Negara manapun di dunia saat ini sulit dapat menyatakan dirinya steril atau bebas dari ancaman serangan teroris. Al-Qaeda dan Islamic State (IS) yang lebih populer dengan trade mark ISIS masih menjadi induk ideologi radikal organisasi teroris tingkat dunia.
Selain di Irak dan Suriah yang menjadi pusat perjuangan, mereka kini memecah diri dan membentuk sel-sel lebih kecil yang berpusat di tiap-tiap negara, saling berhubungan dan saling menyokong satu sama lainnya.
Islamic State yang berkembang pesat sejak 2014 berhasil menarik militan radikal dari seluruh dunia dalam mewujudkan negara Islam di Irak dan Suriah. Global jihad di dua negara itu berhasil menarik perhatian dan mendapat dukungan para jihaddis dari seluruh dunia, karena diyakini oleh para simpatisannya bahwa apa yang dilakukannya sebagai akhir dari peperangan Islam untuk mewujudkan negara Syam.
Kelompok radikal di Indonesia diketahui tetap ‘aktif’ terlibat dalam aksi global jihad di Suriah. Jumlah perkiraan mereka sekitar 400-500 orang yang sudah bergabung dan ada informasi masih banyak yang sudah berada di perbatasan Turki-Suriah (sekitar 1.000).
Presiden Amerika Serikat, Barack Obama mengatakan perlawanan terhadap kelompok yang menyebut dirinya Islamic State mengalami kemajuan. ISIS bukan tidak tak terkalahkan, katanya.
Dikatakannya juga bahwa dalam sebelas bulan terakhir, sebanyak 25.000 teroris IS terbunuh, serta dimana dalam waktu setahun sebelumnya 20.000 lainnya telah tewas. Jenderal McFarlan, Panglima Komando Pasukan Koalisi Perlawanan terhadap IS mengatakan, kekuatan Islamic State kini jumlahnya diantara 15-30.000 orang yang tersebar di Suriah dan Irak.
Tetapi di sisi lainnya, Presiden Obama memperingatkan bahwa kelompok itu masih tetap merupakan ancaman, “The possibility of an actor who acts alone or in a small cell that kills people is real,” katanya. Mereka telah mengaktifkan sel di AS dan ada signal mereka akan aktif menyerang di luar negeri.
Perkembangan IS, Abu Sayyaf Grup dan Teroris Asia Tenggara di Filipina Selatan
Menurut laporan, di dapat informasi intelijen bahwa ada militan dari Malaysia dan Indonesia telah bergabung dengan Abu Sayyaf Grup (ASG) di Basilan Selatan (wilayah otonomi Muslim), dan mereka bertempur menghadapi gempuran pasukan militer Filipina yang oleh Presiden Filipina, Duterte diperintahkan untuk menghabisi ASG.
Isnilon Hapilon, pimpinan Abu Sayyaf yang berbasis di provinsi Basilan kini memimpin sebuah batalyon baru Islamic State dengan nama Khatibah Al-Muhajir atau “Batalyon Migrant.” Dilaporkan bahwa sebagian besar kekuatan tempur mereka terdiri dari jihaddis Malaysia dan Indonesia (perlu pendalaman).
Islamic State belum lama ini merilis video propaganda yang mengimbau pendukungnya di Asia Tenggara untuk bergabung ke Filipina Selatan apabila mereka mengalami kesulitan untuk berangkat ke Suriah dan Irak. Sementara itu, pakar terorisme Rohan Gunaratna yang berbasis di Singapura mengatakan “Filipina bisa menjadi batu loncatan yang sangat penting untuk mencapai Indonesia, Malaysia dan Singapura, karena Filipina Selatan terletak sangat strategis dan merupakan pusat di wilayah tersebut.”
Hingga saat ini belum ada konfirmasi dari pihak militer Filipina tentang masalah Batalyon Migrant tersebut, tetapi diketahui militer Filipina telah membunuh militan asing di Zamboanga Selatan. Setelah Isnilon Hapilon mengambil alih kepemimpinan Abu Sayyaf Grup, dia menyatakan telah berbai’at kepada pimpinan Islamic State, Abu Bakr al-Baghdadi. Kini ASG telah berkembang menjadi kelompok teror yang sangat terkenal dan menakutkan karena melakukan penculikan, pembunuhan, pemboman dan tindak kegiatan kriminal lainnya di Filipina Selatan.
