Home / Agama / Kajian / Hijrah Spiritual

Hijrah Spiritual

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Syeikh Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam Kitab al-Hikam berkata:

Dan perhatikanlah sabda Nabi SAW, “Maka siapa yang hijrahnya menuju kepada Allah dan Rasulullah (karena menurut perintah Allah dan Rasulullah), maka hijrahnya akan sampai diterima oleh Allah dan Rasulullah. Dan siapa yang hijrah karena kekayaan dunia yang akan didapat, atau karena perempuan yang akan dikawin, maka hijrahnya terhenti pada apa yang dia hijrah kepadanya.”

Camkanlah sabda Nabi SAW ini dan perhatikanlah persoalan ini jika engkau mempunyai kecerdasan faham. Dan yang utama dalam hadits ini ialah sabda Nabi SAW bahwa hijrah yang tidak didasari niat ikhlas kepada Allah akan terhenti pada tujuan yang sangat rendah dan tidak berarti, dan tidak akan mencapai keridhaan Allah.

Seorang meminta nasehat kepada Abu Yazid al-Busthami, maka berkata Abu Yazid, “Jika Allah menawarkan kepadamu akan diberi kekayaan dari ‘Arsy sampai ke Bumi, maka katakanlah, ‘Bukan itu ya Allah, tetapi hanya Engkau ya Allah tujuanku.’.”

Abu Sulaiman Addarani berkata, “Andaikan aku disuruh memilih antara masuk surga jannatul-Firdaus dengan shalat dua rakaat, niscaya aku memilih shalat dua rakaat. Sebab di dalam surga aku dengan bagianku, dan dalam shalat aku dengan Tuhanku.”

Asysyibli RA berkata, “Berhati-hatilah dari ujian Allah, meskipun dalam perintah, ‘Kuluu wasyarabuu’ (makan dan minumlah). Sebab, dalam pemberian nikmat itu ada ujian untuk diketahui, siapakah yang silau dan lupa kepada-Nya setelah menerima nikmat, dan siapa yang tetap pada-Nya sebelum dan sesudah menerima nikmat.”

Seorang penyair berkata, “Shalat dan puasa karena sesuatu yang dia harapkan, sehingga setelah tercapai hajatnya (dia) tidak shalat dan tidak puasa.”

Semua suluk (perjalanan ruhani) sesungguhnya bertujuan menemukan mulianya Rubûbiyyah (Ketuhanan) dan hinanya ‘ubûdiyyah (kehambaan). Ini merupakan tahap awal sekaligus puncak suluk, sehingga kadar suluk setiap orang dapat diukur dengan penghayatannya atas hakikat ini. Bahkan, ukuran kesempurnaan dan kekurangan manusia terletak di sini.

Egoisme, keakuan, pengagungan dan kecintaan pada diri berbanding terbalik dengan kesempurnaan perikemanusiaan seseorang dan akan menjauhkannya dari maqam kedekatan dengan Rubûbiyyah. Sungguh, hijab yang dihasilkan dari keadaan mengagungkan dan menyembah diri ini sangatlah tebal dan gelap. Mengoyak hijab ini lebih sulit daripada mengoyak semua hijab lainnya. Bahkan, pengoyakan semua hijab lain merupakan pengantar untuk mengoyak hijab ini, lantaran pengoyakan hijab (egoisme) ini merupakan kunci induk untuk membuka alam gaib dan alam tampak (syahâdah) serta pintu utama untuk memasuki kesempurnaan ruhaniah mausia.

Selagi seorang hamba masih saja memandang pada dirinya, kesempurnaan dan keindahannya yang palsu, maka dia akan tetap terhijab dan terjauhkan dari Keindahan Mutlak dan Kesempurnaan Sejati Allah. Keluar dari penjara ini adalah syarat pertama untuk bersuluk menuju Allah. Bahkan, neraca keaslian dan kepalsuan suatu riyâdhah (pengolahan ruhaniah) terletak di sini.

Maka itu, langkah yang diayunkan pesuluk dengan sikap keakuan dan pengagungan diri dalam selubung egoisme dan cinta-diri pastilah tidak akan berguna karena suluk yang demikian itu tidak akan menuju kepada Allah tetapi kembali kepada ego dan dirinya sendiri. “Sumber segala berhala ada dalam dirimu sendiri.” (Jalaluddin Rumi).

Allah SWT berfirman;

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللّٰهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللّٰهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللّٰهِ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُورًا رَحِيمًا ۞

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 100).

Hijrah secara formal berarti pergi dari rumah formal menuju Ka’bah atau tempat-tempat suci para kekasih (wali) Allah, sementara hijrah maknawi (substansial) berarti pergi dari rumah diri dan tempat-tinggal dunia menuju Allah dan Rasul-Nya. Hijrah menuju Rasul dan para wali Allah adalah juga hijrah menuju Allah. Selagi seorang pesuluk masih cenderung pada dirinya dan belum beranjak dari keakuan dan egoismenya, maka dia tidak bisa disebut sebagai seorang musafir. Selagi ikatan keakuan masih dalam menjerat pesuluk, dinding-dinding kota ego dan tapal-batas cinta-dirinya masih belum lepas dari jiwanya, maka dia secara jelas bukanlah musafir atau muhajir (pelaku hijrah) yang sebenarnya.

