Home / Ensiklopedia / Analisis / Haidar Bagir: Tasawuf Akal, Toleransi, dan Pembelaan Terhadap Syiah

Haidar Bagir: Tasawuf Akal, Toleransi, dan Pembelaan Terhadap Syiah

Mizan—yang dalam bahasa Arab artinya “seimbang”—segera jadi buah bibir tatkala menerbitkan buku pertama sekaligus jadi penanda masuknya mereka dalam gelanggang bisnis penerbitan Indonesia pada 1983. Buku tersebut berjudul Dialog Sunnah-Syi’ah: Surat-menyurat antara asy-Syaikh Salim Al-Bisyri Al-Maliki, Rektor Universitas Al-Azhar, Mesir, dan As-Sayyid Syarafuddin As-Musawi Al-‘Amili, seorang ulama besar Syi’ah. Buku ini segera jadi bestseller dan dicetak ulang berkali-kali.

Apa yang membuatnya menarik tak lain topik yang diangkat. Buku ini membahas dasar-dasar Islam menurut Syiah dan perbandingannya dengan aliran Islam mayoritas (Sunni), lengkap dengan argumen yang bersandar pada acuan yang disepakati kedua pihak: Alquran dan Hadis.

Buku ini, yang menurut Ahmad Muhajir dari harian Kompas “disajikan dengan bahasa yang segar dan mengasyikkan sehingga pembaca tak jemu dibuatnya,” segera dituding sedang mempropagandakan Syiah. Nasib sama dialamatkan pada pendiri penerbit itu: Haidar Bagir.

Predikat ini melekat terus hingga Mizan jadi salah satu kelompok penerbit paling terkemuka di Indonesia, dan Haidar telah melanglangbuana menjelajahi sumber ilmu dan memperoleh beragam titel akademik.

Tapi apa betul Haidar dan Mizan itu Syiah—istilah yang bisa disepadankan dengan tuduhan “bukan Islam” dalam konteks Indonesia?

Dalam sebuah wawancara, Haidar menjawab tudingan itu dengan menyatakan bahwa ia “bukan Syi’ah.” Tapi juga bukan Sunni, atau Wahabi, atau kelompok apa pun.

Ia mengaku: “Saya Muslim. Titik. Mungkinkan seorang cukup menjadi Muslim tanpa embel-embel lain? Sangat mungkin. Sunni-Syi’ah adalah produk konflik politik masa pasca Nabi [Muhammad] wafat. Semasa Nabi hidup, Islam hanya satu. Maka tak ada salahnya jika kita memilih ber-Islam seperti ber-Islamnya masa Nabi kita.”

Sanggahan serupa juga ia sampaikan pada orang-orang yang kadung menuduh Mizan sebagai “penerbit Syi’ah”.

Begini katanya dalam wawancara yang sama: “Niat awal saya mendirikan Mizan hanya satu: yaitu mempromosikan nilai Islam yang damai. Saya tidak mempropagandakan suatu agenda, dan memang tidak memiliki agenda apa pun selain yang saya sebutkan di awal.”

Tasawuf Falsafi

Haidar Bagir telah menulis banyak buku. Beberapa yang penting untuk mengetahui horison pemikiran Haidar Bagir adalah Epistemologi Tasawuf yang terbit pertama kali pada Maret 2017 dan Buku Saku Tasawuf yang terbit pada 2006.

Dalam Epistemologi Tasawuf, yang tebalnya 184 halaman itu, Haidar mencoba menjembatani antara tasawuf dan ilmu pengetahuan—dua hal yang kerap dianggap saling berseberangan. Haidar berupaya membuktikan bahwa mistisisme, yang dianggap dekat dengan sufisme/tasawuf, dengan upaya sedemikian rupa, dapat menjadi sumber sah ilmu pengetahuan.

Tasawuf atau sufisme adalah ilmu mengenai upaya mendekatkan diri dengan sang pencipta (dalam tingkat yang lebih ekstrem dikenal doktrin wahdatul-wujud, manunggaling kawula lan Gusti, bersatunya Tuhan dengan hamba).

