Telaahan Filsafat dan Geospiritual
Apabila tak ada perubahan, tidak akan pernah muncul yang namanya perkembangan dan/atau kemajuan. Dan kemajuan merupakan hasil dari sebuah perubahan kendati selalu ada dampak (negatif) ikutan. Itu sudah menjadi hukum alam. Di setiap kemajuan apapun niscaya membawa korban.
Dan menyoal bab perubahan, dunia akademis pun mengakomodasi dalam mekanisme universal: tesis-antitesis-sintesis. Demikian pula asumsi “evolusi”-nya Charles Darwin, esensi sesungguhnya ialah perubahan, bukan sekedar struktur evolusi dari kera menjadi manusia yang hingga kini masih kontroversial. Bahkan seorang filsuf Yunani Kuno, Herakleitos berkata, “Satu-satunya realitas ialah perubahan.”
Di sini, perubahan adalah keniscayaan hidup dan kehidupan. Setiap entitas, bangsa, negara, kawasan bahkan peradaban apapun memiliki cara dan ciri masing-masing bagaimana mengelola perubahan. Ada yang berlangsung secara mulus dan bertahap, fluktuatif, bahkan tidak sedikit yang radikal (revolusioner), selain berdarah-darah juga tercarabut hingga akar-akarnya.
Dalam dinamika politik, terdapat perubahan melalui konstitusi, ada yang ilegal atau inkonstitusional bermodus kudeta militer, misalnya, atau melalui gerakan massa (asimetris), dan lain-lain.
Sejarah nusantara semenjak Era Sriwijaya (Nusantara I), Era Majapahit (Nusantara II), dan seterusnya hingga kini telah memberi pembelajaran aneka perubahan baik terjadi secara bertahap, konstitusional maupun inskonstitusional bahkan radikal.
Terkait Pilpres 2019, sekali lagi, momen perubahan itu keniscayaan. Pasti terjadi. Siapapun presiden yang akan dilantik kelak, diyakini merujuk pada tiga skenario besar —dan melekat perubahan— entah Jokowi lanjut dua periode (Skenario I), entah Prabowo-Sandi terpilih (Skenario II), atau “sampyuh” (Skenario III). Sampyuh itu istilah permainan layang-layang, dan mungkin juga diksi perwayangan. Mogobotongo. Podo matine. Artinya, keduanya tidak menang, tidak kalah pula. Pepatah mengatakan “menang jadi arang, kalah menjadi abu.”
Skenario III dianggap potret terburuk dari hajatan Pilpres 2019, dimana keduanya sama-sama tidak dilantik entah sebab apa —biasanya akibat kegentingan— sehingga muncul calon lain yang disepakati serta ditunjuk guna mengendalikan situasi tersebut, memimpin (sementara) bangsa ini sampai ada pemilu ulang. Percaya atau tidak, satu dari tiga skenario di atas niscaya terjadi.
Nah, telaahan filosofi dan geospiritual ini membahas bab perubahan pada Pilpres 2019, namun dalam hal peradaban (bukannya pergeseran atau perubahan kekuasaan). Entah seperti apa situasinya nanti, tergantung teks dan konteks. Inilah ulasan garis besarnya secara sederhana.
Secara filosofi, suatu perubahan dan/atau pergeseran peradaban selalu diawali adanya krisis kepercayaan. Kepercayaan itu sendiri datang dari dua sisi (arah). Sisi pertama adalah logika, arah lainnya ialah hati. Apabila wilayah logika tentang baik dan buruk, sedang ranah hati perihal adil dan tidak adil, dimana implementasinya terlihat pada perilaku. Pilar utama kepercayaan ialah logika yang benar serta hati yang adil. Retorikanya begini, “Bagaimana dipercaya rakyat bila tindakanmu tidak benar dan tak masuk akal; bagaimana akan dipercaya publik sedang kebijakanmu tidak memberi rasa keadilan?”
Itu telaahan filosofi. Mempertanyakan jawaban bahkan sekaligus mereviu pertanyaan. Lantas, sejauhmana retorika tadi terwujud, jawabannya mungkin ada di lubuk hati yang paling dalam.
Sekarang telaah dari sudut geospiritual. Secara Hijriyah, tahun 2019 ini, pada 1 Muharam nanti memasuk tahun 1441 H. Hurufnya duduk di ba’. Maknanya adalah “tahun air”. Sedangkan secara Masehi (2019) ini, hurufnya ialah jim disebut “tahun mati”. Mati di sini maknanya kumpul = rapat, musyawarah, meeting dst guna merajut mufakat atau merumus keputusan.
