Home / Relaksasi / Renungan / Energi Pusat Kosmik dari Zaman ke Zaman

Energi Pusat Kosmik dari Zaman ke Zaman

Pada setiap sesuatu ada titik tengah. Di dalam titik tengah itu, ada lagi titik tengah yang lebih kecil. Di dalam titik tengah yang lebih kecil itu, ada titik tengah lagi yang lebih kecil. Dan seterusnya, hingga tidak ada lagi di dalam titik itu kecuali ketiadaan dan kekosongan. itulah energi terbesarnya.

Kekosongan adalah energi terbesar. Pusat kosmik yang dapat mengendalikan hamparan titik. Seperti atom, proton dan neutron berputar-putar mengelilingi inti atom yang tidak lain adalah kekosongan. Ia menarik segala sesuatu hingga berthawaf. Seperti planet terhadap pusat tata suryanya. Seperti bumi terhadap intinya. Seperti malaikat terhadap nur awwalnya. Seperti diri terhadap nuraninya. Seperti segala sesuatu terhadap energi yang bukan sesuatu. Seperti ciptaan terhadap Penciptanya.

Sejarah telah memberikan isyarat bahwa pusat kosmik selalu saja dicari orang dengan berbagai macam kepentingan. Ia seolah memberikan legitimasi baik secara mistis, sosio-kultural, maupun politis. Pusat kosmik itu dalam perkembangan pentahapannya bisa berupa tempat, benda, waktu dan subyek manusianya. Dalam bentuknya yang paling nyata, kepentingan terhadap pusat kosmik mengerucut pada alasan-alasan kekuasaan. Pencapaiannya bisa dengan kesaktian, kekayaan, popularitas, dan pengaruh sosial (hegemoni) serta ketokohan.

Kekuasaan adalah karakter mendasar bagi manusia. Maklum saja, karena Tuhan telah memberikan taqdir (penguasaan) itu kepada manusia. Meski sebenarnya dalam pandangan tauhid, kata “taqdir” itu adalah daya Tuhan yang diamanahkan kepada manusia. Jadi, qudrah (Kekuasaan) itu adalah milik Tuhan dan harus dijalankan sesuai arahan dan petunjuk Tuhan. Seperti kata-kata dalam UUD 1945 “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Penjelmaan kedaulatan rakyat adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memiliki wewenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Artinya, MPR adalah simbol manusia dan rakyat adalah simbol Tuhan.

Dalam perjalanan sejarahnya, manusia sering kali melakukan berbagai macam cara untuk bisa mewujudkan karakteristik dasarnya, yakni kekuasaan. Dan pencapaian kekuasaannya selalu saja dihubungkan dengan pusat-pusat kosmik yang dipercaya akan membawa keberhasilan. Dan setelah berhasil, pusat-pusat kosmik itu akan membuat langgeng kekuasaannya. Hal ini seperti membentuk suatu pola “peperangan ideology” sebagai jelmaan dari sesuatu yang dianggapnya sebagai cosmic power trust. Walhasil, pandangan politik manusia tidak bisa dilepaskan dari system kepercayaan yang dianutnya. Dan keberhasilannya adalah manipestasi dari cosmic power trust tadi.

Di zaman Namrudz, misi ajaran tauhid yang dipropagandakan Nabi Ibrahim kepada rakyat kerajaan telah membuat sang raja gusar. Kerajaan Babilon yang dipimpin Namrudz pada masa itu mengalami krisis kepercayaan rakyat kepada rajanya. Rakyat lebih percaya kepada Ibrahim daripada kepada sang raja. Menyadari posisi Ibrahim yang sangat berbahaya bagi Negara, maka sang raja merasa berkepentingan untuk menundukkan Ibrahim. Akhirnya, “dialog aqidah” Nabi Ibrahim dengan Namrudz saat itu berujung kemurkaan sang raja. Alhasil, Ibrahim dibakar hidup-hidup. Keistiqomahan Ibrahim yang selamat dari pembakaran telah menjadikannya sebagai pusat kosmik. Sistem kepercayaan raja Namrudz telah dikalahkan oleh system kepercayaan Nabi Ibrahim. Raja Namrudz telah mengalami kesalahan kosmis dalam membangun kekuasaannya.

