Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn”.
Saudaraku, sahabatku, dan para kekasihku. Pada artikel kemarin telah dibeberkan dengan gamblang bagaimana seseorang dituntut untuk berjuang membabat habis semak belukar yang menutupi dirinya sehingga menggelapkan kesadarannya akan kesaksian awal (Syahadat Qadim).
Sungguh saudaraku, manusia telah lalai karena sebab keanekaragaman, yang seharusnya itu dipandang sebagai sebuah karunia yang darinya manusia mengetahui dan mengenal Tuhannya Yang Maha Besar, Yang Maha Meliputi, Yang Maha Berkuasa.
Pada artikel kali ini, masih dalam lingkup penjadian awal manusia yang di dalamnya terdapat sebuah ikatan janji dirinya kepada Tuhan. Di dalam ayat yang kemarin kita kaji, ada satu atau dua hal yang perlu kita kaji lebih dalam lagi, yakni tentang ‘Alaqah (segumpal daging) dan Qalam (pena).
Allah SWT berfirman:
ٱِقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ ۞ خَلَقَ ٱلْإِنسَٰنَ مِنْ عَلَقٍ ۞ ٱقْرَأْ وَرَبُّكَ ٱلْأَكْرَمُ ۞ ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلْقَلَمِ ۞
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
‘Alaq adalah bentuk jama’ dari ‘alaqah. Di dalam al-Ma’âniy disebutkan bahwa ‘alaqah adalah:
عَلَقَةٌ هِيَ النُّطْفَةُ فِي الطُّوْرِالثَّانِي (قِطْعَةٌ مِنَ الدَّمِّ الْغَلِيْظِ)
“‘Alaqah adalah nuthfah dalam fase yang kedua (bagian darah yang menjadi padat)”.
Lalu, apa itu nuthfah? Dalam bahasa Arab, nuthfah disepadankan dengan air mani. Lalu nuthfah itu sendiri apa artinya secara bahasa? Dalam tahsrîf lughah, nuthafah berasal dari kata nathafa-yanthafu, yang artinya memadamkan cahaya.
Oke, kita simpan dulu makna ‘alaqah. Sekarang kita telisik makna qalam dahulu sebelum kita masuk ke dalam kajian ayat tersebut secara menyeluruh.
Secara umum, qalam diterjemahkan sebagai pena. Dalam makna lain, kata qalam jika ditarik kepada kata kerjanya (fi’lun) juga diartikan sebagai memendekkan sesuatu yang panjang. Jika kita telisik sejarah dari kata qalam dalam al-Ma’âniy adalah:
جُزْءٌ أَنْبُوْبِيُّ رَفِيْعٍ فِي مَتَاعِ مُعْظَمِ الْأَزْهَارِ، يَمْتَدُّ مِنْ قِمَّةِ الْمَبْيَضِ وَيَحْمِلُ الْمِيْسَمَ فِي طَرْفِهِ الْعُلْوِيِّ
“Sejenis pohon rumput buluh yang tinggi yang dihiasi dengan bunga-bunga yang banyak sehingga menebarkan warna putih di atasnya dan mengandung racun pada pucuknya yang paling ujung”.
Dalam sejarahnya, terminologi qalam yang disepadankan dengan pena ternyata sudah masyhur sejak ribuan tahun yang lalu. Qalam diterjemahkan sebagai pena sudah masyhur di berbagai peradaban dunia, seperti Yunani Kuno, Persia, Urdu, Shindi, Benggala, Turki, Kurdi, dsb.
Qalam adalah sebuah alat tulis yang digunakan untuk menuliskan kalam-kalam hikmah pada setiap peradaban, baik jauh sebelum Islam, maupun setelahnya. Singkatnya, qalam adalah sejenis pena yang terbuat dari rumput buluh atau sejenis gelagah, yang digunakan dalam seni kaligrafi Islam. Karena itu, qalam tampil sebagai lambang hikmah dan Pendidikan, sehingga ia diabadikan menjadi salah satu nama Surat dalam Al-Quran, yang bernama Surat al-Qalam.
