Oleh: H Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Para pembaca yang dikasihi Allah SWT, dalam sebuah pengajian bulanan, seorang Kyai di sebuah pesantren tarekat yang bernama KH. Habibul Huda menyampaikan mau’idzhah hasanah (nasehat yang baik) kepada murid-muridnya.
Dalam nasihatnya itu beliau menuturkan bahwa seseorang dalam menempuh jalan tarekat tiada lain hanya untuk memahami bahwa manusia bukanlah siapa-siapa, tidak punya apa-apa, dan tidak bernilai apa-apa di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sehingga jika seseorang yang menganggap dirinya santri tarekat mempunyai anggapan bahwa dirinya mempunyai kekuatan dan kelebihan lalu disombongkan, maka sejatinya dia telah gagal dalam bertarekat.
Kemudian KH. Habibul Huda mengajak para hadirin untuk sejenak membayangkan dan memahami seperti apa sosok pemimpin umat manusia, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad adalah Al-Insãn Al-Kãmil (manusia sempurna). Makhluq yang paling tinggi derajatnya di sisi Tuhan, dan merupakan pemimpin dunia dan akhirat. Namun demikian, Nabi tetap memposisikan dirinya sebagai seseorang yang rendah di hadapan Tuhan, bahkan para ulama menyebutkan bahwa sifat termulia dan tertinggi dari Nabi Muhammad SAW adalah sifat kehambaannya dan kerendahan dirinya kepada Tuhan.
Sifat kehambaannya dan kerendahan dirinya kepada Tuhan adalah sifat yang paling dalam, paling serius dan paling tulus daripada makhluq lain di kolong langit ini.
Allah berfirman dalam Al-Qur’ãn Al-Karîm, Surat Al-Isrã’, Ayat 1:
سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ ۞
Subhãnalladzî asrã bi ’abdihî lailam minal masjidil harãmi ilal-masjidil aqshal ladzî bãraknã haulahû linuriyahû min ãyãtinã, innahû huwas samî’ul bashîr
“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya (Nabi Muhammad SAW) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho, yang telah memberkahi sekelilingnya, agar kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, lagi Maha Melihat.”
Dalam Ayat ini, para ulama memahami bahwa sifat kehambaan Nabi Muhammad SAW adalah sifat termulia dari Beliau; sebab seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Isra’ Mi’raj merupakan salah satu kejadian terpenting dalam Islam, namun demikian dalam ayat tersebut Allah secara khusus menyebut Nabi dengan sebutan عبده (hambaNya).
Hal ini tiada lain kecuali karena kehambaan adalah sifat termulia dari Nabi Muhammad SAW. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Imam Fahrur Razi dalam kitab tafsirnya Mafãtihul Ghaib.
Karena itu, santri tarekat harus menginstropeksi diri, sejauh mana tingkat keberhasilannya dalam menempuh jalan tarekat (suluk). Apakah benar-benar sudah mengikuti jejak Rasulullah SAW yang senantiasa merendahkan diri di hadapan Tuhan dan segenap makhlukNya, atau malah kesombongan yang menjadi karakternya.
Hendaknya seseorang selalu berkaca, melihat seperti apa diri yang sesungguhnya. Ibarat seseorang yang bercermin di depan kaca untuk mendapatkan seperti apa gambaran dirinya, begitu pula kita memerlukan kaca cermin untuk melihat kepribadian dan hakikat diri kita.
Dalam masa kenabian, dapat kita pastikan cermin itu terlihat jelas dalam sosok Nabi SAW. Karena seseorang yang hidup di masa itu dapat dengan mudah melihat Rasulullah SAW. Rasulullah SAW adalah kaca cermin bagi para Sahabatnya, karena Rasulullah SAW adalah Mursyidul A’dzham di masa itu.
Namun di masa sekarang, siapa yang berhak menjadi cermin untuk hidup dan kepribadian kita? Jawabannya tiada lain adalah Guru Mursyid kita. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Anwãr Al-Qudsiyyah karya Imam Abdul Wahhab As Sya’roni, halaman 148, cetakan al-Haramain:
وَكَانَ سَيِّدِيْ عَلِيُّ بْنِ وَفَا رَحِمَهُ اللّٰهُ يَقُوْلُ: جَمِيْعُ مَا تَرَاهُ فِيْكَ مِنَ الْمَدَدِ فَهُوَ مِنْ فَيْضِ أُسْتَاذِكَ، وَجَمِيْعُ مَا تَرَاهُ فِيْهِ مِنَ النَّقْصِ فَهُوَ صِفَتُكَ، فَإِنَّهُ مِرْآةُ الْوُجُوْدِ .
