Home / Relaksasi / Renungan / Dosa dan “Sebab – Akibat”

Dosa dan “Sebab – Akibat”

Dalam sudut pandang sebab-akibat, dosa yang digambarkan sebagai bentuk kemahabijakan Allah Swt. dapat dirunut sebagai berikut :

Kalaupun Allah Swt. menakdirkan sesuatu yang Dia benci dan Dia murkai, maka hal itu tidak lain adalah murni kebijakan-Nya. Akibat kebijakan-Nya itu, maka akan muncul sesuatu yang lebih Dia suka daripada kemaksiatan itu tidak ditakdirkan kepada hamba-Nya.

Dengan kata lain, Allah Swt. lebih memilih sesuatu yang Dia sukai, yang seandainya maksiat itu tidak terjadi niscaya sesuatu yang tidak Dia sukai itu tak mungkin terjadi. Artinya, keberadaan hamba yang sangat dicintai lebih Dia sukai daripada Dia memurkai dan membenci hamba-Nya.

Benar, antara maksiat dan tidak maksiat adalah sama, tetapi keberhasilan seorang kekasih yang lebih Dia sukai itu tidak akan diraih tanpa adanya sesuatu yang dibenci dan dimurkai. Jika logika tersebut dibalik, maka kehilangan apa yang Dia sukai itu lebih dibenci daripada kehilangan apa yang Dia murkai.

Dengan demikian, kesempurnaan dari sesuatu yang lebih Dia sukai itu berkonsekuensi pada dua perkara yang Dia sukai, sementara di sisi lain perkara yang lebih disukainya itu tidak berarti harus mendisfungsikan hal yang dibenci.

Dengan demikian, benar Allah Swt. benci terhadap orang yang berbuat maksiat, tetapi Dia akan lebih suka apabila orang yang maksiat itu taubat dan kembali kepada-Nya. Sebab, andaikata Allah Swt. mencintai orang-orang yang bertaubat, maka hal ini tidak lepas dari adanya suatu maksiat. Jadi, seandainya ada taubat tanpa ada maksiat maka hal ini sama saja dengan ada sebab tanpa ada musababnya yang pada akhirnya tidak sesuai dengan hikmah Allah serta kesempurnaan rububiyyah-Nya.

Dalam hal ini cukup satu contoh saja, yaitu andaikata bapak manusia, Adam a.s., tidak berbuat maksiat kepada Allah Swt. –melanggar larangan memakan buah dari sebatang pohon, niscaya kecintaan Allah Swt. yang amat agung itu tidak pernah ada. Bukankah kecintaan Allah Swt. kepada makhluk-Nya itu terpancar melalui ujian yang dibebankan kepada hamba-Nya, yang oleh karenanya diutuslah para rasul untuk menyampaikan risalah dan kitab-Nya, mukjizat diturunkan dengan berbagai keragamannya, serta para kekasih-Nya yang mendapatkan kemuliaan sedangkan musuh-musuh-Nya yang dihinakan?

Ini tidak lain merupakan bentuk keadilan dan kemuliaan-Nya, kegagahan dan kekuasaan-Nya untuk membalas kedurhakaan hamba-Nya, maaf dan pengampunan-Nya, kelembutan dan kasih sayang-Nya, untuk memperlihatkan siapa saja di antara hamba-Nya itu yang menyembah dan mencintai-Nya, dan siapa saja di antara mereka yang getol menggapai ridha-Nya di tengah para musuh-Nya di negeri yang penuh cobaan dan musibah.

Andai Adam a.s. tidak ditakdirkan memakan buah dari pohon tersebut dan dia beserta anak cucunya tetap tinggal di surga, niscaya kecintaan-kecintaan itu tidak pernah ada. Tentu kehendak hati iblis juga tidak akan muncul ke permukaan, yang sebelumnya hanya diketahui Allah Swt. sedangkan para malaikat tidak mengetahuinya. Andai bukan karena peristiwa itu, makhluk yang jahat dan yang baik juga tidak akan pernah muncul; tidak ada pemuliaan dan pahala, penghinaan dan azab, negeri kebahagiaan dan negeri kesengsaraan. Sudah berapa banyak para kekasih Allah itu dapat mengalahkan para musuh-Nya, dan sebaliknya juga sudah berapa banyak musuh-musuh itu dapat mengalahkan para kekasih-Nya? Kemudian mereka dihimpun dalam satu negeri sehingga maisng-masing menimpakan bencana kepada yang lain. Bukankah dalam semua ini terdapat kemahabijakan Allah Swt.?