Dalam video IS tersebut Hapilon ditampilkan bersama Mohd Najib Husen (Hussein), yang juga dikenal sebagai Abu Annas al-Muhajir, komandan Divisi al-Ansar syariah IS (tewas bulan Desember 2015). Kepala Hapilon dihargai pemerintah AS sebesar US$5 juta.
Abu Sayyaf sekarang resmi menggunakan bendera Daesh (Islamic State) dan karena itu Gerakan Khilafah Islamiyah dan kelompok radikal lainnya di Provinsi Lanao del Sur menjadi pusat di mana militan Ghuraba (asing) berada. Militan Ghuraba dan Gerakan Khilafah Islamiyah dipimpin oleh Humam Abdul Najid, yang pernah terlibat dalam pemboman di Cagayan de Oro City pada tahun 2013. Kelompok Ghuraba dilaporkan bertanggung jawab dalam menyembunyikan gerilyawan asing, termasuk agen dari Jama’ah al-Tawhid wal-Jihad, sebagai kelompok pelaku teror dan disebut sebagai ancaman internasional.
Jihadis asal Malaysia yang kini berada di Filipina Selatan diantaranya adalah, Mahmud Ahmad, Muhammad Joraimee Awang Raimee, Amin Baco dan Jeknal Adil yang melarikan diri ke Filipina Selatan, dilaporkan telah merekrut militan di Malaysia dan pernah mengirim simpatisan IS tersebut ke “Dar al-Harb” (medan perang), di Suriah dan Irak.
Pasukan Angkatan Darat dari Komando Mindanao Barat, akhir-akhir ini semakin meningkatkan serangannya dan tercatat telah menimbulkan korban yang cukup banyak terhadap para pemberontak Abu Sayyaf Grup (ASG) dalam serangkaian pertempuran di Sulu, dimana pihak militer terus melanjutkan operasi pencarian untuk pembebasan sandera asing yang diculik.
Kelompok Maute yang mengklaim memiliki link ke Islamic State dilaporkan pada akhir Agustus 2016 telah menyerbu penjara di Provinsi Lanao del Sur. Kelompok teror tersebut berhasil membebaskan sekitar dua lusin tahanan, termasuk delapan rekan mereka yang ditangkap hanya satu minggu sebelumnya. Serangan pada penjara pemerintah ini merupakan pukulan besar terhadap law enforcement dan ketertiban di Filipina.
Kepala Inspektur Kota Marawi, Parson Asadil mengatakan para pria bersenjata itu berhasil membebaskan pemimpin mereka, Hashim Balwawag Maute, yang juga telah berbai’at kepada Negara Islam. Maute ditangkap tanggal 22 Agustus 2016 di pos pemeriksaan tentara-Filipina Polri di kota Lumbayanague di Provinsi Lanao del Sur. Dia dilaporkan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan teroris.
Pihak Intelijen AS dan pejabat militer mengatakan bahwa, “Hapilon telah menempatkan Filipina langsung di bawah kendali jaringan teror, dan ini adalah game-changer.” Perubahan permainan bisa berupa terbentuknya kegiatan pemberontakan yang lebih besar di Filipina Selatan.
Dengan bergabungnya para militan dari Malaysia dan Indonesia, bukan tidak mungkin di masa mendatang, Filipina Selatan yang infrastruktur terorismenya sudah terbentuk akan menjadi basis utama Islamic State di kawasan Asia Tenggara. Praktek terorisme telah mereka praktekkan di Suriah dan Irak, dimana sangat patut diduga mereka telah menggeser strategi perjuangannya ke arah insurgency. Memang Presiden Filipina Duterte menyatakan dengan serius akan menghabisi Abu Sayyaf Grup, nampaknya jargon tersebut mudah diucapkan, tetapi jelas sulit dalam melaksanakannya.
Terlebih apabila konsep Khatibah al-Muhajir berjalan, dimana para jihaddis dari Malaysia, Indonesia, mereka yang kembali dari Timur Tengah serta para militan beberapa Negara di kawasan Asia Tenggara bergabung. Kekuatan tempur Abu Sayyaf (Khatibah Al-Muhajir atau “Batalion Migrant.”) akan meningkat pesat jumlahnya dan bila ini terwujud, maka ancaman teror di kawasan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia akan semakin besar. Solusi terbaiknya adalah dilaksanakannya operasi gabungan militer beberapa negara dalam bentuk sebuah koalisi tempur. Mungkin begitu?
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net