Alkisah, Imam Syafi’i, yang dikenal sebagai ulama ahli fiqh (hukum Islam) dan ahli hikmah, ketika bermukim di Baghdad Irak pun mendapat tempat istemewa di hati para penuntut ilmu, majelis pengajiannya pun penuh dikebaki santri, dan mereka nyaris tiada satu pun yang merasa tidak puas dengan pendapat dan kapasitas keilmuannya. Bahkan Khalifah Harun ar Rasyid pun menyukai dan memujinya. Namun di kalangan ulama Baghdad ternyata tidak semua senang, bahkan merasa tersaingi. Terbukti sebagian ulama terkemuka Baghdad berencana untuk menjatuhkannya. Mereka bersepakat akan mengajukan beberapa pertanyaan yang rumit dalam bentuk teka-teki untuk menguji kecerdasan Imam Syafi’i sekaligus menghinanya di hadapan Khalifah Harun ar Rasyid.
Benar, setelah mereka siap dengan beberapa soal yang dianggapnya sangat rumit, maka mereka sowan kepada sang khalifah untuk memberitahukan niatnya itu. Maka sang khalifah pun hadir dan mendengarkan langsung debat antara mereka dengan Imam Syafi’i. Debat berlangsung seru, sekurang-kurangnya ada sebelas soal rumit yang harus dijawab secara spontan oleh Imam Syafi’i di hadapan Sang Khalifah.
Pertama, ”Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang menyembelih seekor kambing di rumahnya, kemudian ia keluar sebentar untuk suatu keperluan, lalu kembali lagi seraya berkata kepada keluarganya, “Makanlah kambing ini semuanya karena sudah haram bagiku”. Lalu dijawab oleh keluarganya, ”Kambing ini juga haram bagi kami”. Mengapa hal ini bisa terjadi?, tanya ulama pendengki tersebut. Jawab Imam Syafi’i dengan fasih, ”Sesungguhnya orang ini dulunya musyrik, menyembelih kambing atas nama berhala, lalu keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan lalu mendapat hidayah dari Allah sehingga ia masuk Islam, maka kambing itu pun menjadi haram baginya. Dan ketika mengetahui ia masuk Islam, keluarganya pun masuk Islam sehingga kambing itu juga haram bagi mereka”.
Merasa jawaban Imam Syafi’i jelas dan tegas, maka para ulama pendengki itu mengajukan pertanyaan lagi, ”Ada dua orang muslim yang berakal minum khamr, lalu salah satunya dihukum cambuk, tetapi yang satunya tidak dihukum apapun”. Mengapa demikian?, tanya ulama pendengki yang kedua kalinya. Jawab Imam Syafi’i dengan fasih pula, ”Sesungguhnya salah seorang di antara mereka berdua sudah baligh dan yang satunya lagi masih bocah, sehingga si bocah yang belum baligh itu tidak dikenai sanksi hukum”.
Merasa jawaban dari Imam Syafi’i masih tegas pula, maka para ulama pendengki itu pun melontarkan pertanyaan kembali, ”Ada lima orang menzinahi seorang wanita, lalu orang pertama divonis bunuh, orang kedua dirajam hingga mati, orang ketiga dihukum cambuk 100 kali, orang keempat hanya dihukum cambuk 50 kali, sementara orang kelima dibebaskan dari hukumam”. Mengapa demikian? tanya ulama pendengki itu yang ketiga kalinya. Imam Syafi’i dengan tegas menjawab, ”Sebab, orang pertama telah menghalalkan zina sehingga divonis murtad dan wajib dibunuh, orang kedua adalah muhshan (sudah menikah), orang ketiga adalah ghairu muhshan (belum menikah), orang keempat adalah seorang budak, sementara orang kelima adalah gila, sehingga terbebas dari hukum”.
Lagi-lagi jawaban Imam Syafi’i tegas dan fasih, maka mereka pun melontarkan kembali pertanyaan keempat, kelima, sampai kesebelas. Namun semua berhasil dijawab oleh Imam Syafi’i dengan jelas, tegas dan memuaskan. Bahkan sang Khalifah tidak mampu menyembunyikan rasa kagumnya seraya berkata: “Maha suci Allah atas karunia-Nya kepada Bani Abdi Manaf, engkau telah menjelaskan dengan baik dan menafsirkan dengan sangat menawan serta mengungkapkan dengan begitu fasih”.
Kemudian berkatalah Imam Syafi’i, “Semoga Allah memanjangkan umur Amirul Mukminin. Saya mohon diizinkan untuk mengajukan satu pertanyaan saja. Bila mereka dapat menjawabnya, maka alhamdulillah. Dan bila tidak bisa, saya berharap baginda dapat mengekang keusilan mereka terhadap saya”. Jawab sang Khalifah, “Ya, itu hakmu. Silahkan ajukan saja pertanyaanmu kepada mereka, wahai Syafi’i”.
“Ada seorang laki-laki yang meninggal dunia dengan meninggalkan warisan sebanyak 600 dirham, namun saudara wanitanya hanya mendapatkan bagian 1 dirham saja. Bagaimana cara membagi warisan tersebut?”, tanya Syafi’i. Menghadapi pertanyaan ini masing-masing hanya saling tolah-toleh dan tidak seorang pun mampu menjawabnya. Setelah begitu lama hanya terdiam, maka berkatalah sang khalifah kepada Imam Syafi’i, “Ayo, katakan kepada mereka apa jawabannya”.
Jawab Imam Syafi’i, “Orang tersebut meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris dua anak perem puan, seorang ibu, seorang isteri, dua belas orang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan. Jadi, dua anak perempuannya itu mendapatkan dua pertiganya, yaitu 400 dirham; si ibu mendapatkan seperenam, yaitu 100 dirham; isteri mendapatkan seperdelapan, yaitu 75 dirham; dua belas saudara laki-lakinya mendapatkan 24 dirham, masing-masing 2 dirham, sehingga sisanya yang satu dirham lagi menjadi jatah saudara perempuannya”.
Dengan jawaban Imam Syafi’i tersebut sang khalifah tersenyum seraya berkata, “Semoga Allah memperbanyak pada keluarga besarku orang sepertimu.” Lalu baginda memberi hadiah 2000 dirham. Hadiah itu diterima oleh Imam Syafi’i, lalu dibagi-bagikannya kepada para pelayan dan pengawal istana. (Kisah ini disadur dari Mi’ah Qishshah Wa Qishshah Fi Anîs ash Shaalihîn wa Samîr al Muttaqîn karya Muhammad Amin alJundy, Juz. II). ** Wallâhu A’lam bish shawâb.
Oleh : H. Asmuni Syukir
- Jombang, 10 Desember 2012, Majelis Ta’lim & Bengkel Hati Al-Qolam
- Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Al-Qolam