Sirte, 28 Maret 2011
Lidia turun dari mobil dengan tubuh lusuh, rambut acak-acakan dan mata merah karena tidak tidur beberapa malam. Setelah melakukan perjalanan jauh dari Tripoli akhirnya sampai juga di Sirte, kampung halaman tempat Muamar Gaddafi menghabiskan hari-harinya saat kecil dulu, tak menyangka Gaddafi kecil yang dulunya lugu dan berlari dengan senyuman di tanah itu kini sedang mengalami gencatan dalam loncatan kehidupan yang mengejutkan.
Lidia bersandar di dinding kawat yang membentang di sekitar jalan, memisahkan dirinya dengan puluhan orang yang berlalu-lalang, mengaca matanya untuk memandang kearah orang-orang yang terlihat berwajah tanpa harapan. Perempuan, anak-anak dan para laki-laki yang selalu siaga dan lebih sering menghabiskan waktu mereka untuk memandangi langit cerah yang sewaktu-waktu bisa saja berubah menjadi ledakan mengerikan yang akan mencabut nyawa mereka dalam hitungan detik.
Seorang perempuan muda berlari keluar melewati pintu kawat yang terbuka lebar, menuju kearah mobil, mencari-cari seseorang. Lidia memperhatikan wajah Perempuan itu lalau bersaru dengan nada tanda tanya. “Jamila?.”
Perempuan tadi berpaling dengan mata yang terlihat cemas.
Tripoli, 27 Maret 2011
Pukul 05.45 waktu setempat
Suara tembakan menggema di langit Tripoli. Suara itu berasal dari senapan mesin dengan caliber berat yang tidak bisa dideteksi dari mana arah itu dimulai. Bersamaan setelah itu bunyi sirene ambulan menghiasi kota, bernyanyi seirama dengan teriakan orang-orang pendukung Gaddafi. Beberapa mobil dan kedaraan lainnya melaju dalam kecepatan tinggi melalui bangunan-bangunan di kota.
Muhamed dan Aisyah bergegas mengemasi barang-barang mereka, memasukkannya ke dalam mobil, raut wajah mereka yang penuh gelisah menyiratkan tanda bahaya akan situasi yang semakin kacau di kota itu.
“Ayah dan ibu akan menemuimu di Sirte. Bagaimana keadaanmu nak?.”
“Baik Ayah, semoga perjalanan menuju ke sini mudah dan cepat.”
Pembicaraan itu terputus dengan tiba-tiba, Muhamed menyalakan mesin mobil dan mulai bergerak pelan menyusuri jalan kota Tripoli yang dihiasi oleh lampu-lampu jalan penuh rongga gelap.
Zawiyah, 27 Maret 2011
“Kau sudah menulis berita yang diminta itu?,” tanya Sufi pada Lidia yang duduk di sebelahnya.
“Sedikit lagi akan aku selesaikan. Kapan kau akan mengirimnya?,” tanya Lidia sambil melirik kearah Irfan yang duduk di samping sopir yang terus saja berbicara tentang perang, ledakan dan kematian.
Saat mobil berhenti sejenak percakapan dengan beberapa orang warga sipil membantu Linda untuk terus melengkapi berita yang akan segera dikirimkannya lewati Email beberapa jam lagi. Mereka membicarakan tentang tewasnya kurang lebih 60 orang warga sipil di pusat kota hanya dalam waktu dua hari pertempuran, sungguh sebuah ironi yang sangat memperihatinkan.
Efek dari peperangan akan selalu mengakibatkan penderitaan terhadap orang-orang yang tidak berdaya yang seolah menjadi pion-pion tidak berharga yang bisa di musnahkan dengan mudahnya. Tak ada rasa kemanusiaan, tak ada rasa kasian dan perhatian terhadap warga sipil yang tidak berdosa.
Ada orang bijak bilang untuk menghasilkan sesuautu yang besar harus ada banyak pengorbanan yang harus dilakukan. Tapi bagaimana jika yang dikorbankan itu adalah nyawa manusia?, maka kata-kata bijak itu terasa hina tanpa rasa kemanusiaan.
Tak lama kemudian setelah mobil kembali lagi melaju dengan kecepatan yang santai, sebuah pesawat melesat cepat melewati langit biru yang cerah, memunculkan rasa gelisah yang berlebih di hati empat orang yang ada di dalam mobil itu. Jantung berdetak semakin kencang.
Beberapa menit kemudian pesawat yang sama melesat lagi dengan arah yang berlawanan, meluncur maju dengan sangat cepat, lalu berbelok mengitari langit luas tanpa rintangan.
Melihat pergerakan yang semakin membahayakan tadi, sopir mobil menghentikan mobil, berteriak meyuruh para penupang untuk keluar dan berlindung di mana saja mereka bisa berlindung. Ketika mobil berhenti, pintu mobil membuka, serempak langkah-langkah yang menapak dalam detik-detik pergerakan melanju dengan nafas tak teratur.
Ketika pesawat yang sama melintas lagi di atas kepala sebuah roket meluncur dengan hembusan api di ujung, membelah lorong udara panas, menuju kearah mobil. Dalam pergerakan yang melambat, ketika ujung roket menyentuh atap mobil, percikan api itu menimbulkan gesekan panas yang menjadi katalisator ledakan dasyat, melemparkan segala yang ada di sekitarnya termasuk Sopir, Lidia, Sufi dan Irfan. Tanah kasar menyambut wajah mereka berempat.