“Sayyid ‘Ali bin Wafa berkata; segala pertolongan dan anugerah Tuhan yang engkau lihat dalam dirimu, itu hakikatnya adalah limpahan kebaikan dari gurumu, dan segala kekurangan yang engkau lihat dalam diri gurumu, itu hakikatnya adalah gambaran dari dirimu sendiri, maka sesungguhnya guru adalah kaca cermin dari wujud seorang murid”.
Ratusan tahun yang silam, ada seorang mursyid yang menggunakan media mimpi dalam membimbing murid-muridnya. Dikisahkan suatu ketika ada seorang murid bermimpi bertemu dengan Syaikh Abi Yazid, namun si murid tersebut keheranan melihat sosok Abi Yazid yang berwajah laksana babi, hingga murid ini terbangun dari tidurnya dengan perasaan bingung.
Akhirnya ia memberanikan diri menemui Syaikh Abi Yazid untuk mengutarakan mimpi yang membuatnya gelisah tersebut, lalu Syeikh Abi Yazid menjawab “Aku adalah cermin dari wujud murid, maka engkau dapat melihat wajahmu pada diriku, lalu engkau mengira bahwa gambaran dari dirimu itu adalah gambaran dari diriku?”.
Dengan penuh penyesalan si murid menyadari bahwa sungguh benar apa yang diucapkan oleh gurunya, dia menyadari bahwa dirinya masih jauh dari kebaikan. Mulai sejak itu dia selalu menginstropeksi dan memperbaiki kepribadian hidupnya, sampai akhirnya dia dapat bertemu lagi dengan gurunya dalam mimpi dengan gambaran utuh sebagai manusia.
Sebagai catatan, ulama menyebutkan bahwa syetan dan jin tidak dapat menjelma menjadi Rasulullah SAW dalam mimpi seseorang, begitupun syetan dan jin tidak dapat menjelma menjadi mursyid yang kamil mukammil dalam mimpi seorang murid.
Kemudian KH. Habibul Huda kembali mengajak para hadirin untuk sama-sama merenungkan seperti apa gambaran sosok Guru Mursyid di dalam hati. Barangkali banyak dari kita yang merasa aneh dengan Guru Mursyid, atau bahkan menuduh yang bukan-bukan pada Guru Mursyid, maka sesungguhnya itu bukan Mursyid yang salah, melainkan diri kita sendirilah yang bermasalah.
“Tanya dan koreksi hati kalian; karena hati tidak pernah bohong. Dalam diri seseorang ada dua anggota tubuh yang tidak pernah berbohong, yang pertama lidah, seseorang yang baru menikah misalnya, mulutnya akan dengan mudah memuji masakan istrinya, walau seperti apapun masakannya, namun lidahnya tidak pernah bohong, andai masakan itu enak ia rasakan enak, dan andai tidak sedap ia rasakan tidak sedap. Yang kedua adalah hati, semanis apapun mulut seseorang memuji orang lain, andai ia tidak menyukai sikapnya, hatinya akan jujur berkata tidak suka. Begitu pula ketika kita ditanya perihal guru Mursyid, mungkin mulut akan menyanjung setinggi langit, namun sebenarnya apa yang ada dalam hati? Wallãhu A’lam, hanya diri kita sendiri yang tahu.”
Di akhir mau’idzhahnya, KH Habibul Huda menuturkan bahwa keberadaan Mursyid yang jauh dari jangkauan dan sulit untuk ditemui, itu bukanlah hal yang buruk bagi kita, bahkan mungkin itu adalah yang terbaik, karena belum tentu dekat dengan Mursyid berdampak baik untuk kita, bahkan bisa sebaliknya.
KH. Habibul Huda menganalogikan hal ini dengan orang Jawa yang baru berhaji untuk pertama kali, banyak dari mereka yang menangis haru saat pertama kali berhadapan langsung dengan Ka’bah yang selama ini menjadi tempat berkiblat setiap kali melakukan ibadah shalat. Namun, belum tentu hal ini dapat dirasakan oleh orang yang bertempat tinggal di Makkah atau orang yang sering melihat Ka’bah.
Dalam analogi ini KH. Habibul Huda mengkisahkan peristiwa tatkala ia menjadi Tenaga Musiman (TEMUS) Haji di Tahun 2006. Ia mempunyai teman kenalan yang hampir setiap hari berada satu mobil dengannya, dan setiap kali masuk waktu shalat ia selalu mengajak temannya tersebut untuk masuk ke Masjidil Haram guna melakukan shalat berjama’ah, namun setiap kali ia mengajak temannya itu, maka di saat itu pula temannya selalu berkata; “ya silahkan kamu duluan”.
