Ilmu Syathariyah, Nubuwah dan Dzikir
Dengan senantiasa memohon bimbingan-Nya, petunjuk-Nya, berkah dan rahmat-Nya serta ridha dan maghfirah-Nya, risalah tentang Ilmu Syathariyah, Nubuwah dan Dzikir ini dimaksud untuk memperjelas hubungan antara ketiganya.
Sebagaimana telah sering dijelaskan baik lewat tulisan di dalam Risalah Ilmu Syathariyah maupun dengan lisan, bahwa di dalam Kitab Futuhati al-uluhiyyah dijelaskan oleh para Wasithah asal kata Syathariyah adalah:
طَرِيْقُ السَّآئِرِيْنَ اِلىَ اللهِ وَهُمُ الشَّطَارُ مِنْ اَهْلِ الْمَحَبَّةِ اِلَى اللهِ وَهٰذَا الطُّرُقُ مَبْنِيٌّ عَلَى سَلَامَةٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى “وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ” وَبِاْلإِرَادَةِ لِخَبَرٍ “مُوْتُوْا قَبْلَ اَنْ تَمُوْتُوْا” ـ
Thariiqu as-saairiina ilaa Allah wahum Asy-Syathar min ahlil muhibbah ilallah; wa haadza ath-thuruqu mabniyyun ‘ala salaamati al-mauti liqaulihi Ta’aala ‘walaa tamuutunna illa wa antum muslimun’ wa bi al-iraadati li khabrin ‘muutuu qabla antamuutuu’.
Maksudnya adalah bahwa Ilmu Syathariyah ini adalah ilmunya orang-orang yang dengan bersama-sama menempuh jalan menuju kepada Allah sehingga sampai bertemu dengan-Nya. Mereka adalah Asy-Syathar, yakni orang-orang yang ahli di dalam mencintai Allah. Dan ini adalah satu-satunya jalan yang tetap untuk keselamatan ketika mati guna memenuhi amanah Allah, sebagaimana firman-Nya: “janganlah kamu semua mati kecuali mati selamat yang dengan rasa damai dan bahagia bertemu dengan-Nya”, juga memenuhi perintah Junjungan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya: “(belajar) matilah kamu semua sebelum mati”.
Hal ini dimaksudkan supaya mengalami rasanya mati yang benar sebagaimana wafatnya para kekasih Allah, yaitu mati dalam keadaan: “Wujuuhun yauma idzin naadhirah ilaa Rabbiha naadzirah”. Wajah-wajah mereka (orang-orang yang matinya selamat dengan rasa bahagia bertemu Tuhannya) di hari itu wajahnya berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat (dengan mata hati). (QS. Al-Qiyamah [75]: 22-23):
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ ، إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”.
Itulah sebabnya, ilmu yang menunjukkan “pintunya mati” supaya selamat bertemu Tuhan dan merasakan bahagianya hidup kekal dengan-Nya di hari akhir, disebut Ilmu Syathariyah. Adalah mati yang “fii maq’adhi shidqin ‘inda malikin muqtadirin” (QS. Al Qamar [54]: 55). Ketika mati yang pasti ditemui dan hanya sekali dirasakan, kembali di dalam tempat yang benar (lalu merasakan betapa bahagia hidup kekal dengan Yang Maha Kekal) di sisi Maha Raja diraja Yang Berkuasa.
فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ
“Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa”. (QS. Al Qamar [54]: 55).
Pintunya mati itu oleh Allah ditempatkan di dalam rasa. Dan rasa adalah dasar manusia. Rasa ditempatkan Allah di dalam arwah. Arwah ditempatkan di dalam hati nurani yang dibungkus oleh wujudnya jiwaraga.
Oleh karena mati yang selamat itu kembali kepada Diri-Nya Dzatullah Yang Al-Ghayb, maka pintunya mati adalah menunjukkan dengan metode tunjuk oleh yang berhak dan sah menunjuki (ahli dzikir) mengenai Ada dan Wujud Diri-Nya Ilaahi Dzat Yang Al-Ghayb lalu menjadi hamba Allah yang secara benar memenuhi syarat pertama menjadi muttaqin, yaitu alladziina yu’minuuna bi al-Ghaybi (mereka yang beriman kepada alam ghaib).
Sebagaimana diketahui bahwa Kitabullah (Al-Qur’an) 30 juz jumlahnya, tidak ada keraguan di dalamnya adalah hidayah bagi muttaqin. Yaitu orang-orang yang beriman kepada Al-Ghayb (syarat pertama menjadi muttaqin).
Al-Ghayb itu al-nya ma’rifah dan Ghaybun-nya mufrad, satu, esa. Yakni satu-satuNya Ada dan WujudNya Dzat Yang Allah namaNya tetapi Ghayb, karena sama sekali tidak akan pernah menampakkan diri di muka bumi; tidak bisa dilihat dengan mata kepala.
Al-nya ma’rifah. Maksudnya jelas. Jelas wajib wujud-Nya. Jelas sangat dekat sekali. Jelas meliputi dan menyertai hamba-hamba-Nya. Karena itu jelas mudah diingat-ingat dan dihayati di dalam rasa hati, apabila rela meminta petunjuk kepada ahlinya (ahli dzikir).
Adapun yang sama-sama tidak bisa dilihat oleh mata kepala tetapi bukan Diri-Nya Ilaahi Dzat Yang Al-Ghayb, di dalam firman-firmanNya Allah memberi sebutan al-ghuyuub. Beberapa hal yang dibangsakan ghayb karena sama-sama tidak bisa dilihat oleh mata kepala. Seperti gaibnya hati nurani, roh, rasa, para Malaikat-Nya Allah, surga, neraka, jin, syaitan, dan sebagainya.
Lubang Cahaya
Di dalam QS. Al-Maidah ayat 48 firman Allah menyatakan adanya lubang cahaya (minhajan):
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
Likulli ja’alna minkum syir’atan wa minhajan. Bagi tiap-tiap umat di antara kamu, Kami jadikan syir’atan (aturan lahir) dan minhajan (lubang cahaya di dalam batin [di dalam rasa]).
Di dalam kamus tasawuf minhajan itu lubang cahaya. Sedang kalau yang dimaksud jalan terang adalah manhaajun.
Lubang cahaya itu adalah Cahaya Terpuji-Nya Dzat Al-Ghayb Yang mutlak Wujud-Nya, Allah nama-Nya, yang Cahaya dengan Dzat-Nya Allah bagaikan kertas dan putihnya atau bagaikan sifat dan maushufnya. Atau bagaikan ombak dan samodranya. Maksudnya kekal menyatu menjadi satu.
