Kata-kata ”gratis’, ”hadiah”, ”bonus”, ”bantuan”, dan sejenisnya sungguh menarik dan menyenangkan. Terlebih lagi bebas tanpa bersyarat, tentu tambah bersemangat untuk segera dapat meraihnya. Sifat dan sikap yang demikian ini rupanya sudah menjadi ’tabiat’ manusia sejak zaman dahulu kala. Bahkan membunuh seorang berkaliber Rasul pun dijalani dengan penuh semangat asalkan ada ”hadiah” yang lumayan. Seperti yang dialami Suraqah, dengan hadiah seribu ekor unta ia bersemangat hendah membunuh Rasulullah, meskipun ia gagal dan akhirnya ia beriman, memeluk agama Islam.
Tabiat ini rupanya ditangkap oleh Islam sebagai dasar motivasi ummatnya agar tertarik dan bersemangat menjalankan ajaran agamanya. Banyak sekali ayat al-Qur’an dan al-hadits yang memberikan kabar gembira tentang besarnya ”ganjaran” bagi ummat yang menjalankan amal ibadah tertentu. Seperti antara lain, ”malam lailatul qadr”, yakni suatu malam (di bulan Ramadhan) yang kemuliaannya lebih baik dari seribu bulan (Qs al-Qadr, 1-5). Bayangkan betapa besar ganjaran bagi orang yang beribadah di malam itu. Padahal 1.000 bulan = 83,3 tahun, sedangkan umur manusia sekarang ini sedikit sekali yang lebih dari 83 tahun. Artinya, bahwa ibadah semalam lebih baik daripada ibadah sepanjang umur. Apalagi dihitung menit/detik justru angkanya sangat ’bombastis’, yakni 43.200.000 menit atau 2.592.000.000 detik. Ini berarti bahwa ibadah di malam itu masih lebih baik daripada 2,592 milyar detik. Seandainya satu detik saja menyerahkan sedekah 100 ribu rupiah, maka ganjaran/pahalanya sama dengan sedekah lebih dari 259,2 triliyun rupiah.
Oleh karena itu di bulan Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir, dan lebih khusus lagi di malam-malam ganjil, motivasi dan semangat beribadah umat muslim telah sampai pada puncaknya. Tetapi bagaimana pasca Ramadhan? Jawabnya tentu rata-rata mulai menurun semangat beribadahnya. Masjid kembali sepi, tak seramai di bulan Ramadhan. Jumlah dana infaq di kotak masjid tak sebanyak di bulan Ramadhan. Shaf jama’ah Rawatib bagaikan kerucut berbalik, semakin ke depan pertanda semakin habis. Inilah fenomena umum dan telah menjadi fakta yang terulang-ulang dari tahun ke tahun, atau mungkin dari abad ke abad.
Namun ironisnya, fenomena tersebut justru dipertahankan atau bahkan dipersubur oleh para tokoh yang mengatasnamakan dirinya Kyai/Mubaligh atau Nyai/Mubalighah dalam setiap pengajian (ceramah) mereka, dan/atau melalui kaset-kaset yang beredar di pasaran. Mereka selalu menggunakan alat ”ganjaran” sebagai teknik motivasi audiennya. Padahal fakta telah membuktikan bahwa teknik motivasi dengan alat ”ganjaran” itu tidak lagi efektif sebagai metode dakwah. Tetapi mungkin ada tujuan lain di luar dakwah. Sebab kenyataannya ummat muslim pada umumnya lebih menyukai ”Kyai/Nyai” yang bicara ”ganjaran” daripada ”siksa”, dan/atau ”Kyai/Nyai” yang pandai bernyanyi dan melawak daripada Kyai/Nyai sufi yang padat isi tetapi anti menyanyi/melawak, sehingga ”Kyai/Nyai” yang humoris dan trampil ’melawak’ lah yang laris manis diundang ke bebagai event. Kalau demikian apakah para ”Kyai/Nyai” tersebut bisa dikatakan lebih mengutamakan ’pangsa pasar’ daripada efektifitas dakwahnya? Hanya Allah yang Maha Mengetahui kebenarannya.
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau patut kiranya selalu ber-khusnuzh zhan bahwa itu semua adalah da’wah bil hikmah. Namun kiranya akan lebih tinggi nilai ”bil hikmah”-nya jika misi dakwah itu difokuskan pada pencerahan ummat, bukan me-’nina bobo’-kan mereka dengan janji-janji ”ganjaran”. Sebab, ayat-ayat al-Qur’an maupun al-hadits yang menerangkan tentang ganjaran yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang beribadah atau beramal saleh itu bukanlah tujuan ibadah melainkan hanya sekadar motivasi bagi orang-orang yang masih rendah derajat ketakwaannya, agar mereka lebih rajin lagi beribadahnya. Ibarat anak kecil, agar ia lebih rajin belajarnya, maka ia diberi janji, misalnya, kalau nanti rangking satu akan dibelikan sepeda baru.
