Kajian tentang sejarah gerakan tasawuf telah menjadi tema menarik dalam beberapa tahun terakhir. Analisa mengenai hubungan sufi modern dengan sufi abad awal dan pertengahan Hijriyah, banyak dipilih menjadi tema kajian. Di antara para peminat kajian ini adalah Fazlur Rahman dengan istilah “noe-sufisme”-nya dalam menggambarkan hubungan antara muncul, perkembangan dan reformasi sufisme dalam masyarakat Islam. Beliau menemukan adanya peranan kaum sufi dalam pembentukan masyarakat Islam selama kurun waktu akir abad 13 M sampai saat ini. Gerakan tasawuf yang muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme barat paruh abad 15 M sampai pertengahan abad 19 M, merupakan bentuk dari religio-politik kaum sufi terhadap goncangan kemapanan struktur masyarakat pada waktu itu. Kecuali pada abad-abad terakhir, orang-orang sufi jarang sekali bahkan bisa dikatakan tak pernah terlibat dalam arena politik dan kekuasaan. Politik, bagaimana pun pentingnya, tetap menjadi arena yang menakutkan bagi kaum yang tak punya banyak kepentingan duniawi ini.
Al-Ghazali menjadikan pendirian ini sebagai satu pondasi dalam penemuan sifat ikhlas dalam diri seorang hamba. Keterlibatan dalam dunia politik akan sangat mengganggu kemurnian hati sang sufi. Makanya cukup menarik ketika J. Spencer Trimingham malah menulis satu sub judul: “Peran Politik (Kelompok Sufi)” dalam bukunya The Sufi Orders in Islam. Orientalis asal Inggris itu secara khusus menulis aktivitas politik kaum sufi di berbagai belahan dunia.
Terdapat perdebatan terkait dengan awal munculnya orang-orang yang mengembangkan tasawuf ini. Dr. Thaha Dasuqy dalam al-Tasawuf al-Islamy al-Turq wa Al-Rijâl menyebutkan bahwa tasawuf murni dari Islam dengan Nabi Muhammad sebagai peletak dasarnya. Pendapat ini dikuatkan oleh Dr. Jaudah dalam A’lamu Shufiyyah yang mengatakan bahwa terminologi tasawuf bersumber dan murni dari ajaran Islam, dan pelopornya dari kalangan tabi’in Hasan Bashri adalah orang pertama yang berbicara tentang tasawuf dan menggunakan istilah shufi. Begitu juga Ahmad Amin dalam bukunya Dzuhru al-Islâm yang merajihkan pendapat bahwa tasawuf murni dari ajaran Islam sebagaiman dilihat dari corak dan fakta sejarahnya.
Pendapat lain mengatakan, dari Ibnu al-Jauzi atau Abu al-Faraj ibn al-Jauzi (597H/1200 M) yang terkenal dengan bukunya Talbis Iblis bahwa, shufi/sufi merupakan praktik bid’ah/heretik. Istilah ini muncul sebelum tahun 200 Hijriah. Ketika pertama kali muncul, banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik sehingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akhirat. Namun sufi banyak menggunakan jalan yang tidak benar dan mengamalkan amalan berdasarkan hadits-hadits maudhu` (palsu). Kemudian muncul beberapa golongan sufi yang mempunyai jalan sendiri-sendiri, dan akhirnya akidah mereka jadi rusak.
