Home / Ensiklopedia / Analisis / Dunia Metalurgi Dalam Sejarah Islam

Dunia Metalurgi Dalam Sejarah Islam

Dunia metalurgi modern tampaknya patut berterima kasih kepada ilmuwan Muslim di era kekhalifahan. Betapa tidak. Para ilmuwan Muslim di zaman keemasan telah menemukan teknik metalurgi. Dalam beragam manuskrip, para saintis Islam telah menuliskan beragam informasi mengenai beraneka logam.

Bahkan, risalah-risalah alkemi dan kimia yang ditulis saintis Muslim pada abad pertengahan telah menjelaskan proses pengolahan logam non-besi. Saat itu, sudah terdapat perbedaan antara pekerjaan ahli metalurgi dengan ahli kimia. Manuskrip dan berbagai rujukan berbahasa Arab juga menggambarkan aktivitas ilmuwan Muslim di laboratorium dan tungku metalurgi.

Metalurgi berarti proses pengolahan bahan-bahan alam menjadi logam unsur yang selanjutnya menjadi logam dengan sifat-sifat yang diinginkan. Sedangkan bahan dan organik alam yang ditemukan di kerak bumi disebut mineral, contohnya bauksit dan aluminosilikat. Mineral yang dapat dijadikan sumber untuk memproduksi bahan secara komersial disebut bijih.

Ahmad Y. Al-Hassan dan Donald R. Hill dalam bukunya bertajuk Islamic Technology: An Illustrated History menjelaskan berbagai jenis logam non-besi yang merupakan hasil metalurgi yang telah dicapai pada era keemasan Islam. Logam tersebut adalah emas, perak, timah hitam, timah putih, seng, antimon, arsenik, tembaga, perunggu, kuningan dan kharisini.

Emas

Menurut al-Biruni (973 M-1048 M), emas alam pada zaman kejayaan Islam diperoleh dari tambang-tambang emas, ditemukan dalam bentuk campuran, karena itulah perlu dimurnikan dengan cara peleburan atau teknik-teknik lain. Al-Biruni juga memaparkan tentang metode amalgamasi (proses penyelaputan partikel emas oleh air raksa dan membentuk amalgam (Au – Hg). Amalgamasi ini dilakukan di tambang-tambang dengan alam komersial.

“Setelah menghancurkan atau menggiling bijih emas, bijih dipisahkan dari batunya dan emas serta air raksa dicampurkan kemudian diperas dalam selembar kulit hingga air raksanya menetes melalui pori-pori kulit. Sisa-sisa air raksa yang tertinggal dihilangkan dengan pembakaran,” jelas al-Biruni seperti dikutip al-Hassan dan Hill.

Al-Biruni juga menjelaskan cara penambangan emas di kedalaman air Sungai Sind. Ia mengatakan, “Pada sumber-sumber itu mereka menggali lubang tambang kecil di tempat-tempat tertentu di bawah air. Mereka menggali lubang tambang kecil di tempat-tempat tertentu di bawah air. Mereka mengisi lubang dengan air raksa dan mendiamkannya sebentar. Kemudian mereka kembali setelah air raksa berubah menjadi emas. Hal ini karena pada awalnya air mengalir deras dan menghanyutkan partikel-partikel di permukaan air raksa yang dapat menyerap emas, sementara butri-butir pasir lain dibiarkan ikut hanyut,” katanya.

Secara alami, emas seringkali bercampur dengan perak, karena itu para ilmuwan Muslim telah berhasil melakukan proses purifikasi (pemurnian) kedua, yakni sementasi. Ini dilakukan untuk memisahkan perak tersebut dan proses ini disebut tabkh atau tas’id.

Menurut al-Hamadani, untuk melakukan tabkh ini, lembaran tipis emas harus diselang-selingi dengan senyawa sementasi yang disebut dawa’. “Senyawa ini terdiri atas campuran bitriol (asam sulfat), garam, dan pasir bata. Kesemuanya kemudian dipanaskan. Campuran itu mengandung uap asam sulfat dan asam klorida. Uap ini tidak merusak emas tetapi mengubah permukaan perak dan tembaga menjadi senyawa khlorida yang dapat dikelupas,” jelas al-Hamadani.

