BARANGKALI belum ada referensi yang menyebutkan kapan untuk pertama kali “penjara” dibuat. Bahkan para CorrectionologTower of London tercatat sebagai penjara tertua di Inggris pertama kalinya dipergunakan untuk menghukum Ranulf Flambard, seorang Bishop karena tindak pemerasan yang terjadi pada tahun 1100. (baca: ahli ilmu kepenjaraan) juga tidak mencatatnya dengan baik tentang berdirinya lembaga yang kemudian dijadikan tempat untuk menghukum orang-orang yang di “cap” sebagai pelaku tindak kejahatan di masyarakat itu. Namun dari penelusuran sejarah,
Maka, sejak saat itu penjara dikenal sebagai tempat yang mahal untuk tetap bertahan hidup bagi penghuninya. Sebab, di dalam penjara yang dipergunakan untuk mengukum para pejabat, bangsawan dan pembelot agama tersebut ternyata bukan saja merupakan tempat untuk mencabut kebebasan, tetapi juga untuk melakukan tindak kekerasan dan penyiksaan bagi narapidanya. Fakta penjara yang kurang lebih sama seperti itu, hingga saat ini masih terjadi di hampir semua penjara di seluruh dunia.
Karena itu setelah adanya tuntutan untuk mengadopsi nilai-nilai hak asasi manusia dalam kehidupan kebangsaannya, termasuk bagi mereka yang ada di dalam penjara, maka setiap negara berkewajiban untuk menata ulang penjaranya. Memang tidak mudah, karena selain kompleksitas permasalahannya yang semakin rumit, juga terbatasnya anggaran biaya yang tersedia. Namun, perubahan gaya pembinaan napi dan perbaikan fasilitas penjara tetap merupakan sebuah keniscayaan, agar penjara yang ada dapat dikelola sesuai standar PBB.
Sedikitnya terdapat tiga persoalan besar untuk mewujudkan hal itu: Pertama, overcapacity. Dengan berkembangnya jenis dan jumlah orang yang melakukan tindak kejahatan telah meningkatkan jumlah penghuni baik di lapas maupun rutan, hingga melebihi batas kamar yang tersedia. Hal ini selain menambah beban anggaran biaya pengelolaan yang harus disediakan oleh pemerintah, juga berekses pada “semakin mahalnya perlindungan dan memiliki kamar” di dalam penjara.
Kedua, masuknya the new sub-population. Mereka ini umumnya selain memiliki intelektual yang baik, juga secara finasial berlebih. Kalangan yang biasa disebut whitecollar crime ini biasanya ingin diperlakukan dengan istimewa, baik dari fasilitas kamar maupun pelayanannya, dan sebagai layaknya “bos” di dalam penjarapun tidak pernah lepas dari cellular phone-nya. Sehingga menimbulkan kecemburan diantara penghuni, dan tidak jarang malah melakukan “pembinaan” terhadap para petugas untuk mengubah gaya hidup di lingkungan penjara.
Ketiga, deviant behavior para petugas. Banyaknya perilaku menyimpang para petugas ini, diantaranya,
disebabkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan, tidak adanya harapan masa depan, serta “godaan” yang dilakukan oleh para penghuni, khususnya dari kalangan the have atau pelaku “narkobanomik”.
Karena itu untuk mengurangi tingkat hunian napi tersebut terpetik pikiran dari para penentu kebijakan untuk membuat mereka cepat keluar, yaitu dengan memberikan potongan hukuman sebanyak-banyaknya. Hal ini tentu tidak sesuai dengan penerapan hukuman dari pasal-pasal yang telah mendapat putusan hukum tetap.
Untuk itu akan lebih bijaksana jika dalam mengatasi persoalan tersebut diambil beberapa langkah antara lain, memberikan “asuransi” kepada para petugas yang dapat memberikan harapan kesejahteraan dan jaminan kepemilikan atas rumah; memberikan pekerjaan kepada para penghuni yang berasal dari lower class dengan menggandeng kerjasama dengan pihak ketiga, agar mereka tetap dapat membiayai kehidupan keluarganya; dan membangun Lapas Khusus bagi Penjahat Kerah Putih layaknya Lapas Khusus Narkoba.
Bangunan Lapas Khusus Penjahat Kerah Putih itu sesungguhnya bukan hal baru, Lapas Sukamiskin oleh Pemerintah Hindia Belanda pernah dijadikan the Elite Prison. Karena itu secara historis-sosiologis dapat dihidupkan kembali. Lapas khusus ini nantinya tetap bersifat maximum security, walaupun kepada penghuninya akan diberikan fasilitas istimewa. Sehingga bagi penghuni hanya kebebasannya saja yang hilang, sesuai dengan doktrin pemidanaan. Karena itu wajar jika mereka berkewajiban untuk menanggung biaya atas fasilitas yang diberikan tersebut. Atau dalam kalimat yang lain, penjara ini operasionalnya sedapat mungkin dibiayai oleh para penghuninya.
Meskipun demikian untuk dapat mewujudkan the Elite Prison tentu tidak mudah karena masih dibutuhkan “pandangan bijak” dari masyarakat, khususnya para pembuat peraturan perundang-undangan. Agar kehadiran mereka sebagai sub-populasi baru dalam Lapas yang tidak mungkin terhindarkan, tidak merusak sistem pemasyarakatan yang masih terus dikembangkan.
Sumber: kolierharyanto.wordpress.com