Siapa pun yang melangkah dengan kaki ubudiyah dan menyematkan pada ubun-ubunnya lambang kehinaan ubudiyyah pasti akan sampai kepada kemuliaan Rububiyyah. Jalan menuju hamparan hakikat Rububiyyah mesti melalui pengembaraan tingkatan-tingkatan ubudiyyah. Apabila sikap keakuan dan egoisme dalam ubudiyyah seseorang sudah terbasmi habis, maka dia akan menemukan dirinya berada dalam naungan penjagaan Rububiyyah. Setelah itu, hamba ini akan sampai pada suatu maqam dimana Dzat Yang Mahabenar akan menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangannya dan kakinya―sebagaimana tertuang dalam hadis yang sahih dan masyhur dalam literatur semua mazhab Islam.

Apabila seorang hamba meninggalkan seluruh campur-tangan dirinya, menyerahkan kekuasaan dirinya sepenuhnya kepada Allah, mengembalikan rumah-dirinya pada Pemiliknya yang sejati dan sirna (fana’) dalam kemuliaan Rububiyyah, maka Pemilik Sejati rumah-diri ini akan mengatur segala urusan dalam rumah tersebut. Dengan demikian, jadilah semua perilaku hamba itu selalu seiring dengan Perilaku Ilahi; matanya akan menjadi mata Ilahi dan dia akan melihat dengan benar (al-haqq); telinganya akan menjadi telinga Ilahi dan dia akan mendengar dengan benar. Dan setiap kali rububiyyah egoistik meningkat, kemuliaan Rububiyyah (Ilahi) dalam dirinya akan menurun. Hal itu lantaran kedua hal ini, kehinaan hamba dan Kemuliaan Tuhan, saling berlawanan. “Dunia dan akhirat itu bagaikan dua wanita yang dimadu.” (Ucapan Sayidina Ali bin Abi Thalib).

Dengan demikian, sudah sewajarnya seorang pesuluk berupaya keras untuk senantiasa mematrikan sifat kehinaan ubudiyyah dan Kemuliaan Rububiyyah dalam sukmanya. Semakin kuat pandangan ini terpatri dalam sukma, semakin bertambah transenden ibadah seseorang dan semakin kuat ruh ibadah memancar dalam dirinya. Selanjutnya, dengan bantuan Dzat Yang Mahabenar dan para wali-Nya yang sempurna, seorang hamba akan sampai kepada esensi ubudiyah dan memperoleh sepercik sinar rahasia ibadah yang sesungguhnya.

Maqam Kemuliaan Rububiyyah yang merupakan inti dan maqam kehinaan ubudiyah yang merupakan kulitnya terlambangkan dengan jelas dalam seluruh ibadah ritual, terutama dalam shalat yang memiliki sifat yang mencakup dan menyeluruh. Kedudukan shalat di antara semua ibadah lainnya bagaikan kedudukan seorang insân kâmil atau kedudukan al-Ism al-A’zham (Nama Teragung Allah)―dan shalat memang adalah al-Ism al-A’zham. Qunut yang merupakan kegiatan sunah dan sujud yang merupakan kegiatan wajib memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri (dalam konteks di atas).

Ketahuilah bahwa sikap ubudiyyah yang mutlak merupakan tingkat kesempurnaan yang tertinggi dan maqam kemanusiaan yang teratas. Tidak seorangpun mendapatkan kedudukan ini kecuali makhluk Allah yang paling sempurna, yakni Baginda Muhammad saw dan para wali-Nya yang juga sempurna. Nabi saw menempati maqam ini secara mandiri (bi al-ishâlah), sementara para wali lain yang sempurna menempati maqam ini berkat bantuan Nabi saw (bi al-thaba’iyyah). Adapun segenap hamba selain mereka yang sudah bersimpuh dalam ubudiyyah tetap akan memiliki cacat dan kekurangan. M’iraj yang benar-benar mutlak tidak akan dicapai melainkan dengan kaki ubudiyyah semacam ini.

Itulah sebabnya Allah SWT berfirman, “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya…” (QS. Al-Isra’: 1). Kaki ubudiyyah dan tarikan Rububiyyah yang mengantarkan makhluk suci itu menuju mi’raj kedekatan dan perjumpaan dengan Allah.

Dalam tasyahud shalat yang merupakan kembalinya Nabi saw dari fana’ mutlak yang beliau alami dalam sujudnya, beliau melakukan tawajjuh pada ubudiyyah sebelum bertawajjuh kepada kerasulannya. Hal ini mungkin merupakan isyarat bahwa maqam kerasulan pun pada hakikatnya adalah inti dari sikap ubudiyyah. Maka Nabi pun paling suka disebut sebagai Abdullah (hamba Allah) ketimbang gelar apapun selainnya.

Source: Islam Indonesia

 

About admin

Check Also

Mengapa Harus Bulan Ramadhan?

”Mengapa Allah SWT menurunkan perintah berpuasa kepada orang-orang beriman jatuh di bulan Ramadhan?”. Oleh: Admin ...