapa mengamalkan ilmu (kasbi)-nya, maka Allah wariskan kepadanya ilmu (wahbi/laduni) yang tidak pernah ia ketahui.”
Selain pengamalan yang baik terhadap ilmu kasbi, ketakwaan hati juga dapat membesarkan peluang meraih ilmu laduni, sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:
… وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ … ۞
“Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah memberimu ilmu (laduni).” (QS. al-Baqarah: 282)
Ketakwaan tersebut juga melahirkan rasa takut kepada Allah, yang mana rasa takut itupun menjadi indikasi penting sebuah keulamaan, sebagaimana firman-Nya:
… اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ … ۞
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah daripada hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (QS. Fathir: 28)
Dengan tekun mengaji lalu mengamalkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari, maka lahirlah ketakwaan dan rasa takut yang tinggi, sehingga hadirlah kemudian ilmu-ilmu Ilahi yang bersifat laduni, yang tentunya bermanfaat bagi seluruh makhluk di muka bumi, dan itulah sesungguhnya warisan murni para nabi. Allah SWT berfirman:
ثُمَّ اَوْرَثْنَا الْكِتٰبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَاۚ … ۞
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami.” (QS. Fathir: 32)
Alhasil, “Ulama adalah pewaris para nabi.” Yakni, ulama yang benar-benar ulama adalah mereka yang benar-benar mewarisi para nabi, baik dalam hal ketakwaan, akhlak, kasih sayang dan yang tak kalah penting adalah ilmu laduni. Jangan dibalik! Tidak setiap yang disebut ulama itu otomatis pewaris nabi, melainkan yang sesungguhnya layak dan pantas disebut ulama adalah yang benar-benar telah menerima warisan luhur para nabi.
Selanjutnya, antara ulama dan da’i/muballigh harus pula dibedakan. Ini juga tidak kalah urgen, sebagaimana ditegaskan Syekh Ali Jum’ah dalam kitab beliau, al-Mutasyaddidun. Tidak setiap orang yang proaktif berkecimpung di bidang dakwah -sebagai da’i/muballigh/penceramah- layak disebut ulama.
Pasalnya, Sayidina Ibnu Mas’ud pernah berkata: “Kalian hidup di zaman yang banyak ulamanya tapi sedikit penceramahnya. Dan akan datang setelah kalian suatu zaman di mana sedikit ulamanya tapi banyak penceramahnya.”
Imam Ibnu al-Jauzi dalam Talbis Iblis juga mengingatkan bahwa di masa lampau para da’i/muballighnya adalah sekaligus ulama dan ahli fikih terkemuka, sementara belakangan ini banyak yang senang disebut ulama, padahal hanya bermodalkan kemahiran retorika, penampilan mempesona serta nasihat-nasihat yang dipersolek dengan selusin cerita. Dan karena terlanjur disebut ulama, mereka kemudian nekad menerjuni urusan fatwa lalu menafsirkan al-Qur’an dan mengajarkan Sunnah jauh ke mana-mana. Siapa lagi kalau bukan umat yang menjadi korban termalangnya!.
Menjadi ulama itu tidak asal-asalan. Dan tanggung jawabnya pun tidak main-main. Sungguh miris jika gelar ulama dienteng-entengkan, karena akibatnya, siapapun seenaknya dapat di-ulama-kan, sehingga warisan para nabi menjadi tercemarkan, umat Nabi termulia pun menjadi terpedaya dan terkorbankan.
Imam Yahya bin Ma’in yang sangat dikenal kealimannya itu pernah ditanya seputar hukum peribadatan (tata cara menyembah Allah dengan benar), maka beliau berkata: “Celakalah diriku! Akankah Tuhan semesta alam disembah menurut pendapatnya si Yahya bin Ma’in?!” Subhanallãh! Patut diresapi dalam-dalam.
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا وَارْزُقْنِيْ فَهْمًا وَاجْعَلْنِيْ مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً ۚبِرَحْمَتِكَ يَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Rabbi zidnî ‘ilman warzuqnî fahman waj’alnî milladunka rahmatan birahmatika yã arhamar rãhimîn
“Wahai Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu serta berilah aku kemampuan untuk memahaminya, serta jadikanlah aku orang yang diberikan rahmat dari sisi-Mu (ilmu laduni), dengan kasih sayang-Mu wahai Yang Maha Penyayang dari para penyayang”.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
___________
* Penulis adalah Mudir Awal Idarah Syu’biyah JATMAN Lombok Timur.