Mengenal dan mengetahui adanya lubang yang isinya adalah Cahaya Terpuji-Nya Dzatullah dari yang berhak dan sah menunjuki (ahli dzikir) di dalam rasa sama artinya dengan seyakinnya mengenal dan mengetahui fitrah jati dirinya sendiri yang dicipta oleh Allah dari Fitrah-Nya. Sebagaimana maksud firman Allah dalam QS. Ar Ruum ayat 30: Fithratallahi allati fatharannaasa ‘alaiha. Bahwa Fitrah Allah-lah yang telah menciptakan fitrah jati diri manusia dari Fitrah-Nya Allah sendiri. Tidak ada perubahan bagi penciptaan Allah bahwa fitrahnya manusia dicipta Allah dari Fitrah-Nya. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. Ar Ruum: 30):
فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
Mengenal dan mengetahui Nur Muhammad di dalam rasa oleh yang berhak dan sah menunjuki sama artinya dengan seyakinnya mengenal dan mengetahui Diri-Nya Ilaahi Yang Al-Ghayb. Adalah “titik temunya” fitrah jati diri manusia dengan tempat asal dicipta oleh Allah, sehingga “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”, adalah hal yang nyata terasa di dalam rasa hati.
Inilah yang dikehendaki dengan Ilmu Nubuwah. Sebagaimana maksud firman Allah di dalam QS. Al An’am ayat 20 bahwa orang-orang yang telah diberi kitab, maksudnya kitabun maknun, Kitab yang terpelihara (lauh mahfudz) yang di QS. Al Waqi’ah ayat 79 difirmankan Allah tidak akan dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan oleh Allah.
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمُ ۘ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
“Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman (kepada Allah)“. (QS. Al-An’am [6]: 20)
فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ ، لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh). Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan“. (QS. Al-Waqi’ah [56]: 78-79)
Orang-orang yang telah diberi kitab seperti itu mengenal Nur Muhammad seperti mereka mengenali anak-anaknya sendiri. Alladziina khasiruu anfusahum fahum laa yu’minuuna. Orang-orang yang merugikan dirinya sendiri (karena tidak mengenal dan mengetahui fitrah jati dirinya yang dicipta Allah dari Fitrah-Nya Allah sendiri yang disimpan Allah di dalam rasa hati), mereka itu adalah orang-orang yang tidak beriman (kepada Allah). (QS. Al An’am [6]: 20).
Firman Allah di dalam QS. Al Hadid ayat 13 dijelaskan bahwa Allah menjadikan dinding. Dimaksud dinding adalah diri manusia, yaitu wujudnya jiwa raga. Lahu baabun. Dinding ini mempunyai pintu. Baathinuhu fiihi al rahmatu. Di dalam batinnya adalah rahmat (Nya Allah Swt). Yaitu Nur Muhammad, tempat bertemunya fitrah jati diri manusia dengan Fitrah-Nya Allah Swt. Wa dzahiruhu min qibalihi al-‘adzab. Dan pada bagian lahirnya adalah azab. Adalah hidup yang hanya menuruti kemauan lahir karena hanya habis diperalat nafsu dan watak akunya.
يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ
“Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu”. Dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)”. Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa”. (QS. Al Hadid [57]: 13)
Menjalani hidup dan kehidupan berjiwaraga yang diuji Allah dalam kehidupan dunia yang hanya habis menuruti bagian lahir hingga sama sekali tidak butuh mengadanya rahmat-Nya Allah di dalam batinnya (di dalam rasanya), sama artinya di dalam rasa tidak ada lubang cahaya karena lubang cahaya ini telah benar-benar ditutup oleh gelapnya nafsu yang sama artinya dengan azab, sewaktu-waktu mati yang pasti ditemui dan hanya sekali, dijelaskan Allah dalam QS. Saba’ [34] ayat 51 s/d 54 sebagai berikut:
وَلَوْ تَرَىٰ إِذْ فَزِعُوا فَلَا فَوْتَ وَأُخِذُوا مِنْ مَكَانٍ قَرِيبٍ ، وَقَالُوا آمَنَّا بِهِ وَأَنَّىٰ لَهُمُ التَّنَاوُشُ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ ، وَقَدْ كَفَرُوا بِهِ مِنْ قَبْلُ ۖ وَيَقْذِفُونَ بِالْغَيْبِ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ ، وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا يَشْتَهُونَ كَمَا فُعِلَ بِأَشْيَاعِهِمْ مِنْ قَبْلُ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا فِي شَكٍّ مُرِيبٍ
51. Dan (alangkah hebatnya) jikalau kamu melihat ketika mereka (orang-orang yang di dalam rasa hatinya tidak ada Cahaya Terpuji-Nya Dzatullah [Nur Muhammad]), terperanjat ketakutan (pada saat mati yang ditemuinya); maka mereka tidak dapat melepaskan diri dan mereka ditangkap dari tempat yang dekat (oleh wadyabalanya iblis dibawa ke tempat sesat selama-lamanya),
52. dan di saat itu mereka berkata: “Kami beriman kepada Allah”, bagaimana mereka dapat mencapai keimanan dari tempat yang jauh.
53. Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari-Nya sebelum itu (ketika masih di dunia); dan (sebabnya) mereka hanya menduga-duga saja mengenai Al-Ghayb dari tempat yang jauh.
54. Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini (ingin kembali ke dunia meluruskan salahnya) sebagaimana yang dilakukan (oleh Allah) terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu. Sesungguhnya mereka dahulu (ketika masih di dunia) dalam keraguan yang mendalam.
Karena itulah mengapa syarat pertama menjadi muttaqin adalah orang-orang yang beriman kepada Al-Ghayb, mengapa tidak yu’minuuna billaahi.
Sebab Allah adalah nama. Nama-Nya Dzat Yang Al-Ghayb. Dan Yang menciptakan jagad dengan segala isinya serta Sang Pembuat manfaat dan mudharat bukanlah nama-Nya. Tetapi Dzat-Nya. Dan Dzat Yang Wajib Wujud-Nya ini: Al-Ghayb. Innani Ana Allah (QS. Thaha [20]: 14). Sesungguhnya Aku ini (Dzat Al-Ghayb) yaitulah Aku Yang Allah (nama-Ku).
فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ
“Tahulah jin-jin itu bahwa kalaulah sekiranya mereka mengetahui AL-Ghayb tentulah mereka tidak tetap di dalam siksa yang menghinakan”. (QS. Saba’ [34]: 14).
Apakah kita mau bernasib seperti nasibnya jin yang celaka itu?
Apakah ia mempunyai ilmu Al-Ghayb, maka dia dapat melihat (dengan mata hati mengenai Diri-Nya Ilaahi Yang Al-Ghayb) (= a’indahu ‘ilmu al Ghayb fahuwa yaraa) (QS. an Najm [53] 35). Dan apakah mereka mempunyai Al-Ghayb lalu mereka berani menulis (= am ’indahumu al-Ghaybu fahum yaktubuuna). (QS. al Qalam [68]: 47).
Dzikir
Perintah Allah dengan firman-Nya dalam QS. al A’raf [7] ayat 205 :
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
“Dan ingat-ingatlah Rabbmu di dalam dirimu (di dalam rasa hatimu) dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan (cara mengingat-ingat-Nya) tidak dengan melahirkan dengan kata-kata (tetapi diingat-ingat di dalam rasa hati), di sepanjang pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.
Yang didzikiri (diingat-ingat dalam rasa hati) adalah Yang empu-Nya nama Allah. Yaitu Al-Ghayb. Dzatullah Yang Mutlak Wujud-Nya (tetapi) Al-Ghayb. Yang dekatnya lebih dekat Dia Dzat Yang Al-Ghayb ini meskipun dibandingkan dengan putihnya mata dan hitamnya mata si hamba (hadits Qudsi). Bahkan lebih dekat Dia meskipun dibandingkan dengan urat nadi yang ada di lehernya hamba (Firman Allah dalam QS. Qaaf [50]: 16):
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”.
Tidak ada yang menutupi Ada dan Wujud-Nya Yang Al-Ghayb itu melainkan adalah jiwaraganya manusia yang dibangsakan wujud. Dan jiwaraganya manusia yang dibangsakan wujud (sebab sebenarnya tidak wujud) dicipta Allah dari setetes mani akan tetapi hanyalah menjadi penentang yang terang-terangan (terhadap kehendak Allah dan semua perintah-Nya). (QS. Yasin [36]: 77; dll). Karena itu, wadzahiruhu min qibalihi al-‘azab. (QS. Al Hadid [57]: 13), “Dan pada bagian lahirnya adalah azab“.
Inna nahnu nazzalna az zikra wa inna lahu lahaafidzuuna (QS. Al-Hijr: 9). Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan zikir dan Kami pulalah yang menjaganya.
Di dalam QS. Shaad [38] ayat 1 dan 2 Allah berfirman: “Demi Al-Qur’an yang mempunyai zikir. Tetapi bagi orang-orang yang tidak percaya dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit“.
ص ۚ وَالْقُرْآنِ ذِي الذِّكْرِ ، بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي عِزَّةٍ وَشِقَاقٍ
Di dalam Kitab Ma’na Sirr fi bayani ma’rifat billah, Allah berfirman di dalam dada Al-Ghauts: Maka senantiasa dzikirilah Diri-Ku niscaya Aku (juga akan) selalu ingat kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku serta janganlah kamu mengingkari (Ada dan Wujud-Nya Diri-Ku Yang Al-Ghayb itu).
Ana jalisun man dzakarani, Aku selalu duduk berhadap-hadapan dengan orang-orang yang mendzikiri-Ku. Dan tidak ada suatu kaum yang duduk-duduk dalam sebuah majelis kemudian mereka semua pergi dan sama sekali tidak ada yang mendzikiri-Ku adalah bagaikan perginya kaum dari bangkainya himar.
Dan seseorang hamba yang tidak mendzikiri Aku di dalam rumahnya di atas bumi milik-Ku, melainkan disaksikan oleh bumi, di hadapan Allah, bumi itu menangisi seseorang hamba yang demikian halnya itu pada hari kematiannya.
اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lalai mengingat-ingat (Ada dan Wujud Diri-Ku Yang Al-Ghayb itu Yang) Allah (nama-Ku), mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi.” (QS. Al Mujadilah [58]: 19)
Bunyinya Zikir yang Dapat Didengar Telinga dalah Huw-Huw-Huw…
Huw yang wawu didhammah adalah bunyinya rasa; adalah Huwiyatu ar-Rabbi. Huw yang isinya adalah Rabb (yang dibisikkan lewat telinga kiri sebagaimana yang dilakukan Junjungan Nabi Muhammad SAW ketika membai’at Sayidina Ali Bin Abu Thalib serta para ahlul baitnya).
Huw ini sebenarnya telah ada di dalam surat Al-Ikhlas. Qul Huwa Allahu Ahad.
Qul adalah fiil amar, artinya perintah yang berlaku sekarang. Huwa adalah dhamir, artinya sesuatu yang tersimpan di dalam rasa hati mengenai Huwa (mengenai Dia), yakni Allah, adalah satu-satu-Nya Dzat Yang Mutlak Wujud-Nya tetapi Al-Ghayb.
قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ
“Qul innama huwa ilaahun waahidun, wa innani bariun mimma tusyrikuuna” (QS. Al An’am [6]: 19).
Katakanlah bahwa sesungguhnya Huwa (huwiyatu ar-Rabbi) adalah Ilaahun waahid. Dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).
فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ
“Faqul hasbiyallahu laailaaha illa huwa…” (QS. At Taubah [9]: 129).
Maka katakanlah: “cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah selain Huwa (huwiyatu ar-Rabbi)….”.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Yaa ayyuhannasu antumu al-fuqaraau illallah, wallahu Huwa al-ghaniyyu al-hamiidu. (QS. Fathir [35]: 15)
Wahai manusia kamu semua adalah al-faqir (apes, hina, nista, bodoh tidak tahu apa-apa, tidak punya apa-apa, tidak bisa apa-apa dan bahkan tidak ada apa-apanya, karena itu seharusnya kamu semua) berkehendak kepada Allah. Wallahu Huwa adalah mubtada’ dan khabar. Maksudnya, Allah itu adalah Huwa (yang tersimpan di dalam rasa hati). Dialah Dzat Yang Maha Kaya Raya, tidak kurang suatu apa dan Maha Terpuji.
Oleh karena itu dengan tegas sekali Allah berfirman dalam QS. Al Isra’ ayat 72: Waman kaana fii hadzihi a’ma fahuwa fi al-akhirati a’ma wa adhallu sabiila.
