Home / Relaksasi / Renungan / Hastina Dulu – Hastina Sekarang

Hastinapura. Ibu Kota Negara yang Korup...... Pemimpinnya, Dhritrashtra, seorang buta. Padahal, nama itu berarti “Seorang yang Memiliki Visi”. Seorang raja diharapkan dapat melihat lebih jauh, lebih luas dan lebih dalam. Dhritrashtra tidak memenuhi syarat, namun ia tetap memimpin! 

Hastina Dulu – Hastina Sekarang

Kepemimpinannya didukung oleh Shakuni, adik ipar yang berasal dari seberang – seberang pegunungan Himalaya. Shakuni berasal dari Gandhaar, sekarang disebut Kandahar dan menjadi bagian dari Afghanistan. Ke-“buta”-an Sang Raja menjadi berkah baginya. Ia memanfaatkan ketakmampuan Dhritrashtra.

Apa yang terjadi ketika seorang pemimpin tidak memiliki visi? Kezaliman merajalela. Kaurava, putra Dhritrashtra yang berjumlah seratus itu, mewakili seratus sifat jahat dalam diri manusia. Dari amarah dan keserakahan hingga pembenaran setiap tindakan.

Paman Shakuni memagar Sang Raja. Dengan dalih, “Untuk apa merepotkan Baginda, jika saya masih dapat mengatasi persoalan”, ia melakukan sensor terhadap setiap laporan dan berita. Hanyalah yang “baik-baik” saja yang sampai pada Dhritrashtra.

Shakuni mengangkat dirinya sebagai Sekretaris Pribadi Sang Raja dalam “urusan kerajaan”. Untuk urusan-urusan lain adalah Sanjaya, yang sekaligus merangkap sebagai sais Sang Raja.

Shakuni dan Sanjaya. Shakuni berarti “Ia yang larut dalam kenikmatan indera” dan Sanjaya berarti “Ia yang telah mengendalikan panca-indera”.

Persis seperti inilah keadaan kita. Persis seperti inilah keadaan seorang pemimpin. Di satu pihak adalah Shakuni dan di lain pihak adalah Sanjaya. Pilihan sepenuhnya berada di tangan kita. Mau memilih Shakuni atau Sanjaya.

Dhritrashtra memilih Shakuni. Ia memilih Shakuni untuk membantunya dalam urusan kerajaan, urusan-urusan penting. Dan, Sanjaya untuk urusan-urusan lain, urusan-urusan yang tidak terlalu penting. Dhritrashtra salah menentukan, memilih dan meletakkan prirotiasnya. Tetapi, ia seorang buta. Bagaimana dengan mereka yang tidak buta, tetapi tidak dapat melihat juga?

Kita, para pemimpin kita, melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh Dhritrashtra. Alhasil, akibatnya pun sudah pasti sama.

Saat ini, kita, para pemimpin kita, dikerumuni oleh para Shakuni. Shakuni berada dimana-mana. Mereka meninggalkan usaha mereka, kerajaan kecil mereka, istana serta kenyamanan rumah mereka masing-masing – untuk bergabung dengan Dhritrashtra.

Adalah kebodohan Dhritrashtra bila ia tidak memahami alasan Shakuni meninggalkan Gandhaar untuk menetap di Hastina. Sesungguhnya Shakuni tidak berurusan dengan Dhritrashtra. Ia berurusan dengan Hastina. Bukan dengan Rakyat Hastinia, tetapi dengan Kerajaan Hastina. Ia tidak berada di Hastina untuk melayani rakyat, tidak pula untuk mengabdi pada negara. Ia berada di Hastina demi kekuasaan.

Bukanlah tanpa alasan ia meninggalkan kerajaannya sendiri. Sekecil apapun, Gandhaar adalah wilayahnya – wilayahnya sendiri. Ia meninggalkannya demi sesuatu yang besar – Hastina. Hastina yang menjadi pusat anak benua Aryavrat – dari Aryan atau apa yang sekarang disebut Iran, hingga benua Astraalaya, yang sekarang disebut Australia.

