“Salah satu kematian hati adalah tidak adanya kesedihan atas kesempatan ibadah yang terlewat dan tidak adanya penyesalan atas kekhilafan yang pernah dilakukan (Syaikh Ahmad bin ‘Athaillah Assakandary)”.
Oleh: Admin*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dikasihi Allah SWT. Hati adalah sentral kehidupan spiritual manusia. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh, dan jika ia sehat, maka sehatlah seluruh anggota tubuh. Dari hatilah cara menjalani hidup dengan benar akan muncul. Ia juga dapat disebut sebagai pemandu bagi akal pikiran untuk memerintahkan seluruh anggota tubuh dengan benar.
Rasulullah SAW bersabda:
أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
“Ingatlah, dan sesungguhnya di dalam diri manusia itu terdapat segumpal darah. Jika ia baik, baik (pula) seluruh tubuh. Dan bila ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Hati yang sehat akan memancar cahaya hingga menerangi akal pikiran. Akal pikiran sebagai panglima dari seluruh anggota tubuh akan memimpin berdasarkan pancaran cahaya hati. Namun, hati yang sakit bahkan mati akan membiarkan akal pikiran memimpin seluruh anggota tubuh dengan kegelapan.
Syekh Ali Baras di dalam Syarah Al-Hikam-nya mengibaratkan hati dan batin laksana bumi yang dapat tumbuh dan hidup, dan juga dapat kering atau mati. Sedangkan air kehidupan yang turun dari langit sirr adalah makrifat dan keimanan yang akan menghidupi bumi tersebut. (Syekh Ali Baras, Syifaus Saqam wa Fathu Khaza’inil Kilam fi Ma’anil Hikam, [Beirut, Darul Hawi: 2018 M/1439 H], halaman 282).
Sebuah perumpamaan yang begitu indah. Bahwa keterhubungan hati yang diibaratkan bumi dengan air kehidupan yang tercurah dari langit rahasia (sirr) adalah sebuah keimanan yang dapat menumbuh-suburkan kehidupannya. Tanpa iman atau makrifat, maka kehidupan bumi hati-bathin akan pupus dan akhirnya mati. Sebuah metafora bagaimana kehidupan spiritual akan menjamin kehidupan yang subur bagi bumi hati-bathin dimana aktifitas seluruh anggota tubuh berjalan diatasnya.
Tanpa air kehidupan yang turun dari langit rahasia (sirr) kehidupan spiritual akan stag dan mati. Hati yang mati, kering, dan gelap tidak akan merasakan apapun. Ia tidak akan memiliki sensitivitas spiritual. Ia tidak akan merasakan manis, pahit, asamnya spiritualitas sehingga hatinya tidak merasakan kelezatan ibadah dan kepedihan atas kesempatan ibadah yang luput.
Guru kami, Syaikh Ahmad Ibnu ‘Athaillah Assakandary dalam Matan Al-Hikam-nya mewasiatkan:
مِنْ عَلَامَاتِ مَوْتِ الْقَلْبِ عَدَمُ الْحُزْنِ عَلَى مَا فَاتَكَ مِنَ الْمُوَافَقَاتِ وَتَرْكُ النَّدَمِ عَلَى مَا فُعِلَتْ مِنْ وُجُوْدِ الزَّلَّاتِ
“Salah satu kematian hati adalah tidak adanya kesedihan atas kesempatan ibadah yang terlewat dan tidak adanya penyesalan atas kekhilafan yang pernah dilakukan.”
Hati yang mati, kering, dan gelap tidak menganggap dosa, kekhilafan, dan kesalahan baik yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak adami (sesama manusia) sebagai masalah serius. Hati yang mati, kering, dan gelap juga tidak akan menganggap waktu ibadah dan waktu kebaikan sebagai kesempatan emas yang harus dipenuhi sesuai haknya. Dan ia takkan menyesali kesempatan kebaikan yang berlalu.