Terdapat sebuah riwayat tentang seseorang yang sejak kecil hingga akhir hayatnya selalu dipenuhi dengan ibadah, waktunya tidak ada yang terbuang percuma kecuali untuk beribadah. Ia berkhalwat, menjauhkan diri dari keramaian dunia, semata-mata untuk beribadah. Maka bisa dibayangkan betapa banyak ”ganjaran” yang dia peroleh. Ketika dia wafat, Allah pun memasukkan dia ke surga dengan rahmat-Nya. Namun setelah tahu bahwa ia masuk surga bukan karena amal ibadahnya tetapi karena rahmat Allah semata, maka dia “protes” kepada Allah. “Ya Allah, mengapa saya masuk surga karena rahmat-Mu, mengapa bukan karena amalku. Bukankah saya telah menghabiskan umurku hanya untuk beribadah, dan seharusnya saya masuk surga karena ganjaran/pahala yang saya peroleh dari amal-amal ibadahku? Allah Swt. berfirman: “Rupanya kamu tidak puas dengan apa yang telah Aku berikan kepadamu? Baiklah, sekarang Aku akan hitung amal-amal ibadah yang telah kamu lakukan. Memang pahala yang kamu peroleh sangat besar, bahkan lebih besar daripada gunung, tetapi ada beberapa kewajiban yang belum kamu laksanakan, di antaranya adalah mensyukuri segala nikmat-Ku. Pertama mulai Kuhitung dari mata. Bukankah dengan rahmat-Ku berupa mata kamu bisa melihat dan membaca sehingga kamu memperoleh ilmu yang bisa kamu gunakan untuk beribadah. Dengan mata pula kamu bisa melihat kebesaran-Ku sehingga kamu memuji-Ku yang menyebabkan kamu mendapat limpahan pahala/ganjaran dari-Ku. Sekarang seberapa syukurmu atas nikmat-Ku yang berupa mata itu. Bukankah ganjaran/pahala ibadahmu yang melebihi gunung itu belum sebanding dengan nikmat yang Kuberikan kepadamu?, meskipun itu baru ditimbang hanya dengan nikmat mata saja, belum nikmat-nikmat-Ku yang lain. Jika tumpuanmu ke surga-Ku hanya dengan amalmu, bukankah neraka lebih pantas menjadi tempatmu?”. Kemudian dia memohon ampun kepada Allah, seraya mengakui bahwa dia masuk surga hakikatnya adalah karena rahmat Allah semata, walaupun secara syari’at adalah karena amal ibadah yang dilakukan dan dosa-dosa yang ditinggalkannya. Sebagaimana hadits dari Abi Hurairah, bahwa Nabi Saw. bersada, “… ketahuilah bahwa tidak ada seorangpun di antara kamu sekalian yang selamat karena amalnya”. Para sahabat bertanya: “Tidak juga tuan, ya Rasulallah? Nabi Saw. menjawab: “Tidak juga saya, kecuali jika Allah Swt melimpahkan rahmat dan karunianya” (HR. Muslim).
Bahkan telah banyak firman Allah Swt. yang menerangkan tentang hal ini, antara lain, bahwa ampunan dan surga adalah Rahmat-Nya yang diberikan-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya (Qs al-Hadid 21); Orang mukmin yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya akan bersama (berteman) para Nabi, para shiddiqin dan syahidin karena mereka mendapat rahmat-Nya (Qs an-Nisaa 69-70); Muhammad Saw. dan para pengikutnya mereka ruku’ dan sujud hanya mencari rahmat dan ridha-Nya (Qs al-Fath 29); dan Allah Swt. memerintahkan Rasul-Nya agar menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin tentang rahmat-Nya (Qs al-Ahzab 47).
Penjelasan al-Qur’an dan al-hadits tersebut seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi orang beriman, bahwa tujuan ibadah itu bukanlah untuk mendapat ”ganjaran” sebanyak-banyaknya, tetapi yang lebih baik dan benar adalah mengharap rahmat dan ridha-Nya. Sebab, ganjaran itu adalah hak prerogatif Allah, dan sebagai wujud dari kasih sayang-Nya. Jadi ”ganjaran” itu tak sebanding dengan rahmat Allah, karena di dalam rahmat Allah tercakup pula ampunan-Nya, sehingga nilai rahmat, misalnya 100, adalah benar-benar 100. Berbeda dengan ganjaran, misalnya 1000, nilainya bisa saja minus 5000 setelah diperhitungkan dengan dosa-dosanya yang ternyata bernilai minus 6000. Oleh sebab itulah tidak pernah Ramadhan (bulan yang di dalamnya terdapat lailatur qadar) sekalipun disebut sebagai ”bulan penuh ganjaran”, melainkan disebutnya sebagai ”bulan penuh rahmat” (syahrul rahmah), ”bulan penuh ampunan” (syahrul maghfirah).
Alhasil, bahwa ibadah yang bertujuan untuk mendapatkan atau mencari ganjaran itu sekalipun boleh dan tidak dilarang, tetapi yang lebih baik dan benar, atau bahkan lebih menguntungkan, adalah mengharap rahmat dan ridha Allah semata. Oleh karena itulah segeralah beralih dari misi ”ganjaran” ke misi ”rahmat dan ridha” Allah dalam segala amal ibadah kita. Semoga Allah Swt. memberikan taufiq, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita semuanya. Amiin. *** Wallaahu a’lam.
Oleh : H. Asmuni Syukir
- Jombang, 21 Januari 2013, Majelis Ta’lim & Bengkel Hati Al-Qolam
- Artikel ini pernah dipublikasikan dalam BULETIN AL-QOLAM