Masih ingat kasus Sumanto, manusia kanibal asal Purbalingga, Jawa Tengah? Ia adalah pemakan daging bangkai manusia yang sempat menggemparkan dunia. Padahal Sumanto hanyalah kanibalisme insidental, korbannya tidak terlalu banyak, dan ia berbuat hanya karena faktor ajaran sesat, atau mungkin karena kelainan jiwa. Bahkan, mungkin saja Sumanto hanyalah ‘penerus’ sejarah kanibalisme yang diduga telah tersebar pada masyarakat primitif di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Seperti yang pernah diberitakan koran Sinar Harapan, bahwa suku Fore di pedalaman Papua Nugini, hingga tahun 1950-an masih melakukan hal sama seperti Sumanto. Bedanya, jika mayat yang dikonsumsi Sumanto merupakan curian, maka suku Fore justru mengkonsumsi jenazah sanak keluarga sendiri yang baru saja meninggal lewat ritual yang disebut “pesta pemakaman” (GloriaNet).
Di era global seperti sekarang ini ternyata fenomena ’kanibalisme’ tersebut belumlah punah. Bahkan terkesan semakin berkembang, tidak hanya terbatas pada masyarakat suku terasing, tetapi justru lebih banyak terjadi pada masyarakat yang mengaku modern. Karena fenomena ’kanibalisme’ ini bisa dilakukan secara leluasa, di rumah, di kantor, di pasar, ataupun di dalam kendaraan. Sementara pelakunya pun tidak pernah merasa bersalah, bahkan semakin ketagihan, dan mencari ‘partner’ semakin banyak lagi.
Lalu, siapakah kanibalis modern yang seolah-olah ‘kebal hukum’, bisa berbuat kejahatan secara leluasa? Al Qur’an telah menunjukkan jawabannya, bahwa mereka adalah orang-orang yang ahli gossip alias ghibah atau penggunjing
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ ﴿١٢﴾
(Qs. al Hujurat 12).
Karena dalam ayat ini Allah secara jelas dan tegas menyatakan: ”Jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang lain, dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging bangkai saudaranya? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”. Tentu saja, ayat ini tidak berlaku bagi orang-orang yang tidak waras (kelainan jiwa). Sebab, orang-orang yang masih normal tentu akan merasa jijik makan daging bangkai, apalagi daging bangkai manusia, terlebih lagi bangkai saudara sendiri.
Kalau demikian, sesungguhnya ahli gosip itu tidak jauh berbeda dengan perilaku Sumanto. Bedanya, Sumanto pernah dipenjara, kemudian ia menyadari perbuatan jahatnya dan bertaubat, lalu nyantri di pesantren dan sekarang jadi ustadz. Sementara ahli gosip belum banyak yang menyadari bahwa gosip itu sama saja dengan perilaku Sumanto di masa lalu, malahan gosip kian menjadi hoby. Buktinya acara tv seputar gossip semakin semarak, dan beraneka ragam kemasannya. Ini mengisyaratkan bahwa pengemar acara ini semakin banyak. Yang berarti masyarakat kita semakin hoby dengan gosip.
Padahal sudah jelas, bahwa gosip atau ghibah itu hakikatnya sama saja dengan memakan bangkai manusia. Karenanya tidak satupun agama di dunia ini yang merekomendasi gosip, meskipun gosip itu ada manfaatnya. Seperti yang diberitakan dalam http://www.inilah.com, bahwa menurut riset di Amerika Serikat, bergosip dapat mengurangi tingkat stres dan rasa cemas. Tetapi jika dibandingkan dengan madlaratnya, tentu tidak akan sebanding. Sebab, gosip atau ghibah itu, menurut Yusuf Qardhawi, adalah keinginan untuk menghancurkan orang, suatu keinginan untuk menodai harga diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu tidak ada di hadapannya. Ini menunjukkan kelicikannya, sebab sama halnya menusuk dari belakang. Sikap semacam ini salah satu bentuk penghancuran terhadap orang yang tidak berdaya.
Kemudian, siapakah penggosip itu? Nabi Saw. menjelaskan, “Engkau menceritakan perihal saudaramu yang ia benci untuk diceritakan kepada orang lain”. Sahabat bertanya: “Bagaimana jika memang benar demikian keadaan saudaraku itu?” Nabi Saw. bersabda: “Jika benar yang kau ceritakan itu, maka itulah ghibah (gosip). Tetapi jika tidak benar ceritamu itu, maka itulah yang disebut ‘buhtan’ (mengada-ada, tuduhan palsu atau fitnah)” (HR. Muslim).
Dalam pengertian yang lebih luas, hadits ini mencakup pula di dalamnya tentang larangan menyiarkan, menonton atau mendengarkan acara yang mengungkap dan membeberkan kejelekan seseorang melalui cara apa pun, termasuk infotainment di tv. Demikian fatwa ulama NU dalam Musyawarah Alim Ulama tahun 2006 yang lalu.
Namun demikian, bukan berarti larangan ghibah itu berlaku untuk semua. Sebab, masih ada ghibah yang diperbolehkan Islam. Seperti kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mengungkapkan bahwa ghibah hanya diperbolehkan untuk tujuan syara’ yaitu: Pertama, bagi orang yang teraniaya boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menganiayanya kepada seseorang yang memiliki kekuasaan, kekuatan dan wewenang untuk menegakkan hukum dengan maksud mengharap bantuan atau keadilan atas hak-haknya (Qs. an Nisâ’ 148). Kedua, meminta tolong atau bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan pelakunya kembali ke jalan yang benar. Dasarnya adalah kewajiban setiap muslim untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar. Ketiga, menceritakan keburukan seseorang dalam rangka meminta fatwa. Keempat, memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan. Seperti menceritakan seorang ulama atau guru yang berperilaku buruk atau mengajarkan ajaran sesat kepada calon muridnya karena khawatir bahaya akan menimpanya. Kelima, menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bid’ah sebagai contoh agar khalayak tidak menirunya. Keenam, bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, misalnya, maka kita boleh menyebutkannya agar orang lain bisa langsung mengerti. Tetapi jika tujuannya untuk menghinanya, maka jelas haram hukumnya.
Adapun sikap bagi orang yang digosipkan sebaiknya meniru cara ummul mukminin ’Aisyah r.a ketika tertimpa gosip berbuat tidak senonoh dengan sahabat Shafwan. Ia berhasil memasrahkan semua gosip kepada Allah yang menjadi tempat berlindung terbaik, meskipun ia juga melakukan tindakan yang manusiawi, seperti bersedih dan menangis. Yakinlah, Allah selalu punya cara untuk membebaskan kita yang tidak bersalah dari gosip dan fitnah yang memperburuk citra kita. Allah pasti membersihkan nama kita sekaligus membuktikan ancaman-Nya terhadap pelakunya. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
”Sungguh orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar” (Qs. an Nûr 11).***
Wallâhu a’lam.
Oleh : H. Asmuni Syukir
- Jombang, 10 Desember 2012, Majelis Ta’lim & Bengkel Hati Al-Qolam
- Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Al-Qolam