Gejolak jiwa yang terjadi dalam diri, saat mendengarkan lagu-lagu yang dinyanyikan dengan suara yang merdu, membangkitkan perasaan rindu. Dari manakah perasaan itu datang? Ke mana perasaan itu pergi? Dari manakah sumber gejolak jiwa ini?
Sumber gejolak itu adalah masa lalu ketika Allah Swt menyatakan, ”Bukankah Aku ini adalah Rabb kalian?” (QS. Al-A’raf :172) kemudian, jiwa ini terus merindukan masa-masa itu. Hanya saja, tidak ada bahasa atau kata-kata yang bisa mengungkapkan perasaan rindu itu karena sedikitnya bahasa dan lemahnya kata-kata untuk mengungkapkan perasaan jiwa.
Jiwa/nafs manusia, apapun bentuknya, akan cenderung kepada yang dicintai, yang diyakini paling indah tiada duanya, yaitu Allah Swt. Sebab hubungan atau penyandaran antara jiwa tersebut dan Allah ada serta akan terus ada, sebuah hubungan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata atau dibayangkan dengan imajinasi. Semua bentuk keindahan yang tersebar di muka bumi ini menjadi nisbi sebab semuanya muncul setelah keindahan-Nya.
Faktor yang menghalang-halangi manusia dari perasaan luhur yang dibawa oleh jiwa/nafs dengan cinta dan kerinduan adalah naluri kebinatangannya, kecenderungan untuk mencari kenikmatan, dan hawa nafsu.
Jiwa merindukan keindahan luhur yang bersifat abadi, sedangkan naluri kebinatangan yang ada dalam diri manusia hanya melihat keindahan yang bersifat fana dan berusaha menghalang-halangi jalan yang menghantarkan jiwa ke alam luhurnya.
Jiwa mencari Zat Yang Mahaagung dan Yang Maha Esa yang ia ketahui dari dulu. Sementara itu, naluri kebinatangan mengirimkan keinginan jiwa hanya untuk memenuhi keinginannya sendiri. Jiwa mencari Yang Mahabaik dan Yang Maha Esa. Sementara itu, hawa nafsu dan naluri kebinatangan meletakkannya di hadapan patung-patung dan gambar-gambar, namun palsu.
Jika manusia bisa membersihkan jiwanya sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai obat penawarnya (dengan cara banyak berdzikir kepada Allah dan merasa diawasi oleh-Nya), itu adalah makanan terbaik jiwa dan cara terbaik untuk menghentikan keinginan nafsu kebinatangan.
Dengan memperbanyak dzikir, jiwa akan menjadi sehat dan naluri kebinatangan pun akan semakin memudar. Bahkan, bersamaan dengan waktu, ia akan hilang sehingga akhirnya jiwa itu akan terbebas dari belenggu naluri kebinatangan yang cenderung kepada keindahan palsu dan kenikmatan dunia yang semu.
Ketika itu, jiwa berhasil melampaui berbagai bentuk keindahan palsu sehingga sampai pada sumber mata air yang bersih, sumber keindahan, keindahan Yang Maha Esa, yaitu Allah Swt. Kemudian, ia berikan kepada-Nya semua cinta dan kerinduannya.
Kerinduan jiwa itu hanyalah kepada dunianya yang luhur dan untuk masa lalunya yang telah direkam dalam Al-Qur’an dalam pernyataan Allah kepada jiwa tersebut.
Tak satu pun yang dapat menghalangi manusia dari perasaan cintanya kepada Allah, kecuali hawa nafsu dan gejolak naluri kebinatangannya. Gejolak ini hanya bisa diredam dengan Tazkiyah Nafs atau pembersihan “diri” (*nafs = jiwa).
Orang-orang yang berusaha membersihkan dirinya secara terus menerus maka jiwanya akan tampak bersih dari kotoran hawa nafsu. Kemudian, secara perlahan, ia akan tunduk kepada kehendak jiwanya dengan memperbanyak dzikir, beribadah, dan menjaga diri dari perbuatan dosa.
(*Sumber: “Al-Qur’an Kitab Cinta, Menyelami Bahasa Kasih Sang Pencipta”/ Al-Hubb Fil Qur’an wa Daurul Hubb fi Hayati Insan; Said Ramadhan Al-Buthy)