Di zaman fir’aun, para dukun, tukang sihir dan ahli-ahli tenung, gendam dan hipnotis harus menyerah pada kekuasaan fir’aun. Ia dikumpulkan dan dibayar untuk memperkukuh posisi fir’aun sebagai raja dengan kekuasaan mutlak. Ketundukkan para tukang sihir itu adalah ketundukkan pamrih materi. Ia berang jika ada yang mencoba menandingi atau setidaknya tidak tunduk terhadap system kekuasaannya. Ia sadar bahwa Nabi Musa memiliki kemampuan supra natural sehingga harus direkrut demi melegitimasi kekuasaannya. Namun, tukang sihir dan para dukun tunduk pada kemampuan yang dimiliki oleh Nabi Musa. Atas peristiwa itu, Fir’aun sadar bahwa titik pusat kosmik berada pada Nabi Musa dan Fir’aun berkepentingan untuk menundukkan Nabi Musa dengan pola-pola yang lazim dipakai oleh para penguasa pada umumnya yakni; harta, tahta dan wanita, sebagaimana yang ditawarkan oleh Fir’aun kepada para dukun dan tukang sihir. Namun, karena Nabi Musa punya bargaining power, ia mau saja bekerjasama dengan Fir’aun tanpa harus barter dengan harta, tahta dan wanita dengan satu syarat; Fir’aun harus tunduk pada ajaran tauhid. Namun, Fir’aun menganggap bahwa tunduk pada ajaran tauhid dianggapnya sebagai tunduk pada Nabi Musa. Justru misi itulah yang membuat Fir’aun gerah, tawaran Nabi Musa ditolak mentah-mentah. Selanjutnya, terjadilah pertarungan ideologis yang tentunya kehancuran di pihak Fir’aun karena telah salah dalam mengambil energi kosmiknya.

Di zaman kelahiran Nabi Muhammad, Ka’bah telah menjadi pusat kosmik. Abrahah, salah seorang perwira Abissinia di bawah kekuasaan Byzantium seolah “iri hati” terhadap tempat di mana Ka’bah berdiri. Karena saat itu, rakyat di seluruh jazirah Arab dengan segala kepentingannya, selalu saja menjadikan Ka’bah sebagai tempat ziarah. Walhasil, popularitas Ka’bah dengan berbagai macam asumsinya telah menandingi popularitas kerajaan dengan kekuasannya. Karena itu, Abrahah berkepentingan menghancurkan Ka’bah dan membumi hanguskan tempat-tempat di sekililingnya. Tujuannya hanya satu, yakni menguasai kota Mekkah dan sekitarnya yang di dalamnya terdapat  Ka’bah sebagai pusat kosmiknya. Meski akhirnya pasukan bergajah pimpinan Abrahah mati di perjalanan, di tengah padang pasir dan belum sempat menguasai kota Mekkah.

Ketika Nabi Muhammad berbicara tauhid kepada kaum Quraisy Mekkah, secara berangsur-angsur masyarakat menerima dan tunduk pada ajaran Islam. Ketimpangan system sosial telah dipandang oleh masyarakat yang telah menerima ajaran Islam sebagai thagut. Pandangan murni yang bersumber dari misi Nabi Muhammad telah membuat gusar elit-elit kaum Quraisy. Walhasil, elit-elit Quraisy bertekad bahwa pusat kosmik yang berada pada tangan Nabi Muhammad harus ditundukkan demi melindungi kepentingan hegemoni kapitalismenya. Tawaran klasik dengan segala bujuk rayu dan tipu muslihat; harta, tahta dan wanita pun mulai dimainkan. Lagi-lagi, ke-istiqamah-an (konsistensi) Nabi Muhammad pada ajaran tauhid telah membuat mereka berang. Pertarungan pun tak bisa dihindari hingga akhirnya Nabi Muhammad dan para sahabatnya dapat mengusai Kota Mekkah dan Ka’bahnya.