Untuk menghasilkan emas yang sangat murni, maka sementasi dapat dilakukan lebih dari satu kali. Sejumlah sejarahwan hingga saat ini berpendapat bahwa proses ini untuk pertamakalinya diuraikan oleh Theophilius (1150-1200). Namun kenyataannya al-Hamadanilah yang menguraikan cara sementasi ini. Al-Hassan dan Hill menyatakan bahwa al-Hamadani telah melakukannya dua abad sebelum Theophilius.

Selanjutnya proses ini merupakan metode standar untuk memurnikan emas pada abad ke-16 M di Eropa, enam abad setelah tulisan Al-Hamadani. Sedangkan uraian tentang penggunaan aqua regia pertama kali ditulis Jabir Ibnu Hayan (721 M-815 M), namun awal penggunaannya dalam industri masih belum diketahui. Kemurnian emas diuji dengan berbagai cara, antara lain dengan batu uji (al-mihakk), pengukuran berat jenis, dan pencatatan laju pembekuan emas setelah dikeluarkan dari tungku.

Perak dan Timah Hitam

Menurut al-Hassan dan Hill, perak alam tidak terdapat dalam timbunan aluvial atau pada pasir-pasir dan kerikil sungai. Tapi ditemukan di daerah-daerah pegunungan, tersimpan dalam celah-celah batu. Pada umumnya perak alam tidak terlalu banyak, dan sumber utamanya diperoleh dari galena (timah sulfida), yang biasanya bercampur dengan sedikit perak.

Menurut al-Hassan dan Hill, bijih perak dan bijih timah hitam, setelah ditambang, dihancurkan dan dibakar pada tungku khusus yang dilengkapi dengan dua pipa tiup, dan timah mengalir ke sebuah tangki melalui lubang di dasar tungku.

“Jika timah dalam bijih perak hanya sedikit, maka timah ditambahkan secara artifisial, karena timah memiliki afinitas terhadap perak dan jika keduanya berpadu, timah beraksi sebagai pelarut dan menyerap perak dari persenyawaannya dengan logam dasar,” jelasnya.

Timah, lanjut al-Hassan dan Hill, kemudian diletakkan pada sebuah cetakan, ditaruh kembali di atas tungku dan direduksi menjadi  litharge. Perak batangan yang terbentuk kemudian dikeluarkan. Batangan ini biasanya banyak mengandung timah dan dipisahkan dengan proses kupel.Kupel akan menghasilkan perak murni jika dibuat dari bubuk tulang yang dibakar dapat menyerap timah dan bahan-bahan campuran lain.

Metode lain untuk menghasilkan perak murni, menurut al-Hassan dan Hill, bisa menggunakan garam dan bubuk bata. Jumlah perak yang dapat dihasilkan dari bijih timah hitam bervariasi di setiap pertambangan. “Sebuah laporan mengatakan bahwa satu  mann litharge dari bijih timah hitam dapat mengahasilkan setengah daniq perak (kira-kira satu gram perak dari setiap 3120 gram litharge).”

Untuk menemukan sumber-sumber perak yang beraneka ragam ini, para ahli kimia dan pelebur logam Muslim melakukan penerapan berbagai teknik. Karena itulah mereka menjadi terampil dalam pembakaran, peleburan, oksidasi, pencairan, pembilasan, proses kupel, dan amalgamasi logam.

Timah Putih, Seng, Antimon dan Arsenik

Timah putih (rashash qal’i, qasdir) merupakan satu dari tujuh logam yang dapat ditempa. Logam tersebut dibawa ke negeri-negeri Islam klasik dari semenanjung Malaysia, dan ada pula yang dari Spanyol dan Barat. Logam berikutnya adalah seng, para ahli metalurgi dan ahli kimia Islam dulu, tidak mengenal seng sebagai logam yang murni. Pasalnya, pada masa itu, mereka menggunakannya secara luas dalam bentuk tutia (seng oksida), yang digolongkan sebagai sejenis “batu” (ahjar). “Barulah kemudian mereka mengetahui seng (ruh al-tutiya) sebagai sejenis logam tertentu,” papar al-Hassan dan Hill.

