Kesejahteraan ekonomi bagi pengusung Trickle Down Effect ibarat tetesan air dari atas ke bawah. Para pengusungnya meyakini bahwa kemakmuran akan tercapai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa perlu memperhitungkan pemerataan ekonomi. Dalam pandangan teori ini, ekspansi ekonomi, termasuk peningkatan jumlah orang kaya, akan berdampak pada multiplier effect terhadap pelaku ekonomi di bawahnya, sehingga akan berimbas terhadap kemakmuran. Tidak heran, jika kalangan ini begitu bangga dengan prestasi pertumbuhan jumlah orang kaya di Indonesia yang dinobatkan termasuk tertinggi di Asia.
November lalu, Forbes Asia merilis daftar 50 orang terkaya di Indonesia tahun 2013. Beberapa milyarder justru menambah pundi-pundinya yang semakin membengkak ketika perekonomian Indonesia cenderung bergejolak. Meski laju pertumbuhan ekonomi masih bertengger di atas lima persen, tapi nilai tukar rupiah terhadap valuta uang asing jeblok hingga 19 persen dibandingkan tahun lalu.
Harian Kompas (22/11/2013) melaporkan, jumlah harta 50 orang terkaya di Indonesia mencapai $95 miliar atau Rp.1.111,5 triliun, dengan asumsi kurs ketika itu sebesar Rp.11.700 perdolar. Nilai ini setara dengan setengah dari utang pemerintah Indonesia pada akhir Oktober 2013 sebesar Rp.2.273 triliun. Jumlah tersebut naik 1,1 persen dibandingkan tahun lalu.
Selain itu, pertumbuhan orang kaya Indonesia juga dilihat dari pemilik aset di atas $1 juta yang mencapai 25 persen per tahun. Staf Ahli Asosiasi Perusahan Ritel Indonesia (Aprindo) Yongki Susilo Kamis (16/1/2014) mengungkapkan bahwa peningkatan ini menempatkan Indonesia di deretan negara yang paling besar pertumbuhan orang kayanya di Asia. Meski demikian, jumlahnya masih lebih kecil dibandingkan Cina. (Metrotv,16/1/2014).
Tentu saja, deretan angka fantastis tersebut memberikan kontribusi terhadap data rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia secara kumulatif tumbuh 5,78 persen di tahun 2013. Produk domestik bruto (PDB) per kapita atas dasar harga berlaku di tahun 2013 mencapai Rp.36,5 juta, atau senilai $3.499,9, yang meningkat 8,88 persen dibandingkan PDB per kapita tahun 2012.
Tapi, di tengah gebyar naiknya jumlah orang kaya Indonesia di tahun 2013, awal Januari lalu, BPS merilis data tingkat kemiskinan Indonesia yang mengkhawatirkan. Kepala BPS Suryamin Kamis (2/1/2014) mengungkapkan jumlah orang miskin di bulan September 2013 sebesar 28,55 juta atau berkisar 11,47 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah tersebut bertambah sebanyak 0,48 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2013 sebanyak 28,07 juta orang, atau 11,37 persen.
Lebih parah lagi, laporan BPS juga mengungkapkan bahwa indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) Maret-September 2013, terjadi kenaikan dari 1,75 persen menjadi 1,89 persen. Tidak hanya itu, indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) juga naik dari 0,43 persen menjadi 0,48 persen. Laporan BPS tersebut menunjukan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia semakin parah bukan hanya dari jumlah dan prosentase saja. Tapi, tingkat kedalaman dan keparahan pun kian mengkhawatirkan.
Kedua indeks tersebut menunjukkan semakin tingginya tekanan hidup yang dihadapi penduduk miskin. Melambungnya harga kebutuhan pokok akibat kenaikan harga BBM menyebabkan daya beli penduduk miskin semakin menurun, tapi di sisi lain tingkat pendapatan mereka tidak mengalami peningkatan. Akibatnya kehidupan mereka semakin jauh dari sejahtera. Data tersebut belum termasuk penduduk “hampir miskin” yang jumlahnya semakin meningkat melebihi jumlah penduduk miskin. Tampaknya, data BPS tersebut masih fenomena gunung es yang tidak mencerminkan realitas kemiskinan sebenarnya di luar deretan angka. Belum lagi banyak pihak yang keberatan dengan standar kemiskinan yang ditetapkan BPS sekitar Rp 211 ribu per kapita per bulan, bahkan standar ini berbeda dengan ukuran Bank Dunia.
Potret kontras yang menampilkan realitas kesenjangan sosial meningkatnya jumlah orang kaya yang segelintir dengan aset begitu besar, dan jumlah penduduk miskin yang semakin membengkak di tanah air memicu pertanyaan besar; ketimpangan.
Indonesia mendapat pujian dari berbagai kalangan karena mampu menampilkan indikator makro ekonomi yang berkilau, seperti laju pertumbuhan ekonomi yang bertengger rata-rata 5,85 persen dalam kurun waktu 2008-2013. Tapi, di sisi lain tingkat ketimpangan juga semakin mengkhawatirkan. Data Indeks Gini Indonesia dari tahun 2004 hingga tahun 2013 memperlihatkan tren yang meningkat, bahkan pada tahun 2013 menunjukkan angka 0,413.
Dari kepingan laporan ekonomi Indonesia tersebut ada beberapa hal yang bisa dicermati lebih jauh.