Di zaman pencerahan (renaissance), di saat para elit Gereja dan Kerajaan berebut pengaruh dengan mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi, munculah sosok “dunia ketiga” yang dimotori kaum intelektual dan budayawan untuk mengambil simpati rakyat secara ideologis. “Dunia ketiga” telah muncul sebagai sosok yang membuat mereka bekerjasama untuk melawannya. Para elit Gereja dan Kerajaan akhirnya berkoalisi untuk memberangus para aktor yang membuat daya tarik nalar secara massif. Hak kebebasan berpikir dan berpendapat bagi rakyat di zaman itu telah dipasung oleh kekuasaan koalisi (para elit Gereja dan Kerajaan). Hanya segelintir orang yang berani melontarkan pemikiran dan pendapatnya, baik lewat tulisan maupun karya seni. Tawaran gaya berpikir “baru” dari kaum intelektual dan budayawan telah membahayakan pola pikir dan system kekuasaan koalisi sehingga misi kebenaran yang disuarakannya harus diambil alih. Kebenaran yang dibawa oleh kaum intelektual tidak boleh dikonsumsi secara umum, sehingga harus ditutup, dibungkam dan dikuasai hanya oleh para elit koalisi. Walhasil, korban dari subyek perlawanan pun berjatuhan. Namun, ideology sebagai pusat kosmik yang diusung oleh para kaum intelektual dan budayawan tetap hidup dan menjadi spirit. Sosoknya tetap dianggap sebagai bahaya laten bagi Gereja dan kerajaan. Meski pada akhirnya kemudian, ideology “baru” itu sudah kadong tersebar dan menjadi spirit perlawanan terhadap status quo. Sehingga muncullah zaman baru sebagai kemenangan dari kaum intelektual yang dengan energi kosmiknya semboyan dan semangatnya telah menjadi spirit perlawanan bagi kaum tertindas.

Pada zaman kerajaan di Nusantara, titik-titik kosmik selalu saja mewarnai sepak terjang kerajaan. Karena itu, pembagian kekuasaan (trias politika) ala kerajaan di nusantara seolah juga menjadi karakteristik dan system kepercayaan bagi orang-orang nusantara sendiri pada umumnya. Misalnya, di Cirebon dikenal pembagian kekuasaan; Kasepuhan, Kanoman dan Keprabonan. Di Surakarta juga dikenal dengan pembagian kekuasaan; Kesultanan, Kasepuhan dan Kasunanan. Di Kerajaan Buton, ada majelis yang mirip dengan MPR sekarang. Fungsinya membentuk, mengangkat dan memberhentikan sultan di tiga lembaga; Sara Pangka (Eksekutif), Sara Gau (Legislatif) dan Sara Bitara (Yudikatif).

Dalam Naskah Sunda kuno, “Siksakandang Karesian” dan “Fragment Carita Parahiyangan”, dikenal istilah Tri Tangtu di Buana, yakni tiga fungsi yang menentukan kesejahteraan kehidupan di dunia yang masing-masing memiliki tanggung jawab, terdiri atas: Sang Prabu, Sang Rama dan Sang Resi.

Sang Prabu, sama dengan pemimpin formal, birokrat, pemerintah (presiden), para pengambil kebijakan serta seluruh unsur Trias Politica. Siapa pun pemimpinnya yang sedang berfungsi sebagai Prabu, harus berfilosofi Ngagurat Batu (‘berwatak teguh’), yakni taat dan patuh dalam menjalankan hukum serta apa adanya tanpa rekayasa. Jika dilaksanakan secara taat asas, maka komunitas yang dipimpinnya akan selalu berjalan dalam koridor yang benar dan terarah.

Sang Rama, termasuk ke dalamnya keluarga dan pemuka masyarakat. Keluarga sebagai unsur terkecil dalam struktur masyarakat sangat menentukan terwujudnya kesejahteraan bangsa. Daya tahan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung  pada kekuatan dan kesejahteraan di tataran masyarakat. Dalam naskah Fragment Carita Parahiyangan, Sang Rama  harus berfilosofi Ngagurat Lemah (‘berwatak menentukan hal yang mesti dipijak’). Fungsi Sang Rama adalah mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rohmah.