* * *

Setidaknya sejak lima ribu tahun sebelumnya, sejak zaman Rama, Hastina dan/atau daerah sekitarnya memang telah menjadi Pusat bagi Peradaban seluruh Anak Benua Aryavrat. Pusat Peradaban, Pusat Budaya – sebatas itu saja. Para penguasa Hastina tidak pernah berambisi untuk menaklukkan raja-raja yang berjumlah lebih dari lima ratus dan menguasai wilayah mereka.

Gelar “Maharaja” yang diberikan kepada penguasa Hastina – adalah gelar kehormatan. Dalam bahasa politik modern, gelar itu barangkali berarti “Ketua Federasi”. Namun, para anggota federasi tidak berkewajiban untuk membayar iuran berupa upeti. Malah, sang ketua berkewajiban untuk melindungi anggotanya. Sumbangan sukarela yang diberikan oleh para anggota sama sekali tidak bersifat wajib. Tidak ada yang memaksa mereka untuk melakukan hal itu.

Shakuni ingin merubah tradisi lama tersebut. Ia ingin menguasai seluruh wilayah peradaban – dari Aryan hingga Astraalaya. Dari Iran hingga Australia. Ia tidak puas dengan wilayahnya yang tandus, Gandhaar. Ia juga tidak puas dengan wilayah kekuasaan Hastina, yang diakuinya sendiri seperti surga. Ia ingin memperluas surga itu. Ia ingin menjadi penguasa tunggal surga itu.

Shakuni adalah seorang politisi yang licik. Untuk mencapai tujuannya, ia rela mengorbankan adiknya sendiri. Gandhaari, sang adik, tidak sepenuhnya setuju dengan “rencana-hitam” kakaknya. Tetapi, apa boleh buat? Di Gandhaar, suara seorang wanita, pendapat seorang perempuan memang tidak berarti banyak. Ia harus takluk pada keputusan kaum pria.

Strategi Shakuni, harus diakui, memang luar biasa! Dhritrashtra buta…… Adik Dhritrashrta, Pandu, menderita penyakit kurang darah sejak lahir. Dalam bahasa modern, Thalasemia. Dari para mata-mata yang tinggal di Hastina, ia pun memperoleh bocoran dari Tabib Kerajaan, bila kedua-duanya impoten. Virya mereka, sperma mereka tidak cukup kuat untuk menghasilkan keturunan dan raja pengganti bagi Hastina.

Shakuni, Shakuni, Shakuni….. Shakuni dulu, dan Shakuni sekarang…… Kiranya siapa yang berperan sebagai Shakuni beberapa tahun yang lalu? Dan, siapa pula yang saat ini berperan sebagai Shakuni?

Mengikuti Konstitusi Hastina yang tidak mengangkat seorang raja berdasarkan garis keturunan, apa lagi usia – tetapi berdasarkan kecakapan dan kemampuan – maka Pandu dinobatkan sebagai Raja Hastina dan Maharaja Aryavrat. Dhritrashtra, walau tidak pernah menyampaikan ketakpuasaanya, sesunguhnya tidak pernah bisa menerima keputusan itu. Ia menyalahkan takdir dan kebutaannya. Padahal, bukanlah itu saja yang menjadi alasan. Dia memang tidak memiliki kemampuan sebagai raja.

Rasa Kecewa yang sudah terpendam lama dalam hati Dhritrashtra menjadi modal utama bagi Shakuni. Ia tinggal memicunya saja. Ia membakar semangat Dhritrashtra, “Kita tidak bia duduk diam dan menyalahkan takdir saja. Kita harus berjuang untuk merubah takdir……”

“Bagaimana……?” Pertanyaan Dhritrashtra mempermudah tugas Shakuni. Pertama, ia harus menyingkirkan Pandu….. Pandu bersama isterinya…… Shakuni mulai mengamati gerak-gerik mereka. Apa yang menjadi kelebihan dan apa yang menjadi kekurangan mereka, kelemahan mereka.