Berdasarkan penjelasan tersebut, kita dapat ambil kesimpulan bahwa Qalam adalah sebuah pena, baik secara denotatif maupun konotatif, maknawi maupun majazi, makna kasar maupun makna halus.
Baiklah saudaraku dan para sahabatku, kita Kembali kepada kajian tentang ayat yang menjabarkan penjadian awal manusia (QS. Al-‘Alaq 1-4) di dalamnya memunculkan istilah ‘alaq dan qalam. Begitu sangat misteriusnya kedua istilah tersebut sehingga tidak mudah menyepadankannya dengan istilah lain begitu saja.
Dari segi nama suratnya saja, dipakailah kata al-‘Alaq (segumpal darah). Ketika dibuka, ayat pertama menyebutkan dengan kalimat perintah; “bacalah!”. Kalimat itu tidak berdiri sendiri, namun ia digandeng dengan kalimat; “dengan Nama Rabb-mu”. Sudah kita jelaskan pada artikel yang lalu tentang dinamika Nama al-Rabb. Ia tidak termasuk ke dalam al-Asmâ al-Husnâ yang berjumlah 99.
Syeikh Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa al-Rabb secara hirarkies adalah Pimpinan dari seluruh Asma Allah yang mencakup kepadaNya berbagai penyifatan yang baik (Husna). DariNya-lah seluruh keteraturan alam semesta tersusun. Perlu diingat bahwa semua Nama Allah bukanlah entitas-entitas yang berdiri sendiri secara ontologis. Semua Nama Allah itu bersandar pada DzatNya Yang Tunggal. Dan Nama-Nama Allah itu juga menjadi sandaran bagi seluruh wujud mumkinat, termasuk manusia. Telitilah, jangan salah memahami!
Kemudian, apa dan bagaimana cara membaca sebagaimana diperintahkan dalam ayat tersebut. Obyek yang dibaca apa?
Jika ditelaah dengan teliti, bunyi teks Arab pada ayat tersebut singkatnya adalah: “Bacalah dengan Rabb”. Artinya, bacalah dengan menyertai Rabb. Pada hakikatnya, Rabb-lah yang membaca. Nabi SAW di gua Hira hanya mengikuti Rabb yang membaca. Keadaan seperti itu sebagaimana digambarkan oleh Guru kami Syeikh Abdurrauf Singkel, sebagai pandangan yang menyatu (‘ainul wahdiy). Perhatikanlah!
Ketika terjadi ‘ainul wahdiy dalam pandangan Rasulullah SAW, maka terbentanglah sebuah penglihatan tentang penciptaan. Saat itulah, Nama Allah al-Khâliq Nampak sebagai yang menjalankan af’âl penciptaan. Dia menciptakan insan dari ‘alaq. Sebuah penyaksian yang sekaligus juga terjadi penyertaan. Bimbingan itu secara lembut dituntun oleh Rabb.
Dia menciptakan insan dari ‘alaq. Apa itu insan? Apa itu ‘alaq? Di atas tadi sudah kita sebutkan pengertian ‘alaq, yakni segumpal darah yang dipadatkan. ‘Alaq adalah fase perubahan kedua dari metamorphosis Nuthfah. Kita juga sudah jelaskan tentang Nuthfah di atas tadi, yakni pemadaman cahaya. Secara umum ia diartikan sebagai setetes air mani yang keluar dari tulang sulbi laki-laki. Setetes air mani yang keluar itu memadamkan Cahaya Qadim. Karena itu, syari’at memberikan tuntunan untuk mandi jinâbah (mandi wajib) ketika seorang laki-laki mengeluarkan air mani baik karena sebab jimak dengan istrinya ataupun karena sebab mimpi, atau karena sebab yang lain.