Inilah ketetapan alam untuk manusia pada 2019 M —tahun mati— baik di tingkat global, regional maupun lokal/nasional. Kedepan, akan terbit suatu keputusan, ada kebijakan, dan seterusnya yang sifatnya kekinian hasil dari musyawarah mufakat. Inilah kronologi perubahan karena terbit ketetapan dan keputusan baru. Entah di bulan apa nanti, itu terbentang antara Januari – Desember 2019.
Kini membahas 1441 H (tahun air) yang akan dimulai 1 Syuro atau 1 Muharam beberapa bulan lagi. Pertanyannya, “Seperti apa peristiwa di tahun air kelak?” Nah, hal itu bisa dibreakdown melalui analogi sifat-sifat air.
Sifat air pertama ialah datar di permukaan/atau menyesuaikan ruang. Terlihat tenang namun jangan dikira tidak dalam, jangan dianggap tak ada arus di bawah permukaan. Menghanyutkan juga ciri dari air. Artinya bahwa di tahun air (1441 H), apa yang terlihat bukanlah yang berlangsung. Politik praktis bukan yang tersurat melainkan apa yang tersirat, kata Pepe Escobar, wartawan Asian Times. Selalu ada hidden agenda di balik open agenda. Itu sudah jamak di dunia (geo) politik.
Kembali ke sifat air. Ia mampu mengubah ujud dari cair ke padat, dan pada suhu tertentu bisa menjadi uap. Maknanya, dinamika politik berubah setiap saat sesuai kadar kepentingan. Koalisi partai bukanlah harga mati, bisa berubah sewaktu-waktu, demikian pula personal, orang seorang, dan seterusnya. Ojo gumunan, ojo kagetan. Bisa-bisa Golkar menyeberang ke kubu sebelah, atau jangan-jangan PKS menyempal ke lain koalisi. Tidak ada yang permanen dalam politik. Sekali lagi, ini cuma pengandaian belaka.
Selanjutnya sifat liquid diartikan sebagai flesibilitas dinamika politik yang tiba-tiba (turbulent) dan unpredictable. Tidak bisa diramalkan. Ini juga kerap berlangsung. Sifat kapilaritas air yang mampu merembes ke atas, memang berlawanan dengan sifat lainnya yang selalu mengalir ke tempat lebih rendah (top down). Secara manajemen, kapilaritas ini seperti bottom up process. Bisa jadi, kondisi tahun air nanti bahwa aspirasi akar rumput mampu mempengaruhi kalangan atas. Menjadi pertimbangan utama top level management. Entah semacam apa situasinya kelak. Power bawah mampu membuyarkan power atas.
Air itu memiliki massa atau berat. Maka sejalan dengan tahun mati = musyawarah, bahwa hasil keputusan terbaru nantinya memiliki daya dobrak dan power yang luar biasa. Dahulu, siapa sangka Polri bisa keluar dari ABRI; Tempo doeloe, siapa mengira UUD 1945 dapat diamandemen? Bisa jadi power perubahan nanti berupa dekrit untuk kembali ke UUD 1945, misalnya, atau pembubaran KPK, atau persekusi terhadap penjahat BLBI, dan seterusnya. Lagi-lagi, itu sekedar contoh pengandaian.
Kemudian sifat unik air bahwa ia mampu melarutkan beberapa zat. Ini sifat yang paling terkenal. Analogi situasi kelak di tahun air, bahwa bakal tersapu/larutnya partai-partai, atau ormas, paham, ideologi, golongan, dan lain-lain yang dianggap “sampah” dimana selama ini dianggap telah mengotori halaman rumah NKRI dari kajian Pancasila, maka kelak mereka akan tergulung oleh gelombang (air) perubahan di Bumi Pertiwi.
Sifat terakhir air adalah menekan di segala arah. Menyebar ke semua penjuru. Maknanya, bahwa daya dobrak perubahan bakal memasuki segala lini serta diterima hampir disemua strata dan lapisan sosial.
Gambaran di atas adalah prakiraan situasi perubahan di republik tercinta ini. Tidak ada niat menggurui siapapun, terutama para pihak yang berkompeten, ataupun tak ada maksud untuk meng-klaim kebenaran atas apa yang kelak terjadi yang melekat pada apapun skenario dalam Pilpres 2019.
Catatan ini hanya membaca ketetapan-ketetapan alam berbasis filsafat dan geospiritual. Tak lebih.
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.
- Oleh: Rusman, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
- Source: The Global Review