Terlepas daripada perdebatan itu, ajaran dan praktik tasawuf telah menyebar berkat para sufi ke segenap penjuru dunia Islam. Orang Islam sering mendengar kisah dari tokoh-tokoh sufi, salah satu yang terkenal adalah Abdul Qadir al-Jailani, dilahirkan pada tahun 470 H/1077 M di Jailan, Persia di Provinsi Gilan (Iran) selatan Kaspia, dan meninggal di daerah Babul Azajwafa Baghdad pada 561 H/1166 M. Abdul Qadir al-Jailani lahir pada saat umat Islam sedang mengalami kekacauan. Para penguasa politik atau pemerintah pada saat itu dikenal rakyat sebagai penguasa yang zalim sehingga sering terjadi pergesekan keras antara pemimpin dan rakyat. Melihat permusuhan antara rakyat dan pemerintah, penyakit masyarakat yang kian parah, Abdul Qadir meyakini itu semua disebabkan karena jauh dari ajaran agama. Merespon permasalahan di atas, kemudian Abdul Qadir mendirikan tarekat (tariqah) al-Qadiriyah. Tarekat ini menjadi organisasi sufi pertama dalam sejarah tasawuf Islam. Selain bergerak dalam bidang rohani, gerakan tasawuf Qadiriyah juga sering mengkritisi kebijakan pemerintah yang dirasa tidak sesuai atau bahkan menzalimi rakyat. Selain itu, gerakan ini merupakan respon terhadap peperangan yang sedang dihadapi umat Islam di Yerusalem dengan pasukan salib.
Abdul Qadir berdakwah kepada semua kalangan, terutama kalangan elite dan menyeru mereka untuk membenahi diri dan masyarakat. Melalui gerakan Qadiriyah ini, Abdul Qadir al-Jailani juga menumbuhkan semangat jihad kepada para anggota tarekat. Gerakan ini kemudian menyebar ke berbagai tempat, dan menjadi cikal bakal munculnya beberapa gerakan tasawuf politik, seperti di Damsyiq yang dipimpin oleh Syekh Arsalani, Ahmadiyah di Mesir oleh Ahmad Badawi, Sanusiyah di Libya oleh Muhammad Bin Ali Al-Sanusi dan beberapa gerakan yang lain.
Setelah Mongol menginvasi kekhalifahan Abbasyiyah di Baghdad (656 H/1258 M), gerakan sufi menjadi salah satu kekuatan yang membantu mencegah kehancuran Islam dan berperan dalam menstabilkan masyarakat. Rusaknya tatanan masyarakat di Baghdad menjadi faktor menyebarnya beberapa kelompok masyarakat sufi ke beberapa daerah ke Jazirah Arab dan Afrika, sampai Asia. Di samping itu, pengaruh Perang Salib yang berkepanjangan sejak abad ke-12 M juga turut andil dalam penyebaran tersebut. Aliran sufi pada abad pertengahan muncul sebagai gerakan politik dan reaksi dari kelaliman penguasa, juga merupakan respon terhadap ancaman dari luar Islam. Tapi pada abad abad berikutnya, sufi seringkali muncul sebagai gerakan politik, terutama pada akhir abad 15 M dan awal abad 20 M, bangkit sebagai gerakan perlawanan dari cengkeraman kaum kolonialis-imperialis.
Gerakan sufi telah memainkan peran yang sangat penting dalam perlawanan terhadap kaum imperialis Eropa dari pertengahan abad 15 M sampai paruh abad 19 M. Bahkan sejarah telah mencatat bahwa, disamping meninggalkan pengaruh yang sangat kuat khususnya di daerah Afrika, gerakan sufi-politik telah menjadi pelopor pembentukan beberapa negara dan mengokohkan beberapa aliran atau tarekat sufi menjadi madzhab resmi negara.
J. Spencer menuliskan tentang beberapa gerakan sufi politik penentang kolonialisme. Gerakan sufi ini misalnya Qadiriyah, Tijaniyah, Naqsyabandiyah, dan Sanusiyah. Gerakan para sufi tersebut mempunyai jasa dalam perjuangan politik negara-negara Islam di Afrika Utara (di bawah kolonialisme Eropa) dan Asia Tengah (di bawah cengkeraman kekuasan Tsar Rusia).
Qadiriyah merupakan gerakan atau organisasi sufi paling tua dan paling luas penyebarannya. Ia mempunyai cabang di seluruh dunia dan mempunyai keterikatan dengan pusat atau markasnya di Baghdad. Qadiriyah didirikan di Baghdad oleh Abdul Qadir al-Jailani. Karena gerakanya yang reformis pada saat itu maka setelah Baghdad jatuh ke tangan tentara Mongol tahun 1258 M, gerakan ini menyebar di Yaman, Mesir, Sudan, Maghrib, Asia Tengah dan India.