Mengenal Tembaga dan Paduan Logamnya

Tembaga biasanya diperoleh dari bijih senyawa sulfida,  karena jarang terdapat dalam bentuk oksida maupun karbonat. Padahal jenis yang terakhir ini memerlukan pengolahan yang sederhana yaitu hanya butuh pemanasan dengan batubara, sementara sulfida (zajat) membutuhkan pembakaran, peleburan dngan bahan peledak khusus, dan oksidasi parsial.

Tetapi di Spanyol muncul penemuan menarik bahwa bijih-bijih sulfida yang mengalami kontak dengan gelembung udara yang terdapat dalam air dapat teroksidasi sehingga membentuk sulfat yang dapat larut. “Orang-orang Moor kemudian menemukan bahwa jika air yang mengandung tembaga sulfat dialirkan pada besi, maka akan diperoleh endapan tenaga murni dan besi akan larut,” papar al-Hassan dan Hill.

Di Spanyol, besi berlimpah ruah dan amat murah. Penemuan tembaga sulfat ini memberi metode yang efisien untuk mendapatkan tembaga dari bijih sulfida, sehingga penambangan tembaga secara langsung menjadi kurang diperlukan.

Logam Paduan Tembaga

Logam panduan tembaga pertama adalah perunggu (Safr Isfidruf). Perunggu merupakan panduan dari tembaga dan timah. Perunggu digunakan untuk peralatan dapur, alat-alat masak, dan barang-barang kerajinan.

Logam kedua, kuningan (shabah, birinj), yakni paduan tembaga dan seng. Seng merupakan faktor tambahan untuk menghasilkan logam yang lebih kuat, lebih keras, dan lebih sukar ditempa ketimbang hanya tembaga murni. Al-Hassan dan Hill, mengatakan, berbagai jenis kuningan diperoleh dengan memvariasikan kandungan seng.

“Tembaga depan 20 persen seng menghasilkan kuningan yang warnanya hampir seperti emas. Sebelum seng dikenal sebagai logam, kuningan dibuat memanaskan tembaga dalam campuran bijih seng giling dan batubara. Hasilnya, sejumlah seng yang terbentuk di sekeliling tembaga melarut secara kimiawi, dikenal sebagai sementasi,” jelasnya.

Logam berikutnya adalah kuningan. Dalam kitab ‘Ayn al-Akhbari (Sumber Informasi), disebutkan terdapat tiga tingkat mutu kuningan menurut jumlah kandungan sengnya. Pertama, kuningan yang lunak pada keadaan dingin. Kedua, kuningan yang lunak (dapat dibentuk) ketika dipanaskan. Ketiga, kuningan yang sama sekali tidak dibentuk (tidak lentur), tetapi dapat dituang.

Sedangkan paduan logam yang lebih murah dapat dibuat dari tembaga dan tanah hitam adalah sejenis perunggu. Logam ini digunakan untuk membuat berbagai peralatan. Al-Biruni menyebutnya sebagai bitruy, namun pengarang lain menamakannya ruy, dan ada pula yang menyebutnya shabah mufragh.

Logam berikut adalah Kharsini, yakni sejenis logam atau paduan yang lain, dan termasuk dalam daftar tujuh logam dalam alkemi di masa Islam dan diperkirakan berasal dari Cina. Semua penulis Muslim belakangan sepakat bahwa saat ini kharsini sebenarnya adalah seng, meski ada pula yang meyakini bahwa bahan ini merupakan paduan tembaga dengan nikel.

Satu lagi logam yang tak jelas komposisinya, Taliqun. Pada era al-Biruni pun sifat-sifat Taliqun ini masih misteri, meski pendapat umum kini mengatakan Taliqun merupakan sejenis paduan tembaga juga.

Source: Republika.co.id

About admin

Check Also

Minuman yang Tak Boleh Dikonsumsi Bersama Durian

“Di balik nikmatnya buah durian, terdapat ‘bahaya’ mengintai; yakni minuman tertentu yang dikonsumsi bersamanya akan ...