وَمَنْ كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا
Dan barang siapa yang di dunia sekarang ini buta (mata hatinya tidak mengetahui Ada dan Wujud Diri-Nya Ilaahi Dzat Al-Ghayb Yang Mutlak Wujud-Nya Yang sangat dekat sekali (di dalam rasa hati, meliputi dan menyertai hamba-hamba-Nya) maka di akherat juga buta (mata hatinya) dan lebih sesat jalannya.
Mengingkari Al-Kitab, Al-Hikmah dan An-Nubuwah
Di dalam QS. Al An’am [6] ayat 89 Allah berfirman: Ulaaika alladziina atainaahumu al-kitaaba wa al-hukma wa an nubuwwata; fain yakfur biha haaulaai faqad wakkalna biha qauman laisun biha bikaafiriina.
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ۚ فَإِنْ يَكْفُرْ بِهَا هَٰؤُلَاءِ فَقَدْ وَكَّلْنَا بِهَا قَوْمًا لَيْسُوا بِهَا بِكَافِرِينَ
Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka al-kitab, al-hikmah dan an nubuwah. Jika orang-orang itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya.
Al-Waqi’ah [56] ayat 75 s/d 82 Allah bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Sumpah itu adalah sumpah yang sangat besar bila kamu semua mengetahui. Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfudz). Tidak akan bisa menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan (oleh Allah). Diturunkan dari Tuhan semesta alam. Maka apakah kamu menganggap remeh saja al-Qur’an? Dan hanya kamu jadikan alat untuk mencari rezki (tetapi) sesungguhnya kamu semua mendustakan.
فَلَا أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ ، وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَوْ تَعْلَمُونَ عَظِيمٌ ، إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ ، فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ ، لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ ، تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ ، أَفَبِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَنْتُمْ مُدْهِنُونَ ، وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ
Dan yang didustakan adalah hak mutlak-Nya Allah dan hak-hak Junjungan Nabi Muhammad Rasulullah yang seharusnya selalu berada pada tempatnya.
Allah adalah nama-Nya Dzat Al-Ghayb Yang Mutlak Wujud-Nya mempunyai hak mutlak untuk dikenali dan diketahui supaya dapat dengan mudah diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati.
Sebab al ‘abdu fi haqqillahi ka al-huti fi al-bahri. Hamba semuanya saja di dalam hak-Nya Allah Swt adalah persis bagaikan ikan di dalam samodra. (Kitab Bahru al-Lahut fi bayani ma’rifat billah).
اْلْعَبْدُ فِى حَقِ اللهِ كَالْحُوْتِ فِى الْبَحْرِ
Seperti halnya ikan di dalam air samodra, manusia ini jangankan bisa menjalani hidup dan kehidupan dunia, berdaya bertenaga berkekuatan berpikir, berpendengaran, berpenglihatan, obah osik, sebenarnya bernafas pun tidak kalaulah tidak dengan Tuhan. Buktinya kalau jasad telah habis masa pakainya lalu dikubur, sama sekali tidak ada apa-apanya.
Itulah sebabnya mengapa Allah berfirman: Wa qaala ar rasuulu ya Rabbi inna qaumittakhadzuu haadza al-Qur’aana mahjuura.
وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَٰذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا
Berkatalah rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan” (QS. Al Furqan [25]: 30).
Maka menjadi jelas bahwa bagi hamba yang dikehendaki Allah untuk disucikan, dia pasti tidak ragu-ragu bahwa Al Qur’an 30 juz adalah hudan lil-muttaqin (yang syarat pertamanya menjadi muttaqin): alladziina yu’minuuna bi al-Ghaybi.
Karena itu, imannya orang-orang bertaqwa yang di hadapan Allah benar dan dibenarkan adalah: Ma’rifatun wa tashdiqun.
Maksud ma’rifatun adalah mengetahui Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Yang Allah nama-Nya (tetapi) Al-Ghayb, kemudian selalu berusaha diingat-ingat dimana saja, kapan saja, sedang apa saja, serta dijadikan tujuan tempat kembali apabila jasad telah habis masa pakainya.
Dan maksud wa tashdiqun adalah membenarkan. Membenarkan bahwa yang berhak dan sah menunjuki dengan metode tunjuk mengenai Ada dan Wujud Diri-Nya Ilaahi Yang Al-Ghayb adalah hamba yang dikehendaki Allah dengan hidayah-Nya supaya mewakili tugas dan kewajiban Nabi Muhammad SAW sebagai rasul-Nya yang hak-haknya tidak pernah terputus sama sekali sampai kiyamat nanti, di dalam sebuah rantai silsilah.
Dan perlu diketahui bahwa yang gilir gumanti dalam sebuah rantai silsilah itu hanyalah jasadnya. Hakekatnya tetap Nabi Muhammad. Sebab hakekat Nabi Muhammad adalah Nur Muhammad, sebagaimana maksud firman Allah dalam QS. Ali Imran [3] ayat 164: Laqad mannallahu ‘ala al-mu’miniina idz ba’atsa fiihim rasuulan min anfusihim.
قَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah membangkitkan di dalam kalangan mereka sendiri seorang rasul dari anfusihim (dari fitrah jatidiri mereka sendiri…). Dan fitrah jati diri manusia adalah Nur Muhammad.
Demikian pula dalam QS. At-Taubah [9] ayat 128: Laqad jaakum rasulun min anfusikum…. Sesungguhnya telah datang seorang rasul dari anfusikum…. Dari fitrah jati dirimu sendiri (= Nur Muhammad).
Wa’lamuu anna fiikum rasulallah…(QS. Al Hujurat [49]: 7). Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya di tengah-tengah kalanganmu itu (ada) rasulullah…
Wakaifa takfuruuna wa antum tutlaa ‘alaikum aayaatullahi wa fiikum rasuuluhu….(QS. Ali Imran [3]: 101). Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi ingkar (kafir) padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu?
Di dalam QS. Al-Ahzab [33] ayat 21 Allah berfirman perihal keadaan diri rasulullah sebagai suri teladan yang baik (fii rasuulillaahi uswatun hasanah). Fii rasulillah uswatun hasanah adalah isim nakiroh. Maksudnya abadi. Hanya saja mengadanya rasul adalah sebagai teladan bagi orang-orang khas (khusus). Yaitu orang-orang yang keadaan hidup dan cita-citanya yarjullah (mengharap bertemu Allah). Mengharap bertemu dengan rasa bahagia dengan-Nya di akherat, karena itu mengharap dengan banyak mendzikiri-Nya.