Adapun gerakan tasawuf Naqshabandiyah didirikan di Asia Tengah oleh Bahauddin Muhammad Bin Muhammad Al-Husain Al-Hasani (1389 M) pada abad ketiga belas dalam upaya mempertahankan Islam terhadap invasi Mongol. Gerakan ini tersebar luas ke anak benua India. Dalam ranah politik, Naqshabandiyah mencoba untuk mengontrol politik pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa, pemerintah tetap melaksanakan hukum agama dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Selama abad 19 mereka terlibat dalam gerakan bawah tanah melawan Uni Soviet di Asia Tengah dan mendukung pejuang Afganistan melawan Rusia. Imam Shamil, pemimpin ordo Naqsyabandiyah di Dagestan, bersama para pengikut tarekatnya terlibat dalam politik membendung imperium Rusia yang terus mencaplok negeri-negeri muslim di Kaukasus abad 19 M.
Gerakan tasawuf Tijaniyah didirikan oleh Al-Tijani pada 1781 H di Fez, Maroko. Gerakan ini sangat berperan dalam perluasan batas-batas Senegal dan Nigeria Islam dan perannya dalam mendirikan kerajaan besar di Afrika Barat. Kepemimpinan Negara diserahkan kepada gerakan ini, dan pengaruh mereka merupakan faktor penting dalam hubungan dengan pengusaha konservatif era kolonialis. Di Sudan, semua anggota tarekat Tijaniyah secara resmi berafialiasi dengan Front Nasional Islam. Pilihan ini, bukan semata-semata kebijakan Tijaniyah lokal, tapi instruksi dari pusat ordo mereka yang berada di Senegal.
Gerakan tasawuf Daruqiyah didirikan pada awal abad ke-19 oleh Moulay Darqawi Arabi (1823 M) di Fez, Maroko. Gerakan taswuf ini merupakan penyumbang kekuatan terbesar dalam perlawanan terhadap kaum kolonialis. Gerakan ini sampai sekarang masih sangat berpengaruh di Mali, Niger dan Chad dan masih di Maroko.
Gerakan tasawuf Suhrawardiyah didirikan di Irak oleh Al-Suhrawardi (1234 M) yang serius menekankan pelatihan dan pendidikan. Mereka memiliki banyak pengikut di India. Gerakan tasawuf ini terlibat dan sangat berpengaruh dalam politik di Irak dan Iran selama ancaman Mongol terhadap kekhalifahan Islam di Baghdad.
Gerakan tasawuf Sanusiyah adalah gerakan tasawuf-politik-militer. Dirikan oleh Muhammad Bin Ali Al-Sanusi (1837 M) di Libya. Sejak tahun 1902 sampai tahun 1913, Gerakan ini memerangi kolonial Perancis di daerah Sahara, dan kolonialisme Italia di Libya sejak tahun 1911. Gerakan ini tersebar di beberapa daerah di Afrika, dan bersama kaum muslimin berjuang melawan tirani kolonial Perancis dan Eropa di Maghrib. Pada tahun 1922, pemimpin gerakan Fasis Italia Benito Mussolini mengumumkan pendudukan Libya. Karena itu Sanusi memimpin perlawanan sebagai bentuk jihad dalam menegakkan keadilan. Pihak Italia menangkapi para syekh dan menutup hampir semua masjid di Libya. Gerakan Sanusiah memerangi pemerintah Italia sampai tahun 1943.
Sufi yang dipandang sebagai kelompok paling asketis, memiliki keterlibatan lumayan besar dalam percaturan politik. Dalam kacamata prinsip-aksi, ini adalah bentuk ambivalensi. Tapi, dalam sudut pandang yang berbeda, hal ini adalah bentuk pembumian sufi; mereka tidak hidup terasing di menara gading atau gua-gua sunyi; sufi yang tidak kaku dengan ajaran formal tarekatnya, melainkan sufi yang juga terimbas oleh transformasi sosial-politik lokal maupun global.
Oleh: K. El-Kazhiem
Sumber: kupretist.wordpress.com