Pemikir yang banyak disinggung sekaligus jadi landasan teori utama yang dipakai dalam buku ini adalah Mulla Shadra, filsuf yang lahir pada 1572 dan besar di era Safawiyyah, salah satu dinasti terpenting dalam sejarah Persia. Malah dalam derajat tertentu, apa yang dilakukan Haidar sebatas menuliskan ulang pemikiran Mulla—meski ada pula upaya kontekstualisasi.

Mulla Shadra, yang disebut-sebut sebagai filsuf Islam terbesar pasca-Ibn Rusyd, berhasil mensintesiskan tiga aliran besar pemikiran Islam sebelum masanya: peripatetik, iluminasionis, dan mistik. Berkat itu, para komentator menyebut Shadra telah mendirikan mazhab sendiri, yaitu teosofi transenden atau filsafat hikmah atau dalam bahasa Arab disebut Al-Hikmah Al-Muta’aliyah.

Bagaimana argumen tasawuf/mistisisme bisa selaras dengan sesuatu yang ilmiah?

Dalam ceramah/bedah buku Epistemologi Tasawuf di Fakultas Filsafat UGM, 13 September 2017, Haidar, dengan menyitir Mulla, meringkasnya begini:

“Meski akal analitik tidak mungkin mencakup sebuah pengalaman mistik atau pengalaman relijius karena itu tidak terperikan (ineffable), tapi itu sejalan dengan metode analitik. Konsekuensinya, pengalaman mistik mesti dan mungkin bisa diungkapkan dengan rasional-analisis, dan pada akhirnya sahih sebagai metode perolehan pengetahuan.”

Argumen yang lebih lengkap pertama-tama dilakukan dengan memilah antara pengetahuan capaian (al-ilm al-hushuli) dan pengetahuan kehadiran (al-ilm al-hudhuri). Dua jenis pengetahuan ini dikenal dalam khasanah pemikiran Islam.

Yang pertama, pengetahuan capaian, adalah pengetahuan yang dihasilkan dari proses representasi. Ini mirip seperti metode ilmiah yang kita kenal selama ini: ada objek yang hendak diteliti, lalu ditelaah oleh pancaindera, akal sehat dan segala perangkatnya, lalu diabstraksikan.

Sementara jenis kedua, pengetahuan hadir tanpa proses representasi (penggunaan metode ilmiah). Dalam pengetahuan kehadiran, objek pengetahuan hadir dengan sendirinya langsung ke dalam diri subjek.

Hal ini, dalam dunia para sufi, mirip seperti momen eureka: “mendapat cahaya” atau pengetahuan sejati mengenai Tuhan atau sejenisnya.

“Buktinya apa kalau ada ini [pengetahuan kehadiran]? Buktinya tidak mungkin ada kejadian ‘mengetahui,'” kata Haidar. “Logikanya sederhana, kalau semua proses mengetahui itu representasional, itu tidak mungkin ada yang namanya ‘mengetahui’ karena selalu harus dibutuhkan representasi.”

Haidar mengatakan, pengetahuan kehadiran tidak bisa tak dianggap sebagai sumber pengetahuan hanya karena ia berbeda dengan pengetahuan capaian. Kaum Sufi malah menganggap ilham mistikal seperti ini berasal dari dunia yang lebih tinggi, yaitu alam rohani. Dalam bukunya yang lain, Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau (2017), Haidar menulis begini:

“Membiarkan pemikiran rasional-logis menghakimi pemikiran rohaniah yang lebih tinggi tingkatannya adalah sesuatu yang tidak bisa diterima” (hlm. 63).

Pemikiran macam ini, dalam khasanah tasawuf, masuk dalam kategori tasawuf falsafi. Azyumardi Azra dalam Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan (1999) menjelaskan bahwa ada dua tasawuf yang berkembang di nusantara: tasawuf Sunni dan tasawuf falsafi. Sementara tasawuf Sunni tersebar di beberapa wilayah Nusantara, tasawuf falsafi hanya berkembang di Sumatera.