Semoga tulisan yang dimaksudkan untuk melengkapi risalah Ilmu Syathoriyah ini menambah kedalaman kita bagi niat kita untuk selamat dengan rasa bahagia pulang kembali bertemu dengan Diri-Nya Dzat Yang Maha Sempurna. Amin.
Mereka yang Tidak Mengingkari Al-Kitab, Al-Hikmah Dan An Nubuwah
Mereka yang tidak mengingkari adalah sebagaimana yang dikehendaki Allah dengan firman-Nya dalam QS. Ali Imran [3] ayat 79, yang artinya: tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, Al-Hikmah dan An Nubuwah, lalu dia berkata kepada manusia: ”Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan menyembah Allah”. Akan tetapi (dia menyeru): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَٰكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Kuunu Rabbaniyyin” = hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani. Orang-orang rabbani adalah orang-orang yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah Swt.
Ilmu yang sempurna adalah Ilmuhu Ta’ala li Dzatihi wa li sifatihi wa li af’alihi wa li jami’i al maujudad. Yaitu ilmu-Nya Allah Swt mengenai seyakinnya mengenal dan mengetahui Ada dan Wujud Dzat-Nya Yang Al-Ghayb; seyakinnya mengenal dan mengetahui sifat-sifat-Nya atau Daya dan Kekuatan-Nya dan seyakinnya mengenal dan mengetahui perbuatan-Nya atau obah osik-Nya serta terhadap segala hal yang nampak wujud (dunia dengan segala isinya) yang dicipta oleh Allah tidak batal supaya dikelola dan digarap demi untuk Subhaanaka. Demi untuk dijadikan pancatan yang kokoh pulang kepada-Nya.
Taqwa kepada Allah yang sempurna adalah: “Mujtahidun fi ‘ibadatihi bi shidqin wa ikhlashin”. Yaitu bersungguh-sungguh menyembah Allah dengan benar dan ikhlas.
Untuk memperoleh ilmu-Nya Allah Swt mengenai Ada dan Wujud Dzat-Nya Yang Al-Ghayb, harus rela memenuhi perintah Allah: “Fas-aluu ahladz dzikri inkuntum laa ta’lamuun” (QS. Al Anbiya [21]: 7). Maka minta petunjuklah (bertanyalah) kepada ahli dzikir apabila kamu tidak mengetahui (Ada dan Wujud Dzat-Nya Yang Al-Ghayb).
Caranya melalui bai’at, memenuhi firman Allah dalam QS. Al Fath [48] ayat 8-10:
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا ، لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا ، إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
(8) “Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan”. (Saksi harus berada di tengah-tengah yang disaksikan).
(9) “Supaya kamu semua beriman kepada Allah dan rasul-Nya, menguatkan-Nya (= kuat mendzikiri-Nya [mengingat-ingat Ada dan Wujud-Nya Dzat Tuhan Yang Al-Ghayb Yang Mutlak Wujud-Nya]), membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang”.
Tentang Bai’at
(10) “Sesungguhnya orang-orang yang baiat kepada kamu sesungguhnya mereka bai’at kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka semua, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri, dan barang siapa yang menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya kanugrahan yang besar”.
Di dalam bai’at ini ada sumpah, pembisikan “rahasia Ada dan Wujud Diri-Nya Ilaahi Dzat Yang Al-Ghayb” lewat telinga yang kiri (apabila telinga kirinya sehat/normal) lalu ada janji.
Pelaku (yang membai’at) sebenarnya adalah Allah sendiri. Hanya karena Dia adalah Dzat Yang Al-Ghayb maka Dia tidak langsung memperlihatkan (dalam mata hati) mengenai Diri-Nya Yang Al-Ghayb, akan tetapi Allah memilih dari rasul-Nya (untuk mewakili-Nya) kepada siapa yang dikehendaki oleh-Nya. Adalah maksud firman Allah dalam QS. Ali Imran [3] ayat 179.
Sumpah dalam bai’at ini dimulai dari Syahadat tarekat. Yaitu syahadat (penyaksian) yang melapangkan jalan menuju kepada Allah sehingga sampai kepada-Nya. Adalah penyaksiannya mata hati bahwa Yang Ada dan Yang Wujud hanyalah Diri-Nya Dzat Yang Al-Ghayb (Isi-Nya Huw). Apapun selain-Nya tidak ada yang dituhankan, sehingga segala tingkah laku dan perbuatan serta gerak dan gerik lahirnya dan batinnya hanya menuhankan Isi-Nya Huw, dengan cara selalu diingat-ingat dan dihayati di dalam rasa hati. Dan penyaksiannya (dengan mata hati) bahwa yang menjadi utusan Allah itu sebenarnya adalah Nur Muhammad, Cahaya Terpuji-Nya Dzatullah sendiri.
Dalam sumpah ini juga diyakinkan bahwa rukun iman (amantu billahi, wa malaaikatihi, wa kutubihi, wa rusulihi, wa al-yaumi al-akhiri, wa bil al-qadri khairihi wa syarrihi minallahi Ta’ala), sumbernya dari kepercayaannya terhadap Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Al-Ghayb Yang Mutlak Wujud-Nya. Rukun iman itu menyatu dengan Diri-Nya Ilaahi (Isi-Nya Huw). Sebab semua dari Allah, bagi Allah, untuk Allah guna menuju kepada Allah.
Sebagaimana diperingatkan oleh firman Allah dalam QS. An Nisa’ [4] ayat 136: Barangsiapa yang ingkar (tidak percaya bahwa di dalam menjalani hidup dan kehidupan ini tidak) dengan Allah, tidak dengan para Malaikat-Nya Allah, tidak dengan kitab-Nya Allah, tidak dengan rasul-Nya Allah dan tidak dengan hari akhir, maka sungguh dia telah sesat yang sejauh-jauhnya. (Waman yakfur billahi wa malaaikatihi wa kutubihi wa rusulihi wa al-yaumi al-akhiri fawad dhalla dhalaalan ba’iida).
وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Rangkaian sumpah berikutnya adalah: Radhitu billahi Rabba, wa bi al-Islaami diina, wa bi Muhammadin nabiyya, wa bi al-Qur’aani imaana, wa bi al-Ka’bati qiblati, wa bi as-sayyidi syaikhi syaikhan wa dalilan wa muraban (dan saya bersenang hati kepada Guru yang mengajari saya adalah karena rahmat dari Allah dari dunia hingga ke akherat. Adapun hati saya tetap menghadap kepada Allah).
Wa bi al-fuqaraai at-tabi’iina ikhwaanan lima ‘alaihim walahum maa ‘alaththaa’ati tajama’na wa al-ma’siyati tafaraqna (dan saya bersenang hati kepada semua faqir yang taat kepada Guru semua adalah saudara saya lahir batin dunia akherat. Saya senang bersama-sama di dalam ibadahnya, saya bersenang hati untuk saling tolong menolong di dalam kekurangan dan kemelaratannya; saya bersenang hati untuk berpisah di dalam kedurhakaannya).
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا ، وَبِالْإِسْلَامِ دِيْناً ، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا ، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا ، وَبِالْكَعْبَةِ قِبْلَةً ، وَبِالسَّيِّدِ الشَّيْخِ شَيْخًا وَدَلِيْلاً وَمُرَبًّا ، وَبِالْفُقَرَآءِ التَّابِعِيْنَ إِخْوَانًا لِمَا عَلَيْهِمْ وَلَهُمْ مَا عَلَى الطَّاعَةِ تَجَمَّعَنَا وَالْمَعْصِيَةِ تَفَرَّقْنَا
Rangkaian sumpah itu di lakukan setelah diajak berniat masuk ilmunya Guru yang shalih yaitu Ilmu Syathariyah atau Ilmu Nubuwah fardu karena Allah. Kemudian hadiah-hadiah Al-Fatihah. Kemudian sumpah di atas.
Setelah itu lalu melakukan mukaddimahnya Ilmu Syathariyah, yaitu dzikir 7 macam dimulai dari thawaf dengan mengucap kalimah nafi: Laa ilaaha. Caranya menahan nafas, menggunakan dagu (lambang Qalamullah yang tintanya Nur Muhammad) digariskan mulai dari belikat (pundak) kiri, memutari pusat (puser=jawa) menuju ke belikat (pundak kanan), berbentuk Lam alif. Sesampainya di pundak kanan lalu menarik nafas, kemudian mengucap kalimah itsbat: Illallaah, dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya di bawah susu kiri kira-kira dua jari. Dilakukan sebanyak tiga kali.
Maksud dari pundak kiri ke pundak kanan adalah kesediaan memikul amanat Allah: Wa’bud Rabbaka hatta ya’tiyaka al-yaqin (QS. Al-Hijr [15]: 99).
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Wa’bud adalah fiil amr, yakni perintah Allah yang wajib dilaksanakan, supaya menyembah kepada-Nya sehingga Rabb-mu hadir dengan yakin dalam rasa hati (mengingat-ingat dan menghayati Isi-Nya Huw) hingga sewaktu-waktu mati selamat dengan rasa bahagia pulang kepada-Nya (bertemu dengan-Nya).
Menahan nafas dengan memutari pusat (puser = hakekat Ka’bahnya pribadi) maksudnya adalah supaya lulus melaksanakan amanah Allah tersebut harus selalu menahan diri (jihadunnafsi), agar segala tingkah laku dan perbuatannya serta gerak dan gerik lahirnya dan batinnya tidak diperintah dan dijajah oleh nafsu dan watak akunya, tetapi murni karena “Katut siliring Qudratullah”.
Thawaf yang kalimahnya nafi (Laa ilaaha) dan itsbat (Illallah) adalah dzikir nomor satu dan dua.
Dalam mukaddimah ini dzikir nomor tiganya adalah dzikir itsbat faqath. Yakni Illallah-illallah saja, dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri.
Hati sanubari yang oleh Allah dibuat dari secuil daging nempel pada tulang rusuk terakhir di bawah susu kiri ini adalah markasnya nafsu lawwamah.
Oleh karena dibuat oleh Allah dari secuil daging maka hati sanubari ini mendorong nafsu manusia untuk menyubur-makmurkan peradaban daging. Mengembang-suburkan nafsu bangsa hewan. Menjadi markasnya nafsu lawwamah yang bala tentaranya ada wataknya iblis didalamnya.
Dipukul oleh dagu dengan kalimah itsbat Illallaah (kalimah yang menetapkan di dalam rasa hati bahwa Yang Wujud dan Yang Ada hanyalah Diri-Nya Dzat Yang nama-Nya Allah (Isi-Nya Huw), supaya lerep. Supaya tentaranya nafsu lawwamah lenyap. Sebab bala tentara nafsu lawwamah ini hanya bisa dilerepkan (dilenyapkan) oleh dzikir itsbat.
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ
“Maa ja’alallahu lirajulin min qalbaini fi jaufihi”. Allah sama sekali tidak akan menjadikan berfungsinya dua hati dalam rongga dada hamba-Nya (QS. Al-Ahzab [33]: 4).
Jadi supaya hati nuraninya berfungsi, maka markasnya nafsu lawwamah yang letaknya di dalam hati sanubari harus dilerepkan (dilenyapkan).
Dzikir nomor empat: Allah-Allah-Allah. Yang dipukul tepat tengah-tengah dada, mengarah kepada ruh, supaya ruhnya tidak diperalat oleh kepentingan nafsu dan watak akunya tetapi berfungsi menjadi Ruh Ilaahi untuk ngambah di maqam hakekat. Sehingga seyakinnya sadar dan percaya sepenuh hati bahwa sesungguhnya Yang bisa, Yang empunya segala, Yang kuat, Yang tandang (Yang eksis), Yang obah osik bahkan Yang Wujud dan Yang Ada hanyalah Diri-Nya Ilaahi. Dan oleh karena demikian, maka hatinya akan selalu dijaga untuk selalu mengingat-ingat Ada dan Wujud-Nya (Isi-Nya Huw), bersama dengan setiap masuknya nafas ke dalam dada (apabila nafas sedang terkontrol). Apabila nafas dalam keadaan tak terkontrol (seperti sedang berbicara, sibuk dengan pekerjaan dan sebagainya), yang penting bagaimana supaya hati melirik pada Isi-Nya Huw.
Dzikir nomor lima: Allah Huw.
