بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dirahmati Allah SWT, suatu hari, Syaikh Al-Junaid bertemu dengan Al-Muhasibi dan berkata kepadanya, “Aku ingin menjadi orang yang banyak ilmu dan banyak amal. Namun, ilmuku tidak terlalu banyak.”
Al-Muhasibi menjawab, “Banyak ilmu belum tentu menjadikan dirimu banyak beramal. Sedikit ilmu belum tentu menjadikanmu sedikit beramal. Sungguh beruntung orang yang beramal banyak dengan ilmu sedikit. Sungguh merugi orang berilmu yang amalnya sedikit.”
Para sufi bukan tukang mengumpulkan pengetahuan. Mereka adalah pengamal pengetahuan yang menganggap bahwa ilmu adalah amanah dari Allah yang wajib dipenuhi haknya (diamalkan). Karena itu, ketika mendapat ilmu, banyak atau sedikit, mereka selalu merasa khawatir jika tidak mampu mengamalkannya.
Para sufi menganggap bahwa anugerah ilmu dari Allah adalah perintah secara tidak langsung untuk lebih banyak mengabdikan diri kepada-Nya. Mereka menganggap ilmu yang banyak menunjukkan bahwa Allah meminta pelayanan dan pengabdian yang maksimal dari mereka.
Banyaknya ilmu yang didapat tidak menjadikan mereka merasa bangga. Mereka merasa khawatir jika ilmu yang mereka pelajari hanya tumpukan ide yang tidak bermakna dan hanya menjadi beban pada Hari Kiamat.
Seorang laki-laki bertanya kepada Ibn Al-Mubarak, “Bagaimana cara menjaga ilmu supaya tidak lupa?” Ibn Al-Mubarak menjawab,”Setiap mendapatkan ilmu, engkau harus mempraktikkannya saat itu juga. Jika tahu keutamaan berbuat baik, saat itu juga engkau harus berbuat baik kepada orang lain. Jika mendapatkan ilmu tentang bertaubat, bertaubatlah engkau saat itu juga. Yakinlah, ilmu yang engkau dapat tersebut tidak akan pernah terlupakan dan hilang dari ingatanmu.”
“Bagaimana kalau aku tidak mengamalkan ilmu yang aku dapatkan?” lanjut penanya. “Engkau hanya menumpuk beban. Ilmu yang tidak engkau amalkan itu hanya menambah beban hisabmu di akhirat kelak,” jawab Al-Mubarak.
Abu Mada’in berkata, “Tidak sedikit penghuni surga dari kalangan orang yang sedikit ilmunya. Tidak sedikit penghuni neraka dari kalangan orang yang banyak ilmunya. Mendapatkan ilmu tidak terlalu sulit, tetapi mengamalkannya sangat berat. Alangkah baiknya engkau mengajarkan ilmu yang telah engkau amalkan. Engkau akan risau jika menyampaikan ilmu yang belum pernah engkau amalkan. Engkau diakui sebagai pecinta ilmu jika engkau selalu mempraktikkan pengetahuan yang kau miliki.”
Aban ibn Iyasy berkata, “Janganlah engkau menjadikan ilmu sebagai belenggu, tetapi harus sebagai pemudarnya. Janganlah engkau mendapatkan mudharat dari perkara yang seharusnya bermanfaat, yaitu ilmu yang tidak kau amalkan. Tidak sedikit orang yang terlaknat oleh pengetahuannya yang menggunung. Hindarilah kemunafikan, yaitu ilmu yang banyak dengan amal yang sedikit. Ciri orang yang terbebas dari kemunafikan adalah amalnya ibarat gunung dan ilmunya ibarat tumpukan pasir yang sedikit.”
Bagi para sufi, ilmu adalah bekal perjalanan menuju hadirat Ilahi. Mereka tidak mau membawa bekal terlalu banyak, yang tidak dimakan dalam perjalanan. Sebab, bekal tersebut– selain menjadi beban– hanya akan mubazir dan sia-sia. Ilmu yang bermanfaat, menurut mereka, bukan ilmu yang dapat diajarkan kepada orang banyak, tetapi ilmu yang dapat diamalkan oleh “pemilik”nya.
Selain itu, para sufi pun selalu mengingatkan orang yang belajar kepadanya supaya mau mengamalkan ilmu yang diberikannya. Sebab, jika seseorang memberikan ilmu kepada orang yang tidak mengamalkannya, berarti ia telah menyia-nyiakan hak ilmu tersebut.
Syaikh ‘Abd Al-Salam berkata, “Ilmu bukan hiasan kehidupan, tetapi perkakasnya. Jika engkau memiliki sebuah perkakas, pakailah sebagaimana mestinya supaya bernilai dan berguna…Ilmu adalah alat untuk mencapai tujuan. Karena itu, jika engkau mengambil alat tanpa memakainya; mengetahui tetapi mengabaikannya; alangkah dungunya dirimu. Belajar bukan sekadar mencari pengetahuan, melainkan berusaha untuk mengamalkannya!”.
Imam Al-Ghazali berkata, “Jika umurmu sudah lanjut, fokuskan perhatianmu untuk belajar ilmu tentang hati. Engkau memang perlu mendalami ilmu kalam, fiqih, filsafat. Namun, jadikanlah sisa umurmu untuk merenungi keadaan bathinmu. Janganlah engkau menghabiskan masa tuamu dalam perdebatan fiqih. Sebab, perdebatan itu hanya membawa dirimu berkeras hati, dengki, dan bersaing tidak sehat.”[]
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb
Disadur dari: “Jalan-jalan Surga: Akhlak dan Ibadah Pembuka Pintu Surga“, ‘Abd Al-Wahhab Al-Sya’rani; judul asli: “Tanbîh Al-Mughtarrîn”; penyadur: E. Wikarta; proofreader: Certi Apriyanti, Lilih S. Hilaliah; Bandung: Penerbit Mizan, 2017.
Source: Demi Maha Cinta