Kejadian itu berulang sampai kurang lebih tiga bulan lamanya. Hal ini tentu saja mengherankan, karena temannya tadi adalah orang muslim Indonesia yang bekerja di sana, dan bertempat di Makkah Al-Mukarramah. Namun tidak sekalipun ia memandangi Ka’bah, karena dia selama ini tidak pernah melakukan shalat.
Betapa mengherankan orang yang dekat sekali dengan Ka’bah, namun tidak pernah mau menghadapnya di waktu shalat. Mungkin ini dapat menjadi pelajaran bagi kita bahwa kedekatan seseorang dengan sesuatu yang mulia belum tentu dapat menjadikannya lebih baik.
Saudaraku yang dikasihi Allah SWT, kututup artikel ini dengan do’a:
اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِكَ تَهْدِيْ بِهَا قَلْبِيْ، وَتَجْمَعُ بِهَا شَمْلِيْ، وَتَلُمُّ بِهَا شَعَثِيْ، وَتَرُدُّ بِهَا أُلْفَتِيْ، وَتُصْلِحُ بِهَا دِيْنِيْ، وَتَحْفَظُ بِهَا غَائِبِيْ، وَتَرْفَعُ بِهَا شَاهِدِيْ، وَتُزَكِّيْ بِهَا عَمَلِيْ، وَتُبَيِّضُ بِهَا وَجْهِيْ، وَتُلْهِمُنِيْ بِهَا رُشْدِيْ، وَتَعْصِمُنِيْ بِهَا مِنْ كُلِّ سُوْءٍ ۞
اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أُنْزِلُ بِكَ حَاجَتِيْ وَإِنْ ضَعُفَ رَأْيِيْ وَقَصُرَ عَمَلِيْ وَافْتَقَرْتُ إِلَى رَحْمَتِكَ، فَأَسْأَلُكَ يَا قَاضِيَ الْأُمُوْرِ وَيَا شَافِيَ الصُّدُوْرِ كَمَا تُجِيْرَ بَيْنَ الْبُحُوْرِ أَنْ تُجِيْرَنِيْ مِنْ عَذَابِ السَّعِيْرِ وَمِنْ دَعْوَةِ الثُّبُوْرِ وَفِتْنَةِ الْقُبُوْرِ ۞
Allãhumma innî as-aluka rahmatan min ‘indika tahdî bihã qalbî, wa tajma’u bihã syamlî, wa talummu bihã sya’tsî, wa taruddu bihã ulfatî, wa tushlihu bihã dînî, wa tahfadzhu bihã ghãibî, wa tarfa’u bihã syãhidî, wa tuzakkî bihã ‘amalî, wa tubayyidhu bihã wajhî, wa tulhimunî bihã rusydî, wa ta’shimunî bihã min kulli sû-in.
Allãhumma innî unzilu bika hãjatî wa in dha’ufa ra’yî wa qashura ‘amalî waftaqartu ilã rahmatik, fa as-aluka yã qãdhiyal umûri wa yã syãfiyash shudûri kamã tujîra baynal buhûri an tujîranî min ‘adzãbis sa’îri wa min da’watits tsubûri wa fitnatil qubûr.
“Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon rahmat dari sisi-Mu, yang dengannya Engkau bimbing hatiku, dengannya Engkau himpunkan semua urusanku, dengannya Engkau kumpulkan urusan-urusanku yang tercerai-berai, dengannya Engkau perbaiki agamaku, dengannya Engkau perbaiki sisi yang tidak tampak pada diriku, dengannya Engkau tingkatkan sisi yang tampak pada diriku, dengannya Engkau sucikan semua amalku, dengannya Engkau cerahkan wajahku, dengannya Engkau ilhamkan petunjuk kepadaku, dengannya Engkau berikan kepadaku apa yang aku sukai, dan dengannya pula Engkau lindungi aku dari segala keburukan”.
“Ya Allah! Aku adukan semua kebutuhanku kepada-Mu, meskipun pemikiranku terbatas dan akupun lemah. Aku membutuhkan rahmat-Mu, maka aku mohon kepada-Mu, wahai Dzat yang memutuskan semua perkara dan yang menyembuhkan hati! Sebagaimana Engkau kuasa memisahkan antara lautan, maka lindungilah aku dari azab neraka yang menyala-nyala, dari seruan mengharapkan kebinasaan (karena dahsyatnya) neraka dan dari azab kubur”.
Wallãhu A’lam bish-Shawãb.