Tentang insan, coba perhatikan ayat yang satu ini;
هَلْ أَتَىٰ عَلَى ٱلْإِنسَٰنِ حِينٌ مِّنَ ٱلدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْـًٔا مَّذْكُورًا ۞
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. al-Insan: 1)
Ayat tersebut menunjukkan sebuah penjadian, bahwa ternyata insan itu sendiri bukanlah sebuah nama untuk menyebutkan yang diciptakan itu. Artinya, insan itu adalah sebuah cover yang pembuatannya berasal dari proses-proses nuthfah, ‘alaqah, mudhghah, dst. Jadi, yang kita bicarakan di sini adalah baru terbatas pada covernya saja.
Perhatikanlah baik-baik, bahwa insan yang sedang kita kaji ini juga merupakan salah satu nama surat dalam Al-Qur’an, yang namanya al-Insan. Coba kita perhatikan ayat selanjutnya;
إِنَّا خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَٰهُ سَمِيعًۢا بَصِيرًا ۞ إِنَّا هَدَيْنَٰهُ ٱلسَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا ۞ إِنَّآ أَعْتَدْنَا لِلْكَٰفِرِينَ سَلَٰسِلَا۟ وَأَغْلَٰلًا وَسَعِيرًا ۞ إِنَّ ٱلْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِن كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا ۞ عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ ٱللّٰهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا ۞
“(2) Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (3) Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (4) Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. (5) Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (6) (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya”. (QS. Al-Insan: 2-6)
Pada akhir Surat al-Insan ini, Allah SWT menjelaskan secara gamblang bahwa manusia tidak mampu menempuh Jalan Tuhan yang lurus kecuali melalui rahmatNya:
إِنَّ هَٰذِهِۦ تَذْكِرَةٌ ۖ فَمَن شَآءَ ٱتَّخَذَ إِلَىٰ رَبِّهِۦ سَبِيلًا ۞ وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللّٰهُ ۚ إِنَّ ٱللّٰهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا ۞ يُدْخِلُ مَن يَشَآءُ فِى رَحْمَتِهِۦ ۚ وَٱلظَّٰلِمِينَ أَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًۢا ۞
“(29) Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, maka barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. (30) Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (31) Dan memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan bagi orang-orang zalim disediakan-Nya azab yang pedih”. (QS. Al-Insan: 29-31)
Saudaraku, barangkali kita mesti sedikit berkontemplasi sejenak untuk masuk ke pemahaman ini. Perlahan-lahan akan kita preteli satu persatu proses penjadian diri kita.
Apa itu insan? Al-Ma’âniy menyebutkan bahwa Insan secara bahasa berasal dari akar kata anasa-ya’nisu yang artinya sangat banyak, diantaranya; ramah, jinak, lupa, menghibur, menyenangkan, suka akan sesuatu, dst. Bentuk tashrifnya sama seperti kata ‘irfân (‘arafa-ya’rifu), atas rumus fi’lân.
Sebagai pendukung proses penjadian insan tersebut, secara lengkap kita telaah ayat berikut;
ثُمَّ خَلَقْنَا ٱلنُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا ٱلْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا ٱلْمُضْغَةَ عِظَٰمًا فَكَسَوْنَا ٱلْعِظَٰمَ لَحْمًا ثُمَّ أَنشَأْنَٰهُ خَلْقًا ءَاخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ ٱللّٰهُ أَحْسَنُ ٱلْخَٰلِقِينَ ۞
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”. (QS. Al-Mu’minun: 14)
Lalu kapan penjadian secara bertahap (nuthfah – ‘alaqah – mudhghah – ‘idzham – lahm) di dalam rahim itu mulai disebut sebagai insan?
