Setelah sejak sebelumnya lidah orang-orang Indonesia dibiasakan monosodium glutomat (Msg) alias micin, kini mie cepat saji menjelajah ‘dari Sabang sampai Merauke’ sebagaimana jingle sebuah iklan salah satu produk mie instan. Keduanya tampak mesra berkolaborasi membinasakan produk-produk pangan lokal, sekaligus bumbu dan rempah-rempahnya, sehingga ibu-ibu muda sekarang tidak lagi mahir nguleg cabai.
Mau masak apa? Rendang, tumis, sayur asem, sop, lodeh, nasi goreng? Semua bumbu-bumbu cepat saji itu bukan saja tersedia di rak-rak supermarket, melainkan juga merambah ke warung-warung rumahan. Pembelinya bukan saja pegawai kantoran yang waktunya habis ditelan macet di jalan, melainkan juga warga-warga desa yang jauh dari keramaian. Coba tengok dapurnya, micin sudah pasti ada, begitu pun dengan mie instan dan bumbu-bumbu instan lainnya.
Memang, tinggal sobek sasetnya, tak perlu menghitung komposisi seberapa banyak bawang merah, bawang putih, kemiri, garam dan seterusnya, sudah jadi masakan yang enak, apalagi bila lidah sebelumnya sudah dibiasakan oleh micin. Kenapa sekarang ini orang-orang Indonesia umur 30-an sudah banyak yang terserang stroke, jantung koroner dan sejenisnya?
Sebagai jawaban, coba berselancar di google. Ternyata tidak sedikit situs-situs yang mewartakan, mie instan dan makanan cepat saji lainnya, bila dikonsumsi secara berlebihan memiliki dampak yang tidak baik bagi kesehatan. Risikonya Anda bisa terkena usus buntu, kanker dan ginjal. Selain itu, kandungan gizi dan vitamin mie instan tidak selengkap nasi dan lauk pauknya.
Mie instan biasanya tidak lengket, mudah terurai. Untuk itu dibutuhkan lilin. Sialnya, usus manusia tidak diprogram untuk mencerna lilin. Akibatnya penyakit pencernaan, termasuk kanker usus, dengan mudah bersarang. Selain lilin, mie instan juga mengandung Natrium berlebihan yang menyebabkan sakit maag. Natrium juga meningkatkan tekanan darah yang tentu saja menjadi musuh nomer satu penderita hipertensi.
Mie instan itu kolaborasi antara gandum dan micin. Persoalannya micin itu hasil fermentasi yang tentu saja membutuhkan media microbial sebagai pengembangbiak micro-organism. Tidak itu saja, zat penggurih dibutuhkan hydrolyzed vegetable protein (HVP) dan yeast extract. HVP adalah jenis protein yang dihidrolisasi dengan asam klorida atau enzim. Yang perlu diusut dari mana sumber enzimnya? Hewankah? Tumbuhankah? Atau mikro-organisme? Kalau dari hewan terkait dari hewan jenis apa dan bagaimana cara penyembelihannya. Siapa tahu dari babi yang bagi umat muslim haram atau tikus got yang menjijikkan. Sedangkan yeast extract adalah asam amino yang berasal dari hewan.
Belum lagi terkait zat penguat rasa (flavor). Zat ini yang membuat produk mie instan mengklaim sejumlah produknya ada rasa soto mie, soto banjar, ikan cakalang, dan seterusnya. Padahal, kalau dicermati, jangankan berharap makan soto banjar, kemiripan rasanya pun tidak. Ditambah lagi, memasak mie instan tidak boleh sekaligus beserta dengan bumbunya. Sebab micin bila dimasak di atas suhu 120°C, berpotensi menjadi karsinogen pembawa kanker.
Padahal, makanan cepat saji itu bukan hanya mie instan. Apapun makanan olahan yang diproses melalui teknologi tinggi dengan menambahkan cita-rasa kelezatan melalui zat-zat adiktif, mudah dikemas dan tahan berbulan-bulan, itulah makanan cepat saji. Chicken nugget, com flakes, cornet, bubur instan, dan sejenisnya dapat digolongkan makanan cepat saji.