Zawiyah, 4 jam kemudian
Lidia duduk di samping kiri seorang laki-laki berbadan atlatis, tubuhnya bergetar, matanya terus saja mengalirkan air mata. Muhamed yang duduk menyetir di depan beberapa kali melirik kebelakang kearah Lidia lewat kaca spion yang diarahkannya dengan senghaja.
Aisyah yang duduk samping kanan Lidia, memeluk Lidia dengan penuh sayang, mencoba menenangkan diri Lidia yang baru saja kehilangan dua orang rekan kerjanya serta satu sopir yang akan mengantarkan mereka ke Sirte.
“Tenanglah, semua sudah terjadi, Tuhan selalu memiliki rencana untuk kehidupan, antara nasib dan takdir itu adalah ruang yang sangat dekat bahkan bersebelahan, jika kita sudah berusaha untuk menjadi lebih baik tapi takdir memisahkan kita dengan orang-orang yang kita sayangi, maka kita tahu Tuhan sudah menjaga mereka dengan sangat baik dan penuh kasih sayang,” ucap Aisyah setengah berbisik pada Lidia.
“Perjalanan kita masih panjang, sebaiknya kau lebih memikirkan tenagamu untuk bisa terus bertahan,” ucap lelaki yang duduk di sebelah Lidia.
Rem yang membuat mobil berhenti dengan tiba-tiba, menimbulkan tanda tanya. “Ada apa gerangan?.”Di depan dari kejauhan terlihat beberapa orang di atas sebuah mobil dengan ujung-ujung senjata api menjujung tinggi ke angkasa, berteriak penuh sorak.
Langkah-langkah berhenti di balik bangunan yang akan menyembunyikan mereka, dari orang-orang tadi. Rasa gelisah menghantui mereka bertiga.
“Lidia, jika kau bisa sampai ke Sirte tolong temui anak kami yang bernama Jamila, beri tahu dia kami baik-baik saja, dan akan segera menemuinya,” ucap Aisyah dengan gugup sambil menyelipkan selembar foto di tangan Lidia
“Kita akan pergi bersama-sama,” ucap Lidia menyakinkan.
Ledakan senjata terdengar membelah angkasa, bersamaan dengan teriakan penuh sakit dan rintih yang berakhir dengan kesunyian. Langkah-langkah itu terdengar mendekat.
Tangan Lidia ditarik untuk berlari melewati beberapa reruntuhan bangunan, lelaki tampan yang bernapas tidak setabil itu bersembunyi bersama Lidia di dalam sebuah drum besar yang kosong, tanpa berani sedikit pun untuk bicara.
Aisyah berlari kearah yang berlawanan, mencari-cari suaminya, dan ketika dia bisa menemukan mayat suaminya yang tergeletak berlumuran darah di samping mobil yang mereka kendarai tadi. Aisyah hanya mampu berteriak dengan tangisan. Dan tangan kasar mencengkram leher Aisyah, membuatnya sulit untuk bernapas.
Sirte, 28 Maret 2011
Dalam pelukan lelaki yang ternyata bernama Abdulah itu, Lidia diam dalam tangisannya, menatap kearah selembar foto seorang perempuan muda yang cantik dan penuh semangat.
“Kita akan menemukannya,” ucap Abdulah dengan nada yakin.
Ketika mobil yang penuh dengan barang-barang itu berhenti di samping pagar kawat yang membentak seolah tak berujung, Abdulah turun lebih dulu, menyuruh Lidia untuk diam menunggu, dia berlari melewati pintu pagar yang membuka, mencari-cari seseorang yang belum pernah di temuinya sebelumnya.
Lidia turun dari mobil dengan tubuh lusuh, rambut acak-acakan dan mata merah karena tidak tidur beberapa malam. Bersandar di dinding kawat yang membentang di sekitar jalan, memisahkan dirinya dengan puluhan orang yang berlalu-lalang, mengaca matanya untuk memandang kearah orang-orang yang terlihat berwajah tanpa harapan. Perempuan, anak-anak dan para laki-laki yang selalu siaga dan lebih sering menghabiskan waktu mereka untuk memandangi langit cerah yang sewaktu-waktu bisa saja berubah menjadi ledakan mengerikan yang akan mencabut nyawa mereka dalam hitungan detik.
Seorang perempuan muda berlari keluar melewati pintu kawat yang terbuka lebar, menuju kearah mobil, mencari-cari seseorang. Lidia memperhatikan wajah Perempuan itu lalau bersaru dengan nada tanda tanya. “Jamila?.”
Perempuan tadi berpaling dengan mata yang terlihat cemas.
Saat Abdulah kembali dengan keringat yang membasahi tubuhnya dan berdiri kaku menatap kearah dua sosok perempuan yang duduk bersebelahan dengan tubuh melesu, dan air mata pun terlihat mengalir dari kedua bola mata kedua perempuan tadi.
Tanpa ada kata, tanpa ada suara yang bertanya-tanya, airmata menjadi bahasa sukma yang membenam jiwa di dalam kesedihan karena penderitaan dalam perjalanan bangsa itu masih panjang dan akan banyak merenggut kebahagiaan.
Adakah rasa kemanusiaan di hati mereka ketika banyak dari kehidupan yang dulunya penuh bahagia kini berubah menjadi derita. Dan pertanyaan itu terus berulang di hati. “Kapan ini akan berhenti?.”[]
NB : untuk Korban dari kekejaman manusia