Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Melanjutkan kajian pada artikel kemarin tentang Hakikat Hati dalam Petikan Kitab Syurûth al-‘Ârif al-Muhaqqiq Syaikh karya Mursyid kami, Syaikh Yusuf al-Tâj al-Khalwati al-Makassari.
Mursyid kami melanjutkan…
Maka tidaklah berakhlak dengan akhlak Ilahi kecuali hamba-Nya yang hakiki yang disebut dengan al-Insân al-Kâmil, dan rahasianya adalah khalifahnya, dan berhubungan / di dalam maqam ini dengan seorang hamba yaitu ketika ia menambahkan kata al-‘abdu kepada diri-Nya dalam perkataanNya “Hamba-Ku yang mukmin” dan hadits lain / selain itu, dan tidak mungkin selainnya, maka pahamilah.
Lalu yang dimaksud dengan ‘arsy di sini adalah tempat penampakan Allah SWT yang Maha Agung, Maha sempurna, / yang paling sempurna semuanya di antara penampakan yang Maha Agung dan Maha Indah. Dan pemandangan yang Agung ini disebut juga bagi-Nya, cermin al-Ḥaqq SWT pada penampakan-Nya / Ta’âlâ di dalamnya dengan penampakan yang Maha Agung, Maha Sempurna, Maha Lengkap dan diluaskan bagi-Nya Ta’âlâ dengan penentuan-Nya pada penampakan itu.
Dan pada maqam (tingkatan) ini dikatakan yang dzâhir dan madzhar adalah satu karena meliputi (Ihâthah) al-Kulli (keseluruhan atau kesemestaan) dan dalam al-Kulli dan atas al-Kulli dan untuk Kulli (tanpa alif lâm) dan pada al-Kulli dan dari al-Kulli dan kepada al-Kulli / dan pemilik maqam ini menjadi fana terhadap Allah dan kekal dengan-Nya Ta’âlâ.
Dan hati yang sempurna (kâmil) menjadi lebih luas dari dua al-Kawn (yaitu liputan-Nya dan kesemestaan) untuk penampakan (dzuhûrah) Allah Ta’âlâ / di dalamnya dan meluaskan-Nya bagi-Nya sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dan di dalam maqam (al-ttihâd) ini juga berkata Imam Agung Syekh dari para Syekh dan penguasa orang-orang arif kepada Allah Ta’âlâ Tuan kami Syekh Abu Yâzid al-Busthâmi semoga Allah mensucikan rahasianya, “jika seandainya ‘arsy / dan apa-apa yang terdapat di dalamnya ada dalam satu riwayat dari riwayat-riwayat hati para orang ‘arif pastilah aku meneguknya”.
Dan berkata Imam pemimpin umat manusia, Syekh at-Tahqîq yang ‘ârif dengan mendalam Tuan kami ‘Abd al-Karîm al-Jîlî semoga Allah Ta’âlâ mensucikan ruhnya, “tak ada yang tahu semua yang kita katakan dan tidak tahu / semua yang kita lafadzkan kecuali dia menuju Tuhan”, dan berkata penulis, “maka tidak mungkin wahai saudaraku, kekasihku, kita menjadi / Dia dan Dia menjadi kita tanpa adanya kesesuaian antara kita dan Dia”.
Tidakkah kau mendengar perkataan al-Imâm al-‘Allâmah penjelas ulama / Makkah yang dimuliakan Tuan kami Syekh Jâr Allah bin Dzâmirah semoga Allah mensucikan rahasianya, “barang siapa yang bangun pada qiyâm mereka dan berpuasa pada puasa mereka / dan tidur pada tidur mereka dan mencicipi makanan mereka maka mereka itu memahami perkataan mereka (orang yang diikutinya)”.
Dan berkata Al-Imâm yang benar-benar penguasa orang-orang ‘ârif Tuan kami al-Syaikh Muhyi al-dîn Ibn ‘Arabi semoga Allah mensucikan rahasianya, “tidaklah aku tulis semua bukuku kecuali untuk orang sepertiku dan bersamanya aku berbicara dan kepadanya aku berkata”, / maka pahamilah hal itu wahai kekasihku jika engkau memiliki pemahaman.
Maka, dari mana kita mengaku bahwa kita (tahu) dengan pengetahuan kalâm pengikut Allah dan orang-orang yang ‘ârif kepada-Nya Ta’âlâ / sedangkan kita di dalam keadaan yang kotor ini dengan sedikitnya ilmu dan kurangnya amal, dengan banyaknya kembalinya kita ke dunia dan menghindari akhirat/ lebih utama dari Allah SWT.
Apakah kau tak tahu bahwa syarat orang ‘Ârif al-Muhaqqiq adalah memiliki kewalian (wali) / yang besar, banyak, tidak terhitung dan tidak terbilang akan tetapi yang disebutkan dalam risalah ini hanya beberapa (syarat), diantaranya tanpa beberapa yang lain karena / alasan keberkahan, dan jika kita belum mampu atas ilmunya untuk mencapai derajat kewalian dan pengetahuan kepada Allah Ta’âlâ maka hendaklah ia tidak mengakui / atas hal itu, hingga tidak masuk ke dalam perkataan-Nya:
“mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat, begitu besar kebencian di sisi Allah”, Ayat al-Quran (al-Shaff: 3), / dan sesungguhnya seburuk-buruk orang ‘ârif yaitu dia dalam urusannya semuanya sibuk dengan Allah Ta’âlâ dan banyak kembali pada akhirat dan menghindari dunia dan menjadikan memusuhi nafsu dan mengabdi kepada para Syekh dan tenggelam dalam zikir / baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan dan berkumpul bersama ahli Allah Ta’âlâ dan yang selain itu,
hingga dikatakan kepada Syekh al-Imâm yang benar-benar pemimpin golongan / Abu al-Qâsim, Al-Junayd al-Bagdâdiy semoga Allah mensucikan rahasianya: “bagaimana kau bisa sampai kepada maqam ini?” yakni maqam al-Qutaybah al-Kubrâ (Poros Besar) maka ia berkata “dengan menaruh ini” dan ia mengisyaratkan dengan tangannya menunjuk pipinya“ / …di depan pintu Syekhku selama 40 tahun”.