World Health Organization (WHO) dan Food Agricultural Organization (FAO), dua organisasi multilateral dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations/PBB) yang bergerak di bidang pangan dan kesehatan dunia pun mengingatkan bahaya residu bahan-bahan makanan cepat saji (fast food) yang antara lain meliputi: (1) menurunnya kekebalan tubuh, (2) terganggunya keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan, (3) kandungan racun dalam fast-food yang mengganggu metabolisme tubuh.
Biasanya pula, supaya daging lebih empuk digunakan zat sejenis aspirin. Ada sejumlah orang yang alergi terhadap zat ini yang mengakibatkan kelainan pada kromosom. Ada pula makanan cepat saji menggunakan pemanis buatan. Zat ini mengakibatkan mutagenic (mutasi gen), tumor otak, gangguan syaraf dan kantong kemih (saccharin). Supaya warnanya memikat digunakan zat warna yang menyebabkan carcinomas kelenjar tyroid, hypertrophy hyperplasia, dan kanker hati.
MSG alias micin itu sendiri, di beberapa rumah tangga digunakan untuk memasak apa saja, bahkan sambel pun terasa kurang sedang tanpa micin, ternyata sangat berbahaya bagi tubuh. Bila dikonsumsi secara terus menerus dalam waktu lama, micin akan menyebabkan depresi, ketidak-mampuan dalam belajar, asma, migren, muntah, mual, alergi kulit, mempercepat proses penuaan, demam tinggi, stress, hipertensi, trauma, kelainan hati dan kelainan otak.
Boleh jadi, kebiasaan makan makanan cepat saji membuat dalam satu dekade terakhir ini, ada kecenderungan bukan saja di Indonesia, melainkan di belahan lain dunia, semakin banyaknya orang-orang gendut, termasuk saya. Bahaya kegendutan (obesitas), dalam berbagai literatur kesehatan dapat dibaca, antara lain menumpuknya lemak yang mengganggu keseimbangan metabolisme tubuh. Aliran darah terganggu. Maka muncul hipertensi, stroke dan jantung. Bagi perempuan, kebiasaan makan makanan cepat saji juga mengakibatkan besarnya peluang terkena kanker payudara.
Belum lagi bila mencermati jenis kemasan yang digunakan oleh industri fast food. Padahal sudah ada himbauan dalam food safety and food grade (kemasan yang aman), namun dasar kapitalis yang ingin meraup untung sebanyak-banyaknya dengan biaya sesedikit-dikitnya, maka tetap saja bahan kemasan yang digunakan tidak aman bagi manusia, seperti kaleng, polyvinyl clorida (PVC), plastik dan styrofoam.
Kaleng menyebabkan tumbuhnya sel kanker, belum lagi penyakit kencing tikus (Leptospirosis) karena biasanya kaleng langsung diangkut dari gudang dan dipasarkan tanpa dibersihkan, PVC yang biasa digunakan membungkus kembang gula menyebabkan terhambatnya produksi hormone testosterone yang berakibat kemandulan, sedangkan plastik dan styrofoam yang biasa digunakan membungkus mie instan atau nugget mengandung zat bersifat karsinogenik dan mutgenik (mengubah gen).
Itulah sekelumit gambaran, betapa bahayanya fast food bagi tubuh manusia. Di sini pentingnya kembali memasak nasi goreng dengan mengulek cabai, bawang merah, bawang putih dan garam, dan kalau bisa tanpa micin, karena makanan lokal yang resepnya sudah turun temurun itu terbukti lebih sehat ketimbang menaburkan bubuk instan nasi goreng. Dengan begitu pula masyarakat Indonesia tidak mudah menjadi korban kapitalis yang setiap hari meracuni pikiran kita lewat iklan di televisi, radio, koran, dotcom dan seterusnya.