Dan, ia menemukannya….. Pandu sangat berperasaan, sangat sensitif. Sebab itu, sulit baginya untuk memaafkan diri atas kesalahan sekecil apapun yang dibuatnya. Ia mudah mengalami depresi. Barangkali karena penyakitnya juga. Adalah Kunti, sang isteri, yang selalu membantunya untuk bangkit kembali.

“Tanpa Kunti,” Shakuni menyimpulkan, “Pandu akan tumbang!” Maka, ia mulai merencanakan perpisahan mereka.

Bagaimana memisahkan seorang wanita dari pria yang dicintainya? Apa yang menjadi kelemahan seorang perempuan? Rasa Cemburu. Cemburu terhadap wanita lain….. Cemburu terhadap seroang perempuan yang dimadu oleh suaminya.

Ia harus menciptakan saingan bagi Kunti. “Hanyalah dengan cara itu,” pikir Shakuni, “ia dapat mematahkan Pandu.” Maka, ia mendekati Pandu, “Sudah saatnya Baginda memikirkan keturunan. Semoga Tuhan memberkahi Baginda dengan usia panjang, tetapi……. tetapi, kelak siapa yang akan memimpin bangsa ini? Siapa yang akan menjadi pemimpin bagi kaum Arya?”

Pandu tidak mudah terperangkap, “Lain tradisi Gandhaar, lain pula tradisi Hastina. Siapa saja dapat memimpin Hastina. Seorang raja tidak harus keturunan raja. Kedudukan ini, takhta ini, kewajiban ini, tidak diwariskan begitu saja kepada seorang anak jika ia tidak mampu.”

“Maaf Baginda, sulit menemukan seorang satria yang mampu…… Sementara, maaf sekali lagi, kesehatan Baginda sendiri……” Shakuni mendesak terus. Akhirnya, Pandu terperangkap juga.

“Iya yah…..” pikir Pandu, “jika terjadi sesuatu pada diri saya, siapa yang akan menggantikan saya? Baik di keluarga besar Kuru maupun diantara rakyat Hastina, aku belum melihat seseorang yang mampu untuk menjadi pemimpin…..”

Pandu lupa bahwa “keturunan” pun tidak menjamin kemampuan. Ini yang terjadi ketika kita berada dalam lingkungan yang salah. Pengaruh lingkungan membuat kita lupa, merampas akal sehat kita.

Shakuni girang. Ia memang sudah merencanakan sejak dulu….. Shalya, raja yang berkuasa di wilayah perbatasan antara Gandhaar dan daratan Aryavrat – sangat penting bagi pertahanan wilayah tersebut. Shalya berperan sebagai “Pengawal” bagi daratan Aryavrat. Wilayah pegunungan antara Gandhaar dan Aryavrat – saat ini menjadi bagian dari Afghanistan Selatan dan Pakistan Utara – ibarat labyrinth. Banyak tempat tersembunyi yang hanya diketahui oleh tentara setempat. Sehingga mereka dapat menjebak tentara musuh dan mencegahnya untuk memasuki daratan Aryavrat.

* * *

Itu lima ribu tahun yang lalu….. Anehnya, sekarang pun masih sama….. Osama bin Ladin – Manusia yang tidak senang dengan Kemanusiaan – bersembunyi di wilayah yang sama. Dulu, Alexander Agung atau Iskandar Zulkarnain pun gagal menguasai daratan Aryavrat karena dijegat oleh Raja Porus di wilayah tersebut.

Orang-orang asing yang kemudian menguasai daratan Aryavrat – sekarang India – juga menggunakan jalur yang sama. Adalah wilayah pegunungan Himalaya, Punjab dan Sindh yang mereka taklukkan terlebih dahulu….. baru daratan India.

