Home / Agama / Kajian / Firasat Menurut Ibnu Athaillah

Firasat Menurut Ibnu Athaillah

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Ibnu Athaillah (709 H) mencoba meyakinkan pembaca karyanya, Lathaiful Minan, bahwa Allah memang memberikan kelebihan indra keenam untuk hamba pilihan-Nya. Dalam bahasa Jawa kelebihan itu sering disebut dengan istilah Weruh Sak Durunge Winarah, mengetahui (sebuah permasalahan) sebelum (waktunya) terjadi.

Untuk memperkuat pendapatnya tersebut, Ibnu Athaillah menghadirkan dalil Hadits, cerita tentang beberapa sahabat yang diberikan kelebihan tersebut, dan pendapat Abul Abbas al-Mursi (686 H), yang tidak lain adalah gurunya.

Hadits yang dimaksud adalah ittaqu firasatal mu‘min, fa innahu yanzhuru bi nurillah;

اِتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللّٰهِ

“Pertimbangkanlah firasat seorang mukmin, karena (bisa jadi) dia (dapat) melihat (sebuah permasalahan yang belum terjadi) berkat pertolongan Allah” (HR Tirmidzi).

Selain itu, Ibnu Athaillah juga menyebutkan cuplikan hadits lain, fa idza ahbabtuhu kuntu sam’ahu alladzi yasma’u bihi, wa basharahu alladzi yusbshiru bihi, wa yadahu alladzi yabthisyu biha, wa rijlahu allati yamsyi biha;

فَإِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ اَلَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ اَلَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ اَلَّذِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ اَللَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا

“….ketika Aku sudah mencintainya (wali Allah), maka Akulah yang mengarahkan telingannya untuk mendengar, matanya untuk melihat, tangannya untuk menggenggam sesuatu, dan kakinya untuk melangkah…” (HR Ibn Hibban).

Ada yang menarik yang perlu ditelusuri mengenai istilah firasah dalam bahasa Arab yang sudah diserap dalam bahasa Indonesia menjadi firasat. Secara leksikal (makna kamus), firasah dan firasat memiliki makna yang sama.

Firasah dalam kamus Lisanul Arab bermakna hati-hati, pandai, waspada, dan teliti. Ibnu Manzhur (711 H) mengutip pendapat Ibnu Atsir (606 H) dalam an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar mengenai makna firasah (firasatal mu‘min) di atas.

Firasah itu adalah suatu kelebihan yang Allah tanamkan langsung dalam hati para kekasih-Nya, sehingga dapat mengetahui sebagian permasalahan yang dihadapi manusia, dan biasanya tebakan atau pengetahuannya itu selalu benar. Artinya, seorang waliyullah mendapatkan kelebihan itu karena sebuah karamah anugerah dari Allah atas keimanannya.

Ada juga yang mendapatkan firasah tersebut melalui tanda-tanda alam, tirakat, latihan, atau bahkan merupakan ilmu turunan nenek moyangnya. Dalam hal ini, firasah tidak mesti dimiliki waliyullah atau orang mukmin. Artinya, orang yang banyak maksiatnya juga bisa mendapatkan firasah, namun perlu diwaspadai bahwa hal tersebut merupakan istidraj.

Secara mudah, firasah dalam kamus kontemporer, Almaany.com, adalah kemampuan dalam mengetahui hal-hal metafisika (gaib) melalui tanda-tanda fisik (zahir). Jadi, Semakin bersih hati seseorang, semakin tajam penglihatannya akan tanda-tanda alam di sekitarnya.

Definisi ini tidak jauh berbeda dengan yang dicatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa firasat itu kecakapan meramalkan sesuatu dengan melihat keadaan. Selanjutnya saya bakukan istilah tersebut menjadi firasat, bukan firasah, karena keduanya memiliki makna yang sama dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab.

Ibnu Athaillah juga mencantumkan cerita mengenai firasat Abu Bakar. Salah satu karamah sahabat Abu Bakar itu ketika menjelang ajal, ia berwasiat pada Aisyah:

“Nak, nanti warisan dari bapak ini, kamu bagi-bagi untuk dua saudara lelakimu, dan saudara perempuanmu sesuai perintah Al-Qur’an ya.” “Loh Pak, Aisyah kan cuma punya saudara perempuan satu, Asma saja,” tutur Aisyah bingung. “Nanti setelah bapak wafat, adik perempuanmu akan lahir,” tegas Abu Bakar meyakinkan Aisyah. Kisah ini juga dicatat oleh Hibatullah al-Lalikai (418 H) dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah.

Saat ini, mengetahui jenis kelamin janin yang ada dalam kandungan bukan sesuatu hal yang luar biasa, karena kecanggihan teknologi membantu dokter memprediksi jenis kelamin anak yang akan lahir, walaupun terkadang prediksinya melesat.

Abu Bakar yang tidak mempunyai latar belakang sebagai qabilah, dukun beranak, mampu memprediksikan dengan tepat calon anak yang akan lahir dari rahim istrinya yang bernama Habibah binti Kharijah yang berasal dari suku Khazraj. Putri yang terlahir dari rahimnya itu kemudian diberi nama Ummu Kultsum.

Perlu diketahui bahwa Abu Bakar itu memiliki empat istri, Qutailah binti Abdul Uzza, Ummu Ruman binti ‘Amir, Asma‘ binti ‘Umais, dan Habibah binti Kharijah. Semuanya dinikahi Abu Bakar ketika mereka sudah memeluk Islam, kecuali Qutailah yang dicerai sejak masa Jahiliyah.

Dari keempat istrinya ini, Abu Bakar mempunyai enam anak, tiga lelaki dan sisanya perempuan. Qutailah mempunyai dua anak, Abdullah dan Asma‘. Ummu Ruman juga mempunyai dua anak, Abdurrahman dan Aisyah. Sementara itu, Asma‘ binti ‘Umais dan Habibah masing-masing mempunyai satu anak dari Abu Bakar. Anak Asma‘ bernama Muhmmad, dan anak Habibah bernama Ummu Kultsum.

Di antara keenam anak tersebut, Abdullah, putra Abu Bakar dengan Qutailah, meninggal lebih dulu karena dipanah oleh Abu Mihjan ats-Tsaqafi. Menurut catatan sejarah, Abdullah meninggal empat puluh hari setelah wafatnya Rasulullah Saw.

Artinya, Abdullah meninggal pada masa awal pemerintahan ayahnya, tahun 11 hijriah. Oleh karena itu, dua saudara lelaki yang dimaksud dalam cerita di atas adalah Muhammad dan Abdurrahman. Keduanya meninggal setelah Abu Bakar. Muhammad meninggal pada tahun 38 hijriah di Mesir, dan Abdurrahman meninggal pada tahun 53 hijriah. Sementara itu, Abu Bakar sendiri wafat pada tahun 13 hijriah.

Source: Bincang Syari’ah

About admin

Check Also

Inilah Saat-saat Seseorang Dekat dengan Allah

”Ternyata shalat, zakat, puasa dan haji belum menjamin kedekatan seseorang dengan Allah SWT”. Oleh: Admin ...