Dan ditanya juga syekh al-Imâm pemimpin para wali dan pewaris para Nabi/ tuan As-Syaykh Abd al-Qâdir Jaylâni semoga Allah mensucikan ruhnya dan memberikan kita manfaat dengannya “dengan apa kau sampai / kepada Allah Ta’âlâ?” maka ia menjawab dengan perkataannya: ”Aku tidak sampai kepada Allah Ta’âlâ dengan banyak shalat dan puasa akan tetapi aku sampai kepada Allah Ta’âlâ dengan tawâdhu’ dan mengendalikan jiwa dan menyelamatkan hati dan menepati janji”, maka lihatlah / perkataan para pemimpin, para mursyid orang-orang ‘ârif kepada Allah Ta’âlâ ini maka jauhlah jarak celah antara kita dan mereka / dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan akhirat, lebih-lebih lagi dari perkara-perkara yang berkaitan dengan Allah Ta’âlâ, maka ketika kau menyusuri jalan selain jalan para / orang ‘ârif kepada Allah Ta’âlâ ini kau telah sesat dari jalan yang berharga dan jalan yang lurus maka kau menjadi / penghuni neraka tanpa kesangsian dan tanpa keraguan, kita berlindung kepada Allah dari hal itu, maka ketahuilah hal itu renungkanlah / dan jangan salah paham supaya kau menjadi bagian dari mereka In syâ Allah Ta’âlâ.
Lalu sesungguhnya makna hadits: ”Barangsiapa yang mengenal dirinya maka ia telah / mengenal Tuhannya.” Menurut orang ‘ârif dari ahli ilmu maka telah berkata sebagian besar mereka sesungguhnya makna ”barangsiapa yang mengenal dirinya” / sesungguhnya dirinya itu tiada, semu dan tidak ada, harus dengan takdir bahwa sesungguhnya ia ada, maka keberadaannya / adalah ketiadaannya. Dan setiap kali keberadaan sesuatu tanpanya, maka keberadaannya seperti tidak ada.
Kalimat ”maka ia telah mengenal Tuhannya” sesungguhnya Ia ada / dan wajib berdiri sendiri dan juga “barangsiapa mengenal dirinya” sesungguhnya ia (dirinya) bersifat dengan lawan (kebalikan) dari sifat-sifat / al-Ḥaqq SWT yang (berjumlah) 20 sifat dan selain itu. “Maka ia telah mengenal Tuhannya”, sesungguhnya ia mempunyai sifat-sifat kesempurnaan yang 20 sifat dan yang selain itu dari kesempurnaan sifat-sifat / Asmâiyyah, maka ketahuilah hal itu dan renungkanlah.
Sedangkan al-Imâm Ḥujjah al-Islâm Tuan kami As-Syaikh Abu Hâmid / al-Gazzâli semoga Allah menyayanginya maka ia berkata bahwa yang dimaksud dengan makna hadits “barang siapa mengenal dirinya…” yakni ruhnya, / maka diri atau jiwa (al-Nafsu) bermakna ruh di sini, maka pahamilah dan jangan salah paham. Maka jadilah makna hadits: ”barang siapa mengenal / dirinya” yakni “barangsiapa mengenal ruhnya”, sesungguhnya orang itu berfikir (bahwa ruhnya) mencakup badannya dan tidak bertempat di satu atau lain bagian saja / dan orang itu juga tidak mengetahui kebenaran dan hakikatnya (ruhnya). “Maka ia telah mengenal Tuhannya” sesungguhnya ia berfikir (bahwa Tuhannya) mencakup dunia dan seluruhnya dan orang itu tidak tahu / kebenaran dan hakikat-Nya dan (Tuhannya) tidak bertempat di suatu tempat tanpa tempat (lain) dalam alam semesta semuanya dan tak ada (diketahui) bentuk dalam hal itu, / sesungguhnya Allah Ta’âlâ seperti itu, dan bahkan di atas itu, maka inilah dia wajh al-Tasybîh (Aspek Kesamaan) dalam hal tersebut, maka ketahuilah / hal itu dan camkan dan jangan salah paham dan Allah Maha Mengetahui tentang kebenaran dan kepada-Nya tempat kembali dan tempat berpulang. Selesai / kitab ini dengan pertolongan Allah Raja yang Maha Pemberi Anugerah.
Demikian kajian singkat dari petikan naskah Kitab Syurûth al-‘Ârif al-Muhaqqiq Syaikh Yusuf al-Tâj al-Khalwati al-Makassari. Semoga kita mendapatkan limpahan keberkahan Allah SWT atas ketinggian ilmu dan rahasia beliau, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
Semoga bermanfaat.