Inilah alasan utama Om Mao dan Paman Sam selalu mendukung Pemerintah Pakistan. Betapapun zalimnya orang yang berada di pucuk pemerintahan – ia tetap memperoleh dukungan dari mereka berdua. Mereka tahu bahwa hanyalah dengan cara itu, Pemerintah India dapat ditakut-takuti. Membidik daratan India dari ketinggian Himalaya adalah pekerjaan tentara ingusan. Tidak membutuhkan keahlian apa-apa. Tapi, itu politik luar negeri….. saya harus kembali pada politik dalam negeri……

Hastina dulu dan Hastina sekarang….. Hastina para Kurawa dan Pendawa, dan Hastina kita…..

Shakuni mefasilitasi perkawinan politik antara Pandu dan adik Shalya, Madri. Dengan cara itu, pikirnya, ia dapat membidik beberapa sasaran sekaligus. Pertama, Kunti sebagai isteri pertama, sudah pasti cemburu. Ia akan terbakar oleh api itu, dan Pandu akan ikut hangus. Siapa lagi yang dapat membangkitkan semangat raja yang lemah dan sakit-sakitan itu?

Madri? Tidak. Ia bukanlah seorang perempuan yang cerdas. Tradisi setempat tidak memberi kesempatan kepada kaum perempuan disana untuk memperoleh pendidikan yang layak. Perempuan di Gandhaar maupun di wilayah yang dikuasai oleh Shalya, tidak setara dengan pria.

Awalnya ketaksetaraan itu bukanlah urusan jender atau diskriminasi. Perempuan memang dibebaskan dari berbagai macam tugas dan kewajiban karena iklim yang ekstrem. Banyak perempuan hamil yang mati di ladang. Banyak anak yang lahir secara prematur dan tidak bertahan hidup. Maka, para bijak disana membuat peraturan khusus bagi kaum perempuan – supaya mereka bekerja di rumah saja. Lama-lama, kebijakan itu disalahpahami dan terciptalah diskriminasi terhadap kaum perempuan.

Dan, diskriminasi ini berkepanjangan….. Hingga hari ini pun masih terjadi. Semestinya tidak perlu lagi. Dulu, setiap orang harus bekerja di ladang, dibawah langit terbuka…… Ada yang bercocok-tanam, ada yang harus menggembala. Sekarang, sudah tidak lagi. Hampir seluruh pekerjaan dilakukan dalam ruang-ruang tertutup. Lengkap dengan pengatur suhu….. Maka, dress-code atau cara berpakaian pun semestinya dikoreksi dan disesuaikan dengan kebutuhan dan tun tuntutan zaman ini.

Tapi, kita harus kembali ke Hastina….. Pandu bersedia untuk menyunting Madri hanya karena desakan Kunti. Bujukan dan rayuan Shakuni tidak berhasil – tetapi strateginya, siasatnya tetap berhasil. Shakuni makin girang.

Sekarang, lengkap dan sampurna sudah pemagaran yang dilakukannya. Jika Pandu berkuasa, maka ada Madri disana, ada Shalya disana. Dan, jika Dhritrashtra berkuasa, maka ada Gandhaari disana.

Apa yang dilakukan oleh para politisi “unggul” sekarang tidak jauh beda. Mereka pun memasang kuda-kuda mereka dimana-mana. Siapa pun yang menang, mereka ikut menang.

Keunggulan Politisi Modern dan Kelicikan Shakuni….. Apa bedanya? Tidak ada. Mereka memang sejenis, serumpun, sepupuan, seperguruan.

