Nabi Muhammad SAW kurang apa sih dalam soal menegakkan akhlak umatnya? Nabi kurang apa dalam keseriusan memberantas kemaksiatan? Tetapi sejauh yang saya tahu dari riwayat dan hadist yang ada, Nabi tidak masuk terlalu jauh ke hal-hal yang sangat privat. Kecuali penyikapan yang sudah jelas untuk perempuan yang terang-terangan menjadi pelacur profesional, kita tidak pernah dengar ada tes keperawanan untuk perempuan yang tampil di publik sebagai perempuan baik-baik, bukan pelacur.
Ini perlu kita catat menanggapi heboh soal tes keperawanan (virginitas) yang diwacanakan Dinas Pendidikan Kota Prabumulih, Sumatera Selatan. Wacana konyol ini mengingatkan kita pada kasus serupa pada 2010 lalu. Waktu itu tes virginitas juga sempat diwacanakan oleh anggota Komisi III DPRD Provinsi Jambi Bayu Suseno.
Bedanya, Dinas Pendidikan Kota Prabumuli mewacanakan tes virginitas itu untuk mengatasi makin merajalelanya pergaulan seks bebas di kalangan pelajar. Sementara politisi Partai Amanat Nasional (PAN) di DPRD Provinsi Jambi, itu mengusulkannya tes sebagai syarat penerimaan siswa baru (PSB) untuk tingkat SLTP dan SLTA. Sedangkan persamaannya, wacana itu sama-sama langsung berbuah kritik dari berbagai elemen masyarakat sebelum benar-benar direalisasikan. Walhasil, tes keperawanan menjadi kontroversi karena ditolak berbagai pihak.
Selain itu, wacana ini menurut saya sangat bias gender. Kemaksiatan atau hubungan seks di luar nikah itu bisa terjadi karena ada unsur dua pihak: laki-laki dan perempuan. Namun yang jadi sasaran tindakan hampir selalu pihak perempuan. Kita sering dengar soal isu tes keperawanan, tetapi tidak ada tes keperjakaan. Padahal laki-laki punya saham besar dalam kemaksiatan. Logika sederhana, tidak mungkin ada pelacuran jika tidak ada laki-laki yang suka “jajan.”
Para pelacur (atau sebut saja PSK) mendapat program “pembinaan” dari Pemda atau ulama, agar insyaf dan kembali ke jalan yang benar. Tetapi saya belum pernah dengar ada program “pembinaan” untuk para laki-laki hidung belang dan “konsumen setia” pelacuran, yang praktis menghidupkan dan melestarikan bisnis pelacuran.
Satu catatan lagi yang membuat saya berang pada gagasan ” tes keperawanan.” Siapakah yang akan melakukan tes keperawanan itu? Pasti sedikit banyak akan melibatkan laki-laki yang bukan muhrim kan? Entah dia dokter, paramedis, “ahli seksologi” atau apalah, pasti mereka terlibat dalam “bisnis pengetesan” ini.
Menggerayangi, menyentuh, “mengetes” alat kelamin perempuan yang bukan muhrim. Apakah ini bukan berpotensi mengundang bentuk kemaksiatan baru?
Jakarta, 21 Agustus 2013
Satrio Arismunandar.