Makanan cepat saji yang tahan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, memang lebih mudah dibawa ke belahan dunia manapun. Ongkos logistik jelas lebih murah. Ketersediaan di pasar jelas lebih terjamin ketimbang beras, bawang merah, bawang putih, cabe, kemiri, cengkih, daun selederi, daun bawang dan lainnya, tapi lambat laun, siapa penguasa teknologi pangan dialah yang akan berkuasa atas penentuan isi dapur rumah tangga Indonesia. Dan sialnya pula, baik bahan maupun pemilik industri pengolahan fast food, lebih banyak bermerek asing, atau setidaknya pengusaha di tingkat global yang tidak jelas tanah tumpah darahnya.
Adakah pengusaha jenis ini memiliki tanggung jawab sosial, termasuk bertanggung jawab atas kesehatan masyarakat yang lambat laun, hampir semua menjadi konsumennya? Penguasaan teknologi yang hanya diusahakan oleh sedikit pemain, tentu saja rawan terhadap praktik-praktik yang menjurus ke kartel pangan. Tingginya harga pangan belakangan ini, termasuk gerak harga mie instan yang terus meninggi, tentu saja perlu disikapi sejumlah kalangan, baik itu menggencarkan sosialisasi untuk kembali ke pangan lokal segencar gerakan 4 sehat 5 sempurna di era Orde Baru, atau adanya regulasi melawan iklan-iklan bohong yang digencarkan oleh kartel-kartel pangan yang hanya dimiliki oleh sedikit pemain?
Tidak adil sekiranya, di satu sisi mengharuskan kemasan rokok dengan tulisan “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”, namun membiarkan produk-produk makanan cepat saji yang tidak kalah berbahayanya ketimbang rokok dengan tidak adanya kewajiban mencantumkan peringatan yang serupa di kemasannya. Demi keadilan, sebaiknya ada pula regulasi di setiap kemasan mie instan mencantumkan pula bahaya-bahaya mie instan yang sekarang juga sudah mendapat perhatian WHO dan FAO.
Belum lagi menghitung dampak gencarnya konsumsi makanan cepat saji dan kedaulatan pangan Indonesia. Bila melihat bahan dasarnya, rempah-rempah yang ada dalam sebungkus mie instan, pada produk-produk tertentu masih ada bawang goreng, sedangkan di bumbu bubuknya masih terselip aroma merica, disamping garam dan vetsin. Bahan utamanya tetap saja tepung terigu yang memang tidak tumbuh di Indonesia. Kebiasaan mengonsumsi mie instan yang sudah dari Sabang ke Merauke itu tentunya akan mengganjal upaya-upaya kedaulatan pangan oleh siapa pun pemerintahan yang berkuasa.
Di hulu, petani-petani dipaksa menggunakan bibit, pupuk dan pestisida yang teknologi dan kepemilikannya impor, di hilir pun petani cabai dan bawang juga bertarung melawan bumbu-bumbu serbuk yang menawarkan aneka ragam masakan. Belum lagi dipaksa bertarung dengan kedelai, jagung dan aneka buah impor. Sudah begitu, masihkah terselip peluang bagi Indonesia berkedaulatan di bidang pangan, selain hanya slogan-slogan gagah calon presiden dan partai-partai politik yang bertarung di pemilu 2014 nanti?
Padahal, bila dicermati Indonesia kaya lahan, tidak pernah kekurangan matahari dan hujan (kecuali di tahun-tahun tertentu saat musin La Nina dan el Nino), kaya bibit-bibit dan ragam jenis pangan, tapi kok defisit perdagangan pangan semakin mengkhawatirkan. Sudah itu masyarakatnya dibiarkan mengonsumsi makanan cepat saji yang berpenyakitan? Jelas itu karena tidak adanya penyelenggara negara terhadap isu pangan, baik dari sisi kesehatan, apalagi bicara soal kedaulatan.