Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Allah SWT bersifat Tunggal. Tak ada sesuatupun yang bersanding denganNya atau bersamaNya. Demikian secara konseptual ilmu tauhid memberikan kerangka acuan. Dalam hal ini, konsep tauhid tak membolehkan ada dua wujud yang bersanding dengan Allah SWT.
Jika demikian halnya, lalu seperti apa terjadinya ritual sembah-menyembah jika wujud Yang Disembah tak boleh mengimplikasikan dualisme wujud? Sebagaimana persepsi yang muncul di antara kita bahwa ritual shalat dikatakan sebagai menyembah Tuhan yang seolah-olah berada di hadapan orang yang shalat.
Padahal, konsep “saling berhadapan”, yang berimplikasi kepada dua wujud (antara wujud yang menyembah dengan yang disembah) justru menyalahi konsep tauhid, dimana Allah SWT sebagai Pemilik mutlak Wujud Tunggal.
Mursyid kami telah menjelaskan secara gamblang mengenai konsep sembah-menyembah yang clean (bersih) dari konsep dualisme wujud. Hal ini menjadi sangat penting untuk dipahami sebelum melaksanakan ritual ibadah sehingga si ‘abid tidak terjebak pada persepsi-persepsi ngawur yang berimplikasi pada kegagalan ritual, alias ibadahnya menjadi “mardûdatun lã tuqbalu” (tertolak dan tak diterima).
Mursyid kami telah berkata:
مِنْ تَمَامِ عِبَادَةِ الْعَبْدِ اَنْ يَعْلَمَ بِأَنَّ الْمَعْبُوْدَ ظَاهِرٌ فِى الْعَابِدِ وَإِلَّا فَلَا يَكُوْنُ عَابِدًا عَلَى الْحَقِيْقَةِ لِدُخُوْلِهِ فِى بَحْرِ الشِّرْكِ الْخَفِىِّ وَكَيْفَ لَا يَكُوْنُ كَذَلِكَ وَهُوَ الْعَابِدُ مِنْ حَيْثُ الْأَمْرِ مِنْهُ وَهُوَ الْمَعْبُوْدُ مِنْ حَيْثُ الْأَمْرِ يُرْجَعُ إِلَيْهِ، فَافْهَمْ وَلَا تُغَلِّطْ.
Min tamãmi ‘ibãdatil ‘abdi an-ya’lama bi-annal ma’bûda dhzãhirun fil ‘ãbidi, wa illã falã yakûnu ‘ãbidan ‘alal haqîqati lidukhûlihi fî bahrisy syirkil khafiyyi wa kayfa lã yakûnu kadzãlika wa huwal ‘ãbidu min haytsul amri minhu wa huwal ma’bûdu min haytsul amri yurja’u ilayhi. Fafham walã tughallith.
“Salah satu bagian dari kesempurnaan ibadah seorang hamba adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Yang Disembah itu telah Nyata pada diri si penyembah. Jika tidak demikian, maka si penyembah tak akan bisa berada dalam hakekat kebenaran (dalam hal sembah menyembah) karena sebab terjerembab dalam lautan syirik samar (khafiy) dan bagaimana hal itu tak terjadi demikian, dialah seorang penyembah dari segi ketika ia menerima perintah (dari Yang Disembah), dan Dialah Yang Disembah dari segi segala perintah yang dikembalikan kepadaNya. Pahamilah, dan jangan salah mengerti”.
Lebih lanjut Mursyid kami menjelaskan:
عُلِمَ وَعُرِفَ اَيْضًا كُلَّمَا تَوَجَّهَ اِلَى اَىِّ شَىءِ صُوْرَةٍ (كَانَ اَوْ) مَعْنًى وَجَدَ الْحَقَّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى ظَاهِرًا فِيْهِ وَمُتَجَلِّيًا بِهِ وَفِيْهِ وَلَهُ بِتَجَلِّى الْاِيْجَادِ وَالْخَلْقِ عُمُوْمًا بِالتَّجَلِّى الْخُصُوْصِىّ لَهُ عَلَى كُلِّ اَحَدٍ حَسَبُ قَبْلِيَّتِهِ خُصُوْصًا، فَاعْلَمْ ذَلِكَ .
‘Ulima wa ‘urifa aydhan kullamã tawajjaha ilã ayyi syai-in shûratan (kãna aw) ma’nan wajadal-Haqqa Subhãnahu wa Ta’ãlã dzhãhiran fîhi wa mutajalliyan bihî wa fîhi wa lahû bitajallil îjãdi wal-khalqi ‘umûman bit-tajallil khushûshiy lahuu ‘alã kulli ahadin hasabu qabliyyatihî khushûshan, fa’lam dzãlik.
“Sebagaimana telah diketahui dan disadari bahwa setiap kali menghadapkan wajahnya kepada sesuatu apapun, baik secara tersurat maupun tersirat, ia menemukan al-Haqq Subhaanahu wa Ta’aala secara dzhahir pada sesuatu tersebut dan tampak dengannya, padanya dan baginya dengan Tajalli pada makhluq dan ciptaan secara umum, namun demikian, Tajalli secara khusus baginya terdapat pada seseorang yang sebelumnya juga khusus. Ketahuilah akan hal itu”
Penjelasan tersebut mengimplikasikan penjelasan lebih lanjut tentang arah qiblat secara hakiki, yang akan kami jelaskan pada artikel yang lain.
Wallãhu A’lam