Home / Agama / Kajian / “Hiasilah Dirimu dengan Maksiat” (?)

“Hiasilah Dirimu dengan Maksiat” (?)

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Sahabatku yang dikasihi Allah SWT. Salah satu pesan dari Guru kami Syaikh Ahmad Ibnu ‘Athaillah Assakandari yang paling sering menimbulkan reakasi bagi mereka yang tidak memahaminya adalah:

زَيِّنُوْا أَعْمَالَكُمْ بِالْمَعَاصِيْ  وَلَا تُزَيِّنُوْا نَفْسَكَ بِالطَّاعَةِ

“Hiasilah dirimu dengan maksiat dan janganlah dihiasi dengan ketaatan”.

Pesan hikmah tersebut tertulis di dalam Kitab al-Hikam. Sebuah kitab yang sering menjadi sorotan oleh mereka yang tidak memahami maqamat ruhani. Berhubung Kitab ini memang sebuah kitab yang mesti ditelaah bukan dengan sepintas lalu.

Maqalah ini merupakan maqalah untuk maqam tasawwuf, sehingga tidak bisa dimaknai secara langsung atau lateral. Apabila hanya dimaknai secara makna dzhahirnya saja, maka langsung bisa mengklaim bahwa Syaikh Ibnu Athaillah itu sesat atau salah.

Padahal yang dimaksud dalam maqalah tersebut adalah jangan merasa banyak amal dalam hidup ini, tetapi merasalah banyak dosa dalam hidup ini. Sebuah kalimat singkat tapi justru menyentak kesadaran orang yang sering beribadah tapi tidak dengan hatinya.

Karena hanya orang yang menyertakan hati dalam ibadahnya (hudhur al-qalbi) yang bisa membawa dirinya ke Hadhirat Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ۞ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً ۞ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ۞ وَادْخُلِي جَنَّتِي ۞

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku”. (QS. Al-Fajr [89]: 27-30)

Salah satu penyebab ketidak-hadiran hati ketika beribadah adalah berasumsi tentang surga yang dapat ditakar dengan hitungan amal. Padahal apa yang kita dapatkan dari ibadah kita hanyalah semata berdasarkan rahmat Allah SWT semata.

Karena itulah, Guru kami mewasiatkan tentang bagaimana memunculkan rasa di dalam diri. Penuturan beliau tersebut dilatarbelakangi oleh manfaat dan hikmah yang beliau rasakan, bukan semata-mata memunculkan kaidah-kaidah kosong yang hanya mengandalkan jasadiyah semata.

Mengapa kita mesti menghiasi diri dengan bermuhasabah atas maksiat, dosa dan kebodohan?

Karena kalau kita selalu menghisai diri kita dengan perasaan bodoh dan meyakini kebodohan, maka kita tidak akan memandang rendah orang lain dan tidak akan menakar sekolah atau pesantren. Selain itu, kita harus selalu berada di maqam kekurangan agar selalu termotivasi untuk terus belajar dan tidak meremehkan orang lain.

Oleh karena itu, seorang ahli thariqah itu harus selalu merasa banyak dosa, ahli maksiat, bodoh, menghilangkan perasaan berhasil, menghilangkan perasaan bisa atau mampu, dan yang ada dalam diri dan jiwanya hanya perasaan anâ ‘abdun faqîrun jâhilun (saya adalah hamba yang faqir dan bodoh) di hadapan Tuhan.

Sehingga sebagai hamba atau kawulo benar-benar sadar bahwa diri ini adalah kawulo, dan terus semakin meningkatkan kekawulonannya. Karena itu adalah salah satu fungsi dari thariqah, sehingga bisa mencapai inti tasawwuf, yaitu tashfiyatu al-qulub wa tazkiyatu an-nafs (membersihkan hati dan menyucikan jiwa).

Selain itu, tasawwuf itu tidak menyangkut pakaian, tidak berhubungan dengan pakaian. Akan tetapi, tasawwuf itu menyangkut ilmu hati, sehingga orang dulu memaknai tasawwuf dengan aji roso.

Saudaraku terkasih, demikianlah makna penggalan kalimat hikmah dari Guru kami Syaikh Ahmad Ibnu ‘Athaillah Assakandari yang ditulis di dalam kitab al-Hikam. Semoga Allah SWT memberikan kita keterbukaan hati agar mampu menyertai segala amal yang kita lakukan. Sehingga kita tidak merasa sudah melakukan banyak amal.

Wallâhu A’lam

 

About admin

Check Also

Amalan Nisfu Sya’ban Berjama’ah

“Salah satu amalan yang sudah mentradisi di Indonesia adalah membaca Surat Yasin tiga kali pada ...