Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute
Perkembangan menarik terjadi di Filipina. Seperti sudah jadi modus operandi tetap Departemen Luar Negeri AS, ketika Washington menerjunkan Duta Besar di sebuah negara sosok diplomat yang punya rekam jejak yang cukup kontroversial, berarti ada sesuatu yang sedang kritis di negara sang Dubes baru tersebut diterjunkan.
Philip Golberg, mantan pembantu Menteri Luar Negeri AS untuk bidang intelijen dan riset, secara mengejutkan ditunjuk oleh Presiden Obama sebagai Dubes baru AS di Filipina. Dan rekam jejak Golberg sebelumnya memang menggambarkan sosok ini cukup berbahaya di negara dia ditempatkan. Golberg sempat jadi Dubes AS di Bolivia antara 2006 hingga 2008, dan waktu itu Presiden Ivo Morales dan jajaran pemerintahannya merasa gusar betul dengan sepak-terjang Golberg yang dipandang oleh pemerintah Bolivia sebagai provokator terjadinya ketidakstabilan politik di Bolivia. Maklumlah, karena ketika itu Golberg disinyalir oleh pemerintah Bolivia memberi dukungan dan bantuan dana kepada beberapa tokoh oposisi dengan tujuan untuk melawan kekuasaan Presiden Morales.
Melihat sepak-terjang Golberg, saya jadi ingat kelakuan Marshal Green, ketika jadi Dubes AS pada masa-masa krisis politik di Indonesia antara 1964-1965, yang bermuara pada meletusnya G-30 S yang berakibat tewasnya KSAD Jenderal Achmad Yani dan jajaran para deputi KSAD, dan mencapai puncaknya ketika Bung Karno tumbang pada 1967.
Bedanya dengan Marshall Green di Indonesia, para petinggi pemerintahan Bolivia lebih “Tanggap ing Sasmita” sehingga memutuskan untuk mengusir Golberg dari Bolivia, sebelum berkembang menjadi petaka politik buat Ivo Morales, yang ketika itu, berada dalam satu haluan politik yang sama dengan Hugo Chavez.
Golberg menempati pos Dubes di Manila menggantikan Harry Thomas, begitu nominasi Obama mendapat persetujuan sepenuhnya dari Kongres. Kompetensi Golberg sebagai pemain kunci di unit intelijen kementerian luar negeri AS yang kerap dikenal sebagi INR (Bureau for Intelligence and Research) sejak 2010 lalu, memang patut dicermati juga oleh para pemegang kewenangan Politik dan Keamanan di Indonesia.
Selain berfungsi mengadakan operasi pengumpulan informasi (Information Gathering), INR juga secara intensif mengadakan serangkaian kajian tentang beberapa isu global seperti Terorisme Internasional maupun kejahatan lintas negara seperti Narkoba, aktivitas intelijen negara-negara musuh Amerika, maupun aktivitas-aktivitas lainnya baik berasal dari perorangan maupun kelompok. Dengan kompetensi seperti ini, Golberg secara teknis hadir di kancah perpolitikan Filipina bukan sekadar Dubes AS di Manila, melainkan sebagai coordinator tim intelijen strategis Washington di Manila.
Mengantisipasi Semakin Memanasnya Ketegangan Filipina-Cina di Laut Cina Selatan?
Kenyataan bahwa baru-baru ini Filipina mengisyaratkan untuk memberi akses yang lebih besar kepada AS dan Jepang dalam memanfaatkan pangkalan militernya, bisa dipastikan akan mengundang kecemasan Cina. Sehingga uluran tangan Filipina untuk memanfaatkan fasilitas militernya bagi AS dan Jepang, harus dipandang sebagai aliansi strategis ketiga negara tersebut untuk membendung kekuatan militer Cina di kawasan Asia Tenggara. Khususnya konflik perbatasan antara Filipinan versus Cina terkait beberapa wilayah perbatasan di Laut Cina Selatan.
Hal ini setidaknya sudah diisyaratkan secara terang-terangan baik oleh Presiden Benigno Aquino dan Menteri Pertahanan Voltaire Gazmin. AS pernah menempatkan 10 ribu personil militernya di Clark Air Base dan Subic Naval Base, di Filipina Utara hingga 1990. Di masa kepresidenan Qory Aquino, kedua pangkalan tersebut terpaksa ditutup karena tekanan publik yang cukup kuat.
Namun sekarang meskipun kedua pangkalan militer tersebut sudah beralih fungsi sebagai pusat kegiatan bisnis, namun secara de fakto masih tetap digunakan sebagai tempat untuk memfasilitasi operasi-operasi militer jangka pendek seperti latihan militer. Sehingga di tempat ini pesawat-pesawat tempur AS tetap diizinkan untuk mangkal.
Salah satu wilayah di Laut Cina Selatan yang jadi obyek pertikaian Filipina dan Cina adalah The Scarborough Shoal, yang dinilai oleh beberapa pakar geopolitik memiliki kandungan kekayaan sumberdaya alam di bidang energi. Karena itu, tak mengherankan jikan Cina dan Filipina sama sama ngotot untuk menguasai wilayah di kawasan Laut Cina Selatan tersebut.
Dalam pandangan Global Future Institute, jika ketegangan perbatasan antara Filipina dan Cina ini semakin memanas eskalasi konfliknya, maka bisa dipastikan Filipina akan melibatkan Angkatan Laut Amerika Serikat yang sekarang ini sudah dalam posisi siaga satu di Darwin, Australia.
Eskalasi ketegangan ini bisa menciptakan instabilitas di kawasan Asia Tenggara, ketika menyadari kenyataan bahwa Cina tidak saja berkonflik dengan Filipina saja terkait konflik wilayah perbatasan di kawasan Laut Cina Selatan. Melainkan juga dengan Vietnam, Malaysia, Taiwan dan Brunei Darussalam. Dan negara negera tersebut, bisa dipastikan akan bahu membahu dengan Filipinan mengingat persekutuan tradisionalnya dengan Amerika Serikat dan negara negara Eropa Barat yang tergabung dalam NATO.
Dalam artikel penulis pada 13 April 2012, The Scarborough Shoal, Pemicu Ketegangan Baru Filipina-Cina di Laut Cina Selatan, Global Future Institutte memprediksi bahwa dalam beberapa waktu mendatang, akan tercipta suatu persekutuan baru di kalangan beberapa negara ASEAN, atas dasar kekhawatiran terhadap semakin agresifnya kekuatan militer Cina di kawasan Laut Cina Selatan.
Salah satu kemungkinan kuat yang sudah mulai terlihat adalah persekutuan antara Filipina dan Vietnam. Padahal Vietnam sejak pertengahan 1960-an hingga 1975, merupakan musuh utama Amerika di Asia Tenggara. Karena waktu itu Vietnam Selatan yang berhaluan anti komunis, didukung oleh Amerika untuk melawan Vietnam Utara yang didukung Uni Soviet. Namun pada 1975, Vietnam Selatan berhasil ditaklukkan oleh Utara, dan tentara Amerika pun dipaksa pulang ke negaranya secara memalukan.
http://www.theglobal-review.com