Tasawuf Sunni—yang banyak dipengaruhi pemikiran Imam Ghazali—lebih menekankan pada pembinaan akhlak atau hal-hal yang sifatnya praktikal; sementara tasawuf falsafi, sebagaimana bisa dilihat di atas, lebih menekankan pada hal-hal teoretis dan abstrak.

Tuduhan Syiah

Tasawuf falsafi ini, dalam sejarahnya, memang lebih dekat dengan kelompok Syiah. Aliran ini masuk ke Indonesia lewat tokoh yang terpengaruh pemikiran Persia semisal Hamzah Fansuri. Pun demikian dengan Mulla Shadra, pemikir utama dalam buku Haidar.

Dan itu bukan satu-satunya alasan kenapa Haidar didakwa dekat dengan atau termasuk dalam bagian Syiah. Ketika warga Syiah di Sampang, Madura, diserang pada akhir 2011, Haidar Bagir adalah salah satu orang yang mencela penyerangan itu.

Dalam artikel di harian Republika berjudul “Syiah dan Kerukunan Umat” (PDF), Haidar mengatakan bahwa solusi dari itu adalah saling memahami. Semua tak boleh dilakukan dengan cara-cara kekerasan.

Pada bagian akhir artikel, Haidar juga menyinggung soal “kelemahan-kelemahan” para pengkritik Syiah di Indonesia. Salah satunya dan yang paling sering adalah generalisasi. Sebagai contoh, pengkritik Syiah menganggap kalau Syiah punya kitab suci yang berbeda, bukan Alquran.

Padahal, kata Haidar, “jumhur ulama Syiah—dengan mengecualikan pandangan yang ganjil (syadz) di antara mereka—sepakat bulat bahwa Alquran mushaf Utsmani yang ada sekarang ini lengkap dan sempurna.”

Dan ini hanya satu dari sekian banyak pembelaan Haidar terhadap “yang-liyan” itu. Hal ini pula yang membuatnya semakin dicap sebagai Syiah.

Haidar sendiri punya argumen yang kuat mengapa ia terkesan membela Syiah. Dalam salah satu wawancara, ia mengatakan bahwa “seorang muslim harus bersikap adil,” sebab, katanya, “adil itu dekat dengan ketakwaan.”

Namun terlepas dari pandangan-pandangan ala kaum moralis tersebut, sesungguhnya posisi Haidar yang demikian adalah konsekuensi logis atas pandangannya mengenai tasawuf.

Tasawuf falsafi yang ditekuni Haidar, yang menghargai rasionalitas dan tidak anti-duniawi dan dekat dengan tradisi Syiah, punya konsekuensi praktis untuk menghargai dan justru mempelajari apa yang dipercayai “yang-liyan“, termasuk jika itu tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan apa yang diyakini.

Karena alasan ini pula Haidar mencerca para takfiri—orang-orang yang gemar mengkafirkan kelompok lain. Dalam esai “Takfirisme: Asal-Usul dan Perkembangannya” (PDF), Haidar mengatakan bahwa doktrin ini berakar dari cara pandang yang menekankan pada aspek-aspek keras hukum-hukum keagamaan.

Akibatnya, berkembanglah sikap eksklusif dalam kecenderungan untuk menghukum mereka yang dianggap “pembangkang” Tuhan.

Dan sebagai antitesisnya, lagi-lagi, adalah tasawuf: mengutamakan agama yang damai dan inklusif.

Pada akhirnya, “Tasawuf”, kata Haidar, “menyuruh orang untuk bersatu dan toleran.”

Penulis: Rio Apinino
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Source: Tirto.Id

About admin

Check Also

Meraih Rahmat dengan Fitnah

“Setiap pengalaman pahit yang dihadapi manusia, terutama terkait hubungan dengan manusia lain, perlu dimaknai sebagai ...