Pertemuan Ketum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto, menarik untuk disimak dan dicerna. Betapa tidak, banyak sejumlah aktivis politik atau masyarakat umumnya, menarik ini, dalam sebuah frame, menuju pilpres 2019.
Ada yang berpandangan, adanya niat kedua partai, yakni Demokrat dan Gerindra yang ditentukan kedua tokoh, kuncinya adalah Prabowo Subianto dan SBY, dalam melihat kesamaan sikap saat pembahasan RUU Pemilu di parlemen, terutama presidential treshold.
Semakin menggelitik memang, filosofi nasi goreng, yang sedang dimainkan, makna komunikasi nasi goreng. Terlepas dari pandangan beberapa intelektual negeri ini yang kian menghiasi media televisi, cetak dan meanstream, justru saya melihat pertemuaan pada sisi yang berbeda.
Ada banyak yang mengatakan pertemuaan SBY dan Prabowo Subianto dalam rangka, ancang-ancang strategi Pilpres 2019 dengan membuat design strategi kaitannya dengan RUU Pemilu. Tetapi, ini perlu dimaknai, dengan istilah kebanyakan orang diplomasi nasi goreng atau saya gunakan istilah filosifi nasi goreng.
Filosofi nasi goreng, bagi saya syarat makna, dan mengandung bermacam-macam frame, kalau kita ingin mengikutinya. Seperti yang kita tahu, SBY sangat doyan dengan nasi goreng. Tetapi ada yang menarik ketika filosofi nasi goreng ditempatkan pada satu frame, manakala, Jokowi, Prabowo Subianto, dan SBY disematkan dalam filosofi nasi goreng.
Seperti yang kita tahu, saat kedua tokoh, Prabowo dan SBY selesai pertemuan, adanya konfrensi pers, dengan anggun SBY mengatakan, “Power must not go unchecked. Artinya, kami harus memastikan bahwa penggunaan kekuasaan oleh para pemegang kekuasaan tidak melampaui batas, sehingga tidak masuk apa yang disebut abuse of power. Banyak pelajaran di negara ini, manakala penggunaan kekuasaan melampaui batasnya masuk wilayah abuse of power, maka rakyat menggunakan koreksinya sebagai bentuk koreksi kepada negara,” kata SBY.
Dan sesaat itu juga, Prabowo mengatakan, “Presidential threshold 20 persen lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia, saya tak mau terlibat,” kata Prabowo.
Tapi selain kritikan yang cukup pedas itu, Prabowo juga sempat berkelakar. Ia mengaku bahwa nasi goreng adalah makanan kesukaannya yang diungkap oleh SBY lewat ‘kerja intelijen’.
“Intelijen Pak SBY masih kuat, bisa tahu kelemahan Pak Prabowo di nasi goreng. Asal dikasih nasi goreng pasti setuju saja,” ungkap Prabowo dengan canda. (Detik.com)
Dan yang menjadi pembeda dalam pertemuaan kedua tokoh ini, maupun sesaat Jokowi bertemu Prabowo Subianto juga dijamu nasi goreng oleh Prabowo di Hambalang. Menggenitkan memang filosofi nasi goreng ini. Dan yang menjadi pembedanya adalah tidak ada sesi naik kuda. Soal tempus atau waktu juga, masa malam, harus naik kuda, yang terkenal disebut lebaran kuda itu.
Saat Jokowi bertemu Prabowo memang tengah ramenya isu aktor makar yang dilakukan, sehingga mata publik pun terbuka dengan ‘lebaran kuda’ dan tidak terjerumus pada aktor SBY sepenuhnya dan adanya juga yang terjerumus pada aktor Prabowo Subianto.
Seninya politik dan bahasa komunikasi dengan filosofi nasi goreng, mau mengejawantahkan, siapa sesungguhnya aktor makar? Mungkin, kebanyakan intelektual kita menganalisanya pada sikap politik Gerindra dan Demokrat yang nantinya akan berkoalisi di Pilpres 2019 yang akan datang. Tetapi sudahlah, menggenitkan kalau filosofi nasi goreng ini digoreng atau diramu kembali. Biar syahdu dan enak untuk dikunyah.
Dalam political communication and public opinion di Amerika (1978), tujuan politik komunikasi adalah membentuk pendapat umum. Dalam usaha membentuk opini ini, umumnya melakukan tiga kegiatan sekaligus.
Pertama, menggunakan simbol politik (language of politic). Kedua, melaksanakan strategi pengemasan berita dan agenda; setting function. Ketiga, analisis ini secara sederhana, SBY dan Prabowo mencoba untuk membangun sebuah komunikasi; bahasa, visual, dan prilaku untuk menyampaikan kepada pihak lain atau bisa jadi menginterpretasikan dan mengklarifikasikan informasi media. Singkatnya, filosofi nasi goreng atau banyak media mainstream gunakan diplomasi nasi goreng.
SBY memang terkenal dengan kecerdasannya, terutama dalam berpolitik. Karena SBY ketika menjadi anggota Militer, dijadikan sebagai Pengatur Strategi perang. Tak dapat dipungkiri, SBY dikenal dengan kecerdasan dalam strategi politik. Untuk itu, saya menganalisa bahwa pertemuaan Prabowo dan SBY adalah hal unik yang sedang SBY dan Prabowo pertontonkan kepada masyarakat Indonesia. Di sini, dibutuhkan sejumlah usaha mendestruksikan isi pernyataan SBY dan Prabowo, apakah dalam bentuk yang tampak (manifest), konteks, maupun makna simboliknya, sehingga ditemukan ”pesan” sesungguhnya. Untuk menganalisa ini, saya menggunakan metodologi analisis isi (content analysis), frame analysis dan agenda (setting analysis).
Michael Foucault menjelaskan bahwa, fenomenal dari wacana beserta dengan potensi politis dan kaitan dengan kekuasaan sebagai “elemen taktis yang berkaitan dengan kancah relasi kekuasaan”. Antara wacana dengan kekuasaan memiliki hubungan timbal balik, dimana ”elemen taktis” ini sangat terkait dengan kajian strategis dan politis.
Kesimpulan saya, mengenai konsep yang dideskripsikan oleh Michael Foucault adalah alat dari kepentingan kekuasaan, hegemoni, dan ilmu pengetahuan. Distribusi wacana ke tengah masyarakat pada era post-modern ini dilaksanakan secara strategis melalu media. Dengan momen inilah, SBY dan Prabowo memperlihatkannya dengan ‘filosofi nasi goreng’.
Ini sudah masuk dalam kategori “elemen taktis” untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat, dan ini semua terkait dengan pembangunan sebuah dominasi dan pelestarian kekuasaan. Tesis ini, saya tuangkan dengan menggunakan dua pendekatan dan contoh kasus yakni: Analisa Priming dengan Agenda, Setting Theory. Dengan artian, bahasa konfrensi pers kedua tokoh, dengan kesepakatan tertutup tidak bisa menjamin nalar publik ke arah apa yang disampaikan saat kofrensi pers. Silahkan saja, kalau banyak pakar beda pandangan dengan saya, berkaitan dengan Pilpres 2019 atau kesepakatan lainnya. Yang menarik buat saya, FILOSOFI NASI GORENG.
- Oleh: Febrianto Edo
- Source: Seword