Dari situlah para kekasih Allah itu dipilih, yang bahkan para penduduk langit dan bumi mengelu-elukan mereka. Dari situlah sang hamba tunduk dan merasa hina di hadapan-Nya. Hatinya hancur berkeping-keping di pangkuan Tuhannya. Mereka sadar dan memohon kepada-Nya agar jangan sampai mereka dijadikan musuh-Nya, sebab ketika mereka menjadi musuh-Nya, niscaya mereka akan menyaksikan penelantaran Allah karena ulah mereka, Dia akan berpaling dari dirinya, Dia murka, benci, dan niscaya Dia akan menyiapkan azab yang pedih bagi mereka. Semua itu terjadi atas kehendak dan kekuasaan-Nya.

Oleh karena para kekasih-Nya takut dan butuh kepada-Nya, maka perasaan ini akan menghasilkan ketundukan yang dalam kepada-Nya. Dia akan tenggelam dalam rasa takut akan azab-Nya, hatinya hancur berkeping-keping di pangkuan-Nya. Kalaupun mereka mengingat apa yang terjadi antara iblis dan malaikat atau kisah Harut-Marut**, maka mereka meletakkan kepala di pangkuan Rabb. Mereka sadar bahwa Dia-lah Tuhan Yang Maha Agung, dia akan berlindung di balik kebesaran-Nya, takut akan azab-Nya, dan hatinya hancur akan kehebatan kekuasaan-Nya.

Dari sini, mereka sadar bahwa mereka sangat membutuhkan perlindungan dan rahmat-Nya. Dari sini, mereka sadar bahwa Tuhan mereka telah memberikan kebaikan yang berlimpah, karunia-Nya yang banyak, dan bahwa semuanya itu hanya dikhususkan kepada mereka.

Demikianlah perihal orang-orang yang bertakwa, apabila mereka menyaksikan kemurkaan Allah dan azab-Nya yang diturunkan kepada musuh-musuh-Nya dan menelantarkan mereka, mereka semakin menghiba, hatinya semakin hancur, dan semakin membutuhkan-Nya.

Akhirnya, hanya kepada-Nya mereka meminta tolong dan menjadikan-Nya tempat kembali, hanya kepada-Nya mereka berserah diri, mereka hanya mengharap kebaikan dari-Nya dan takut akan azab hanya karena-Nya. Mereka sadar bahwa tidak ada tempat berlindung kecuali hanya kepada-Nya, tiada lagi yang membentengi dari azab-Nya melainkan Dia, tiada lagi yang membebaskannya dari murka-Nya melainkan ridha-Nya, dan hanya kepunyaan Allah segala anugerah awal dan akhirnya.

Ini hanyalah setetes yang terpercik di tengah lautan hikmah yang melimpah, sementara orang yang bermata hati akan melihat dengan kecerdasan kalbunya di balik apa yang kami utarakan ini. Dia akan melihat berbagai keajaiban yang terdapat dalam hikmah-Nya, yang ketika itu ungkapan, bahkan penyifatan pun, tak dapat melukiskannya.

Sementara itu, dampak yang dirasakan seorang hamba dari adanya pengalaman dan penyaksian maksiat adalah seberapa siap potensi kekuatan hatinya untuk menyerap hikmah Allah. Tegasnya, penyerapan pancaran hikmah dari adanya perbuatan dosa erat kaitannya dengan sejauh mana kesempurnaan pengetahuannya kepada Allah; sifat-sifat-Nya dan hak ubudiah dan rububiyyah-Nya yang telah dia tunaikan. Jelasnya, setiap mukmin memiliki kadar dari maksiat serta maqam yang tak dapat dia terjang atau dia lewatkan.

Semoga Allah Swt. memberikan pertolongan dan taufik-Nya kepada kita semua[]

~ Dikutip dari : “Ensiklopedia Taubat”_”Dari Dosa Menuju Surga” (diterjemahkan dari Kitab “At-Taubah Wa al-Inabah”; Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah); hlm 350-53; Keira Publishing; Desember 2014

_____________________

** sebuah riwayat menyatakan bahwa Harut dan Marut ini adalah dua malaikat yang diutus Allah Swt. untuk mengajarkan ilmu sihir. Tujuan dari penurunan dua malaikat ini tidak lain agar mereka mengajarkan kepada manusia beda antara sihir dan mukjizat, yang memang pada masa itu ilmu sihir sedang mencapai puncak pencapaiannya yang tertinggi sehingga banyak orang dibuat ragu dan tidak mampu membedakan lagi mana yang sihir dan mana yang berupa mukjizat sebagai tanda kenabian. Menurut Al-Qadhi ‘Iyadh, tidak ada satu pun hadits dari Rasulullah Saw.–baik yang shahih ataupun dha’if–yang menunjukkan adanya kisah Harut dan Marut. Sebagian pakar hadits menyatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi bahwa Harut dan Marut disiksa karena kesalahannya dengan sendirinya matan riwayat itu salah. Namun demikian, bukan berarti kesalahan matan itu dengan sendirinya menggugurkan keabsahan periwayatan. Untuk lebih jelasnya, lihat Ruh Al-Ma’ani (jil.1, hlm. 240)[]

Penulis: Hening Darwis

 

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...