Syekh Ibnu Ajibah menyebutkan tiga tanda kematian hati: pertama, tidak bersedih atas kesempatan ibadah yang terlewat; kedua tidak menyesali perbuatan buruk yang telah dilakukan; dan ketiga menjalin persahabatan dengan orang-orang lalai yang juga mati hatinya. (Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz I, halaman 82).
Sahabat Abu Musa Al-Asy’ari RA meriwayatkan sebuah hadits Nabi Muhammad SAW tentang perbedaan orang yang hatinya hidup, segar, dan terang; dan orang yang hatinya mati, kering, dan gelap.
مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Barangsiapa merasa senang oleh kebaikannya dan merasa susah oleh keburukannya, maka ia adalah orang yang beriman.” (HR At-Thabarani).
Sahabat Abdullah bin Mas’ud RA menjelaskan bahwa orang yang hatinya mati, kering, dan gelap akan menganggap remeh dosa, kesalahan, dan kekhilafannya. Karena itu, penyesalan atas dosa dan kesalahan tidak akan pernah hinggap pada orang tersebut.
Sahabat Abdullah bin Mas’ud RA mengatakan, “Orang yang beriman memandang dosa-dosanya seperti seorang yang sedang duduk di kaki bukit dan ia khawatir sekali sebuah batu besar menimpanya dari atas bukit. Sedangkan orang munafik memandang ringan dosanya seperti lalat-lalat mengganggu ringan yang hinggap di hidungnya, lalu ia berkata, ‘Apa ini, enyah kau,’ seraya mengusirnya.” (Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam, [Kairo, Syirkah Qaumiyyah: 2010 M], halaman 63).
Kematian, kekeringan, dan kegelapan ini yang merusak dan menyakitkan hati karena semua itu membuatnya jauh dari rahmat Allah dan justru mendatangkan murka-Nya. Manakah yang lebih merusak keimanan melebihi kematian dan kekeringan hati? Sedangkan penyesalan itu dapat membangkitkan seseorang untuk memperbaiki diri dan memanfaatkan kesempatan yang tersisa untuk kebaikan. (Syekh Ali Baras, 2018 M/1439 H: 282-283).
Namun demikian, ketika seseorang sudah melakukan hal terbaik bagi hatinya dan memandang dosanya sebagai suatu alasan untuk memohon ampunan Allah SWT, maka langkah selanjutnya adalah ber-husnudzh dzhan (baik sangka) kepada Allah SWT sebagai Maha Pengampun. Seraya mengitsbatkan sebuah ucapan, bahwa rahmat dan ampunan Allah jauh lebih luas dan lebih banyak dari dosa-dosanya.
Syekh Ibnu Ajibah menganjurkan bagi para pendosa untuk tidak larut dalam memikirkan dosa yang mengurangi harapannya kepada Allah dan melahirkan buruk sangka kepada-Nya bahwa Allah tidak akan mengampuninya. (Syekh Ibnu Ajibah: I/82).
Dosa dan kesalahan dalam hal ini menjadi sebuah trigger untuk meraih kondisi sakral dalam berdoa dan memohon ampunan. Kondisi itu ia manfaatkan untuk bertobat dan mengambil waktu sebaik-baiknya untuk muraqãbah kepada Allah SWT. Dalam kondisi ini, dosa dan kesalahan tidak berimplikasi pada kematian hati. Allah SWT telah memberikan motivasi kepada hambaNya yang melampaui batas:
قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ ۞
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya.663) Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar [39]: 53)
Semoga Allah SWT mengampuni segala prilaku kita yang melampaui batas. Dan menguatkan spirit untuk bertaubat dan tidak putus asa dari kasih sayangNya. Semoga juga hati kita tetap dicurahkan hujan dari langit rahasiaNya, sehingga ia tetap hidup dan menyuburkan seluruh tanaman lahir dan bathin kita. Ãmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
__________
* Disarikan dari berbagai sumber