Sang Resi, diartikan sebagai orang yang berilmu, cerdik cendekiawan, ulama, para pendidik dan pengajar, serta orang-orang yang mampu mencerdaskan bangsa yang harus Ngagurat Cai (‘berwatak menyejukkan dalam peradilan’).  Mengandung pengertian bahwa para cerdik cendekiawanlah yang harus mampu mendorong daya hidup untuk tumbuh-kembangnya kualitas Sumber Daya Manusia agar bermanfaat. Tugas Sang Resi menuntun dan mengarahkan perjalanan masyarakat ke arah yang lebih baik dan sejahtera lahir batin.

Pola trias politika ala kerajaan Nusantara telah menunjukkan cara pandang yang kuat terhadap pusat-pusat kosmik. Kemapanan kekuasaan Kerajaan justru disebabkan karena kebanyakan mereka telah menerima dan patuh pada ajaran-ajaran adiluhung yang dibawa oleh orang-orang yang memiliki potensi kosmis. Dan keruntuhannya pun disebabkan oleh penolakannya atau setidaknya mengabaikan ajaran-ajaran adiluhung para wali dan kaum pandita. Hal ini di kemudian hari telah menjadi corak dan gaya kepemimpinan di Nusantara.

Istilah kepemimpinan kharismatis tak lain adalah untuk menyebut gaya kepemimpinan di Nusantara. Pemahaman akan kharisma itu lebih dititikberatkan pada cara pandang mistis sebagai gaya kepemimpinannya. Tentunya, cara pandang mistis ini berdasarkan nilai-nilai adiluhung yang tumbuh subur dari agama dan budaya, yang kemudian disebut sebagai pusat kosmik. Artinya, tetap saja pola kekuasaan yang dibentuk dari system kepercayaan telah menjadikannya sebagai pusat kosmik.

Namun demikian, pusat kosmik dengan energinya bukanlah sekedar bangunan system. Ia lebih dipahami sebagai spirit dari bangunan system. Sebagus dan secanggih apapun bangunan system, jika tidak disandarkan pada cosmic power trust, maka ia seperti bangunan kertas yang sangat rapuh. Sistem kepercayaan yang mendasari energy dari pusat kosmik akan dengan sendirinya menyusun bangunan system dengan jujur, adil dan transparan. Energi pusat kosmik yang dahsyat itu berada di dalam diri yang mencitrakan cara pandang Ketuhanan terhadap segala sesuatu.

Barangsiapa yang melawan atau setidaknya mengabaikan adanya energy di pusat kosmik, maka ia harus berhadapan dengan pusaran energy terbesarnya. Ia berhadapan dengan dirinya sendiri, disiksa dan dihukum oleh dirinya sendiri. Suka atau tidak suka terhadap paradigma ini, kenyataan sejarah telah menjadi isyarat akan keberadaannya. Ketika ia menerima energy kosmik, maka ia harus masuk pada pusaran energinya. Titik pusat energy itu berada pada “titik tengah” yang tiada bertitik. Mengambil energy itu harus melepaskan segala macam klaim keberadaan hingga ia bervolume nol. Tanpa melepaskan klaim keberadaan, maka kekuasaannya akan dihancurkan zaman dan tak akan pernah bisa mewariskan keabadian. Karena kekuasaan abadi terletak pada energy yang bervolume nol. Bangunan kekuasaannya menjadi tanda baca di setiap zaman. Tak lekang oleh waktu dan tak terbatasi oleh ruang.

  • Oleh: alHajj Ahmad Baihaqi
  • Pasulukan Loka Gandasasmita

 

About admin

Check Also

Mintalah Allah dan Tidak Meminta MakhlukNya

“Bila meminta masuk surga dan terhindar dari neraka maka berarti kita masih meminta makhluk ciptaanNya” ...