Allah diambil dari tengah-tengah dada dan Huw dimasukkan ke dalam otak tempat berpikir, supaya otak tempat berpikir menjadi “Baytu al-makmur”. Menjadi rumah yang memakmurkan garapan dunia demi untuk Subhaanaka. Demi untuk dijadikan pancatan yang kokoh pulang kepada Tuhan. Memakmurkan syiarnya agama Allah. Makmur dengan dzikir.
Dzikir nomor enam: Huw Allah.
Huw diambil dari dalam otak tempat berpikir dan Allah dipukulkan ke dalam tengah-tengah dada. Yang di arah adalah sirr (rasa), supaya pikirnya sadar bahwa tujuannya kembali kepada Allah. Sewaktu-waktu mati yang pasti ditemui dan hanya sekali saja dirasakan dapat merasakan bahagianya mati selamat pulang kembali bertemu dengan-Nya.
Dzikir nomor tujuh: Huw-Huw-Huw dengan mengingat-ingat yang dibisikkan oleh Wasithah bahwa itu adalah satu-satuNya Dzat Ilaahi Yang Mutlak Wujud-Nya. Tempat kembalinya fitrah jati diri manusia dengan Fitrah-Nya Allah Swt di dalam rasa.
Mukaddimah Ilmu Syathariyah tujuh macam ini disamping menyesuaikan jumlah nafsu manusia yang juga ada tujuh macam, oleh Allah dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 29 disebut tujuh langit.
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia-lah Dzat Yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Baqarah [2]: 29).
Adalah mendaki tangga tujuh langit untuk menemui-Nya. Sebuah gambaran bahwa sekiranya tidak ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya, sangat mustahil.
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
Walaula fadhlullahi ‘alaikum wa rahmatuhu lattaba’tumusysyaithaana illaa qaliila (QS. An Nisa’ [4] 83). Kalaulah tidak karena ditarik oleh fadhal dan rahmat-Nya Allah atas kamu, kamu semua pasti mengikuti syaitan kecuali sedikit. Sebab ternyata memang hanya sedikit sekali yang tidak “terbenam” di dalam segala hal yang ada di bumi disebabkan nafsu dan watak akunya yang dijadikan komandan hidupnya.
Didalam QS. Al Mu’minun [23] ayat 17 Allah dengan firman-Nya menyebut tujuh jalan:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعَ طَرَائِقَ وَمَا كُنَّا عَنِ الْخَلْقِ غَافِلِينَ
“Walaqad khalaqna fauqakum sab’a tharaaiqa wa maa kunna ‘ani al-khalqi ghaafilin”. Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami.
Setelah ditunjukkan dengan metode tunjuk mengenai Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Allah Yang Al-Ghayb dengan cara dibisikkan lewat telinga kiri apabila telinga kirinya sehat dan dijelaskan agar sama sekali tidak ragu-ragu bahwa itulah yang dimaksud firman Allah : “Al Haqqu min Rabbika falaa takuunanna mina al mumtariina” (QS. Al Baqarah [2]: 147).
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Al-Haqq (kebenaran mutlak-Nya Allah Swt = Ada dan Wujud-Nya Dzat Al-Ghayb yang dibisikkan oleh yang berhak dan sah menunjuki) itu dari Tuhanmu, maka sekali-kali janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu (QS. Al Baqarah [2]: 147).
Kemudian dijanji
Janji pertama: Sama sekali tidak boleh melakukan dosa-dosa besar, yaitu zina, membunuh orang tanpa dosa termasuk memfitnah, nenung nyantet dan sebangsanya. Minum segala yang memabukkan. Main, judi, maling, korupsi, dan tidak boleh melakukan dosa kecil terus menerus, apabila terlanjur segera minta ampun kepada Allah.
Janji kedua: Melaksanakan perintah Allah : Wa’bud Rabbaka hatta ya’tiyaka al-yaqin. Dan sembahlah Tuhanmu sehingga Rabb-mu itu hadir (terasa hadir) dalam rasa hatimu. (Menyembahnya tahu kepada Yang disembah. Yaitu Isi-Nya Huw, kemudian selalu diingat-ingat dalam rasa hati).
Janji ketiga: Melaksanakan perintah Nabi Muhammad SAW : Muutuu qabla antamuutu. Karena telah memperoleh izin memperoleh ilmu yang menunjukkan pintunya mati, maka gunakanlah untuk belajar mati sebelum mati, supaya dapat mati selamat sebagaimana wafatnya para kekasih Allah.
Dan belajar mati itu caranya adalah melaksanakan janji yang keempat: Yaitu melaksanakan perintahnya Guru Wasithah mengumpulkan syare’at dan hakekat.
Asal kata syare’at adalah syara’a. Mempola jalan menuju kepada sumber. Sumber segala adalah Ada dan Wujud Diri-Nya Ilaahi Dzat Yang Al-Ghayb Yang Mutlak WujudNya. Karena itulah syare’at itu adalah perintahnya Guru Wasithah yang dapat dilihat mata kepala dan dikerjakan oleh tingkah lakunya jasad. Yang mahdhah dengan sendirinya seperti kewajiban shalat, zakat, puasa dan sebagainya, tetapi juga bagaimana agar akhlaqnya, pekertinya, moralitasnya, sikapnya, wataknya, tingkah laku dan perbuatannya mencerminkan sosok hamba yang rabbani, dibarengi dengan hakekat. Yaitu hakekat-Nya Yang Wujud dan Yang Ada; hekekatnya Yang Bisa Yang Kuat, Yang empunya segala, Yang eksis, Yang obah osik, Yang mencipta jagad dengan segala isinya, Yang membuat manfaat dan mudharat, tidak lain adalah Isi-Nya Huw (yang tidak boleh diucapkan dengan lisan tetapi diingat-ingat di dalam rasa hati).
Mengumpulkan syare’at dan hakekat dari petunjuknya Guru Wasithah inilah yang dikehendaki Allah “Shirathal mustaqim”. Dzaahiruhu syare’at wa baathinuhu hakekat, sebagaimana maksud khotbah Junjungan Nabi Muhammad SAW yang disaksikan 125.000 orang lebih: “Ana shirathullahi al-mustaqimu alladzi amarakum bi itbaa’ihi. Tsumma Ali min ba’di. Tsumma wuldi min sulbihi aimmah ila al-yaumi al-qiyamah, yahduuna ila Al-Haqq wa bihi ya’diluuna.