Pertama, berbagai data ini menunjukan ketidakadilan distribusi pendapat yang bertumpuk di kalangan tertentu saja. Perekonomian Indonesia, terutama sumber produksinya ternyata dikendalikan oleh segelintir orang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dewasa ini hampir seluruh kebutuhan pokok masyarakat dikendalikan oleh korporasi raksasa, dengan menguasai begitu banyak sektor strategis, dari bahan bakar, jalan tol hingga air minum. Besarnya pengaruh korporasi raksasa terhadap kehidupan masyarakat menyebabkan mereka mampu mendiktekan kepentingan ekonominya terhadap masyarakat bahkan negara. Akibatnya segelintir konglomerat terus “menggemukkan” pundi-pundi hartanya, sedangkan jutaan rakyat yang miskin dan hampir miskin semakin jauh dari sejahtera.
Kedua, populasi penduduk Indonesia yang besar menjadi pasar potensial bagi perusahaan raksasa termasuk incaran korporasi multinasional. Laporan BPS menunjukkan bahwa struktur PDB tahun 2013 masih didominasi oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga yang tumbuh 55,82 persen. Hingga kini berbagai korporasi asing beroperasi di Indonesia dengan mendulang emas dari besarnya jumlah penduduk yang dijadikannya sebagai pasar konsumtif.
Ketiga, meskipun amanat UUD 1945 Pasal 33 menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, tapi realisasinya masih jauh panggang dari api. Hal tersebut ditegaskan hasil survei yang dilakukan Indo Survey dan Strategy yang menunjukkan bahwa sebanyak 53,3 persen masyarakat tidak percaya terhadap pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 tersebut. (Kompas,20/10/2013).
Bertebarannya korporasi multinasional di Indonesia mengeruk kekayaan bangsa ini dan hanya sedikit saja kontribusinya bagi negara kita, ternyata bukan hanya fenomena yang menimpa Tanah Air saja. Di tingkat global, segelintir korporasi multinasional menguasai hajat hidup publik dunia, bahkan kebutuhan pokok seperti pangan dunia pun berada dalam kendalinya.
Khudori (2011) mengutip laporan South Center (2005) menunjukkan bahwa sekitar 85-90 persen perdagangan pangan dunia dikontrol hanya lima korporasi multinasional. Sekitar 75 persen perdagangan serelia dikuasai oleh dua korporasi multinasional. Dua korporasi raksasa menguasai 50 persen perdagangan dan produksi pisang. Tiga korporasi multinasional menguasai 83 persen perdagangan kakao. Tiga korporasi menguasai 85 persen perdagangan teh. Lima korporasi mengendalikan 70 persen produksi tembakau. Tujuh korporasi menguasai 83 persen produksi dan perdagangan gula. Empat persen mengendalikan hampir dua pertiga pasar pestisida. Sedangkan empat korporasi raksasa menguasai seperempat bibit (termasuk paten) dan hampir seratus persen pasar global bibit transgenik.
Keserakahan korporasi menyebabkan dunia timpang, karena mereka menguasai pasar seluruh kebutuhan pokok masyarakat dunia. Tampaknya, Noreena Hertz benar, “Pasar yang tidak diatur, keserakahan korporasi, dan lebih lagi lembaga keuangan akan memiliki konsekuensi global yang serius terutama berdampak buruk bagi warga biasa”.
Cengkeraman korporasi multinasional di dunia memanfaatkan kelemahan demokrasi Liberal yang dipaksakan penerapannya di berbagai negara dunia, tanpa memerdulikan kearifan lokal. Korporasi raksasa multinasional juga memanfaatkan lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk menekan kebijakan pemerintah sasaran pasar, termasuk Indonesia agar memuluskan jalan bagi mereka untuk mendulang pundi-pundi kekayaan di seluruh dunia. Model “Democracy without Adjectives” yang berkembang dewasa ini tidak lain dari cara korporasi multinasional membenamkan cakarnya di seluruh dunia tanpa mengenal batas dan rambu-rambu, bahkan aturan negara. Saking mengguritanya korporasi multinasional di dunia, Hertz (1999) menyebut korporasi multinasional menjelma menjadi institusi dominan yang mengalahkan negara dari sisi kekuasaan dan pengaruhnya di dunia.
Hertz sejalan dengan tesis Leftwich (1993), Gibson (1993), Hadenius dan Uggla (1990) yang menunjukkan model baru demokrasi yang diadopsi saat ini sebagai cara baru korporasi multinasional mengintervensi negara-negara dunia. Inilah kemasan paling ampuh Kapitalisme global untuk memasukkan agenda tersembunyi ke negara tujuan dengan menggusur peran negara dan menggantikannya dengan pasar.
Dalam banyak kasus di Indonesia, buah getir dari agenda tersembunyi itu memasuki berbagai sektor, termasuk proses pembuatan undang-undang di DPR. Badan Intelejen Negara (BIN) melaporkan bahwa proses pembuatan 79 undang-undang di DPR dikonsep oleh konsultan asing (beritasatu,2001). Menurut anggota DPR, Eva Sundari, kebanyakan undang-undang yang menjadi sasaran intervensi asing di sektor migas, energi dan pertanian. Mungkin inilah yang disebut Noreena Hertz sebagai “Silent Takeover”. Kekayaan bangsa-bangsa dunia, termasuk sumber daya alam negara kita yang kaya raya, diambilalih diam-diam oleh korporasi multinasional itu. Tapi, kita acapkali tidak menyadarinya!
Sumber :indonesian.irib.ir