Kendati demikian, sesungguhnya ada yang membedakan Politisi Masa Kini dari Shakuni Masa Silam – yaitu afiliasi dan asosiasi mereka yang merangkap-rangkap. Shakuni memang licik, tetapi ia seorang politisi. Ia tidak merangkap sebagai ulama, pendeta, rohaniwan, pemuka masyarakat atau adat. Ia mewakili satu profesi saja. Tidak demikian dengan para politisi kita sekarang. Mereka merangkap-rangkap. Bukan lagi 3 atau 4-in-1- bisa lebih dari itu – kadang bahkan 10-in-1.

Pemuka agama bisa merangkap menjadi politisi, dan dengan sangat mudah ia bisa mengeluarkan fatwa, maklumat atau perintah gaib: “Bila kau tidak memilih partaiku, tidak memilihku, maka nerakalah hunianmu!” Celaka tigabelas.

Mengingat anak-anak kita sudah terkondisi sejak usia dini untuk mempercayai api neraka yang tidak pernah padam dan para peri di surga yang selalu siap melayani – maka perintah-perintah gaib semacam itu menjadi sangat penting, bermakna, berbobot. Tidak dapat ditolak atau diabaikan.

Kesimpulannya: Satu banding Sepuluh. Satu Politisi Modern sama dengan Sepuluh Shakuni Masa Silam. Tepuk tangan…… ada kemajuan!

* * *

Shakuni berhati-hati sekali dalam setiap langkah yang diambilnya. Ia masih bisa bersabar. Para politisi modern tidak memiliki kesabaran seperti itu. Bagi mereka segalanya harus cepat, serba cepat.

Para politisi sekarang dapat memberi dan menarik dukungan dengan seenaknya, kapan saja, dan karena alasan apa saja. Masa lima tahun pun terasa sangat lama bagi mereka. Tidak demikian dengan Shakuni. Ia rela menunggu selama bertahun-tahun…..

Pandu yang lemah, lembut dan sering sakit itu diajarinya untuk memburu. Pertama, Pandu tidak mau. Ia tidak tahan melihat darah….. Tetapi, lagi-lagi pengaruh lingkungan….. lagi-lagi karena pergaulan yang tidak menunjang kesadaran…. akhirnya, ia terjebak juga. Ia mulai menggemari permainan berdarah itu.

Strategi Shakuni berikutnya sungguh jelas dan mudah….. Seseorang yang sedang memburu bisa balik “diburu” dan menjadi mangsa hewan buas. Sesederhana itu, dan bingo! Ia tinggal menunggu “hari baik” untuk menghabisi riwayat Pandu.

Sayangnya, sebelum hari yang ditentukannya itu tiba – Pandu membuat kesalahan yang tidak pernah diperhitungkan oleh Shakuni. Pandu membidik sepasang anak muda yang sedang bercumbuan di tengah hutan…… Dikiranya mereka adalah sepasang kijang….. Ketika ia mendekati “buruan”-nya dan melihat darah manusia, ia langsung jatuh pingsan.

Kelembutan jiwa Pandu membuatnya tidak mudah menerima kesalahannya sebagai kesalahan dan memaafkan diri. Ia berhenti memburu. Awalnya, Shakuni kecewa. Tetapi, kemudian…….

Ia memperoleh bocoran lagi dari Tabib Kerajaan, “Kesehatan Baginda Prabu terganggu akibat pikirannya yang selalu kacau….” Kekacauan Pikiram, dalam bahasa modern disebut “Stress”.

Ya, karena stres berkepanjangan, akhirnya Pandu tumbang juga…… Ia memutuskan untuk menyepi di hutan dan menyerahkan pucuk pemerintahan kepada Dhritrashtra…… Wah, wah, wah, Shakuni menari dan menyanyi girang!

Namun, perjalanan menuju takhta tidak semulus yang terpikir olehnya….. Kekuasaan di tangan Dhritrashtra tidak sepenuhnya berarti kekuasaan di tangannya. Antara Hastina dan dirinya – masih ada Bhishma, Sang Kakek Agung.

Bhishma, walau telah melepaskan haknya atas takhta, masih tetap diperhitungkan. Sesungguhnya, dialah kekuatan Hastina.