أَنَا صِرَاطُ اللهِ الْمُسْتَقِيْمِ الَّذِى أَمَرَكُمْ بِإِتْبَاعِهِ ، ثُمَّ عَلِيٌّ مِنْ بَعْدِيْ ، ثُمَّ وُلْدِيْ مِنْ صُلْبِهِ أَئِمَّةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ، يَهْدُوْنَ إِلَى الْحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُوْنَ
Arti dan maksudnya: “Aku inilah shirathal mustaqim yang kamu semua diwajibkan untuk mengikuti. Sesudah aku, Ali. Sesudah Ali putra-putraku yang keluar dari sulbinya Ali. Mereka semua adalah imam yang secara gilir gumanti tidak akan pernah terputus sama sekali sampai hari kiyamat yang mempunyai tugas dan kewajiban secara hak dan sah menunjukkan Al-Haqq dan dengan Al-Haqq itu mereka melaksanakan keadilan.
Itba’ (mengikuti) kepada Junjungan Nabi Muhammad SAW dan para wakilnya yang secara hak dan sah ditugasi Allah mengajari ilmu dan laku untuk bertemu dengan-Nya, dengan cara berjalan di atas shirathal mustaqim seperti itulah yang dimaksud dengan Nubuwwah.
Sedang yang dimaksud Ilmu Nubuwwah adalah ilmu yang menunjukkan Nur Muhammad sebagai titik temunya fitrah jati diri manusia dengan Fitrah-Nya Allah Swt di dalam rasa.
Kemudian yang dimaksud dengan Al-Hikmah sebagaimana lazim disebut orang yang ‘arif dan bijaksana adalah orang yang secara benar telah ‘arifun billah maka akan dijadikan oleh Allah orang yang bijaksana.
‘Arif adalah weruh (mengetahui) Ada dan Wujud Diri-Nya Dzat Tuhan Yang Al-Ghayb dari yang hak dan sah menunjuki (dengan metode tunjuk), yang disimpan Allah di dalam kalimah nafi dan kalimah itsbat : Laa ilaaha illallah.
Maksud kalimah nafi: Laa ilaaha, memberi petunjuk bahwa apa saja yang maujud (termasuk wujudnya jiwaraga) serta segala hal yang biasa di aku manusia sebagai miliknya, jagad raya dengan segala isinya, semua itu sebenarnya nafi. Sebenarnya tidak ada, ‘adam. Karena itu diperjuangkan untuk dinafikan dengan cara sabar dan tawakkal untuk dapat mencapai tingkat dan martabat rasa. Maksudnya bagaimana dapat sebaik-baiknya berkorban dan berbakti untuk mendidik diri sendiri dan orang lain dilakukan dengan ikhlas yang seikhlas-ikhlasnya sehingga saking ikhlasnya karena Allah, dengan Allah, di jalan Allah menuju Allah, tidak merasa bahwa dirinya berkorban dan berbakti. Sebab rasa hatinya sibuk dilatih supaya selalu merasakan indahnya mengingat-ingat dan menghayati yang di-itsbatkan (Yang ditetapkan di dalam rasa hati mengenai Ada dan Wujud-Nya Ilaahi yaitu Isi-Nya Huw).
Sebagaimana petunjuk dalam sebuah kitab Mathlabus-Saalik: “Walau anna assamaawaati as sab’i wa al ardhiina as sab’i fi kafatin wa Laailaaha illallah bi antahdhura al-makna fi kafatin larajahat biha Laailaaha illallah bi antahdhura al-makna”.
لَوْ أَنَّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعَ وَالأَرَضِينَ السَّبْعَ فِي كَفَّةٍ ، وَلا إِلَهَ إِلا اللَّهُ بِأَنْ تَحْضُرَ الْمَعْنَى فِي كَفَّةٍ لَرَجَهَتْ بِهَا لآ إِلَهَ إِِلاَّ اللَّهُ بِأَنْ تَحْضُرَ الْمَعْنَى
Seandainya bisa ditimbang, meskipun langit tujuh dan bumi tujuh dengan segala isinya diletakkan dalam timbangan yang sebelah dan kalimah Laailaaha illallah dengan kamu dapat menghadirkan maknanya ditempatkan dalam teraju (timbangan) yang sebelahnya, pasti lebih berat kalimah Laailaaha illallah dengan kamu dapat menghadirkan maknanya.
Karena itulah maka orang-orang yang telah secara hak dan sah memperoleh izin menerima Ilmu Syathariyah, kita himpun di dalam “Lembaga Ketuhanan” dengan nama “Gerakan Jamaah Lil-Muqarrabin”.
Adalah sebuah keyakinan dan kesadaran tertinggi yang diberikan Allah Swt supaya selalu berusaha menggerakkan hati nurani, roh dan rasanya untuk selalu mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri-Nya Ilaahi Dzat Al-Ghayb Yang Mutlak Wujud-Nya (Isi-Nya Huw) dengan “tapa ing sak tengahing praja dan nyingkrih ana ing sak tengahing kalangan”.
Di tengah-tengah praja (lingkungannya, masyarakatnya, bangsanya), sangat berkepedulian bagi semua hal yang bertujuan membangun kebagusan, tetapi hatinya “tapa”. Hatinya dilatih supaya tidak til kumantil (tidak lengket) pada wujudnya praja apalagi terhadap gebyaring donya, akan tetapi dilatih til kumantil (dilatih kelet) dengan Diri-Nya Ilahi. Lengket dengan dzikir.
Menyendiri di tengah-tengah kalangan maksudnya bagaimana di tengah kalangan masing-masing berupaya sebaik-baiknya dapat profesional di bidangnya. Bakatnya, keahliannya, daya pikirnya dikembangkan sedemikian rupa untuk menggarap dan mengelola garapan dunia yang dicipta Allah tidak sia-sia dan tidak batal ini, tetapi “tekadnya menyendiri”. Sama sekali tidak ada tekad (niat) untuk mengumpulkan harta kekayaan, untuk bersenang-senang, untuk ngumbar hawa nafsu dan syahwat, berlebih-lebihan, jor-joran, sama sekali tidak. Tetapi demi untuk Subhaanaka. Demi untuk memproses pensucian diri (memerangi nafsunya sendiri hingga patuh dan tunduk dijadikan tunggangan cita-citanya hati nurani, roh dan rasa menuju kepada Allah sehingga sampai).
Itulah sosok hamba rabbani yang siap dengan ilmu dan laku untuk didekatkan (oleh Allah) kepada-Nya sehingga selamat dengan rasa bahagia bertemu dengan-Nya.
Semoga Allah selalu bersama kita. Amin.