Saudaraku, pada artikel terdahulu sudah kita ulas bahwa manusia diambil sebuah perjanjian sehingga ia terikat pada perjanjian itu. Perjanjian itu, yang kita sebut sebagai ‘Syahadat Qadim’, diambil ketika proses penjadian insan di alam rahim telah sempurna. Penjadian sempurna sosok insan itu terjadi sebagaimana Rasulullah memberikan gambaran:
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ عَبْدِ اللّٰه ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقِ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُـمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذٰلِكَ، ثُـمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذٰلِكَ، ثُـمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعَةِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللّٰهِ الَّذِيْ لآ إِلٰهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا ۞ ( رواه البخاري ومسلم )
Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud RA berkata, Rasulullah SAW yang jujur dan terpercaya bersabda kepada kami; “Sesungguhnya penciptaan kalian (dengan cara) dikumpulkan dalam rahim ibu, selama empat puluh hari berupa nuthfah (sperma), lalu menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu pula, lalu menjadi mudhghah (segumpal daging) selama itu pula. Kemudian Allah mengutus Malaikat untuk meniupkan ruh dan mencatat 4 (empat) perkara yang telah ditentukan, yaitu: rizky, ajal, amal dan sengsara atau bahagianya. Demi Allah, Dzat yang tiada tuhan selain Dia, sesungguhnya ada di antara kalian yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni surga sehingga jarak antara dia dengan surga hanya sehasta (dari siku ke ujung jari). Namun suratan takdirnya sudah ditetapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni neraka, maka ia pun masuk neraka. Ada juga yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni neraka hingga jarak antara dia dan neraka hanya sehasta. Namun suratan takdirnya sudah ditetapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni surga maka ia pun masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ali bin Abi Thalib RA menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah satu jiwa yang telah ditiupkan ruh ke dalamnya, melainkan Allah telah menetapkan tempatnya, di surga atau di neraka. jika tidak, maka Allah telah menetapkan apakah ia bahagia atau celaka.” Seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulallah, jika demikian apakah kita kemudian pasrah dengan ketentuan kita?” Rasulullah menjawab: “Tidak, tapi beramallah, karena semua dimudahkan menurut ketentuan masing-masing. Orang yang ditentukan bahagia, akan dimudahkan pada amal-amal orang yang berbahagia. Sedangkan orang yang ditetapkan sengsara akan dimudahkan pada amal-amal orang-orang yang sengsara.” Lalu beliau membaca ayat: “Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik…” (QS. Al-Lail: 5-6)
Saudaraku, satu hal yang patut kita sikapi tentang hadits tersebut di atas supaya kita tidak salah memahami, bahwa semua penjadian manusia, Allah SWT tidaklah berbuat dzalim. Itu prinsip teguh yang harus kita pegang erat. Bagaimanapun seseorang tergantung apa yang dituliskan sendiri olehnya.
Menyikapi hal itu, coba kita telaah ayat yang satu ini, sekaligus kita memahami tentang bagaimana qalam itu berperan terhadap proses penjadian manusia:
نٓ ۚ وَٱلْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ ۞
“Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis” (QS. Al-Qalam: 1)
Huruf Nûn adalah sandi yang menunjukkan sebuah proses untuk melahirkan huruf Bâ. Yang satu titiknya di atas dan yang satu lagi titiknya di bawah. Titik itu menunjukkan awal proses penjadian. Ia disebut juga Nuthfah. Bâ adalah sebuah entitas baru yang keberadaannya dimunculkan dari Nûn. Bagaimana prosesnya sehingga huruf Nûn dapat melahirkan huru Bâ?
Sesuai bentuknya, qalam (pena) berbentuk panjang. Dan ia adalah realitas Alif. Ketika Alif hendak menjadikan sesuatu, maka ia gunakan qalam lalu digoreskan pada Nûn. Hasil goresan itu memunculkan huruf Bâ. Bahwa ternyata huruf Bâ itu lahir dari rahim huruf Nûn.
Lalu seperti apa isi tulisannya? Jawabannya berada pada diri masing-masing. Sebab sang Alif tidak berlaku dzalim terhadap sebuah ketentuan. Apa yang dituliskan Alif pada Nûn dengan qalam adalah apa yang kalian perbuat. Itulah tulisanmu, kitabmu dan catatanmu. Pahamilah dan renungkanlah!!!
Wallahu A’lam