Pun tidak terpikir oleh Shakuni bila di tengah hutan belukar itu, Pandu justru akan memperoleh lima orang anak, lima putra, dari kedua orang isterinya. Kemajuan mutakhir di bidang sains memungkinkan kloning, bahkan pembersihan sel-sel sperma dari segala macam defisiensi, kekurangan dan kelemahan.

Sementara itu, adiknya sendiri, Gandhaari, masih belum memiliki keturunan…… Tabib Kerajaan menyimpulkan bahwa Gandhaari baik-baik saja, tidak mandul. Pun Dhritrashtra tidak impoten: “Tunggu saja….”

Shakuni tidak mau menunggu. Ia harus bergerak cepat…. maka, teknologi kloning yang sama dimanfaatkannya bagi Gandhaari…. Celakanya, ia gagal….. Setelah sekian bulan “ditanam” dalam rahim Gandhaari, “benih” Dhritrashtra melahirkan seorang anak yang cacat. Kaki, tangan, dan wajah semuanya lengket – jelas itu bukanlah wujud manusia normal.

Shakuni enggan menyerah…… Gumpulan darah dan daging yang tetap ber-“nyawa” itu dibawanya ke seorang ilmuwan yang suka bereksperimen…… Dan, ia berhasil. Dengan menggunakan teknologi kloning yang sama tetapi selangkah lebih maju, sang saintis dapat memperbaiki DNA….. Alhasil, dari 1 gumpulan darah dan daging itu lahir 100 anak manusia – para Kurawa.

Selanjutnya, kisah Pendawa dan Kurawa sudah kuulangi sekian kali…… Kupikir tak perlu kuulangi lagi….. Tapi, tidak, tidak…… Cerita ini, kisah ini selalu terulang sendiri. Aku mau bercerita tentangnya atau tidak mau, kisah ini tetap terulang……

* * *

Siapa yang menjadi Shakuni di antara kita? Siapakah Dhritrashtra yang buta dan Pandu yang lemah?

Siapa yang berada di balik pertumpuhan darah di Poso? Siapa yang membiayai demostrasi? Siapa pula yang bersiasat untuk menaikkan dan menjatuhkan para pejabat?

Para koruptor tertangkap. Pengawas mereka tidak….. Malah, dengan gagah berani ia bisa berpindah ke rumah yang lebih luas, lebih mewah – senilai milyaran rupiah. Tanya kenapa? Koq bisa?

Money laundering pun dibiarkan terjadi – hanya karena para pelakunya orang dekat. Hak-hak sipil diinjak-injak, kemanusiaan tergilas – karena mereka yang menginjaknya, mereka yang menggilasnya adalah orang-orang penting.

Orang yang tidak setia pada landasan kita bernegara dan berbangsa, orang yang jelas-jelas menolak Pancasila, dan partainya mendukung landasan lain untuk bernegara dan berbangsa – bisa menjadi pembantu presiden di negeri yang bukanlah negeri mimpi ini. Kenapa?

Seorang pendidik, pengajar, profesor doktor dapat menganjurkan agar hukum berdasarkan agama-agama yang beragam itu menjadi landasan bagi negeri ini. Kenapa?

Hastina dulu dan Hastina sekarang…… Dulu seorang Shakuni, sekarang puluhan, bahkan ratusan…..

Ya Allah, Ya Rabb, Widhi, Allah Bapa di Surga, Tao, Thien, Adi Buddha, Satnaam, Gusti – lindungilah negeriku dari para Shakuni dari seberang, dari para Shakuni yang berasal dari negeriku sendiri…….. lindungilah negeriku……..

Raditya, 2007

About admin

Check Also

Panggil Saya Ustadz: Downgrading versus Branding

“Urgensi gelar kebesaran Islam bukanlah semata bertujuan branding, tapi sebuah dakwah yang didasari atas sense ...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *