Home / Agama / Kajian / Dari Antroposentris Menuju Allah Sentris

Dari Antroposentris Menuju Allah Sentris

Dikutip dari buku COME – COnnected Meaningful Excellent – “Mendatangkan Keberkahan yang Mengubah Hidup Anda” karya Wahfiudin Sakam.

Dalam bahasa Latin, manusia disebut anthropo. Dari situlah muncul istilah anthropo-centric: manusia sebagai pusat. Antroposentris dalam ejaan Indonesia.

Ketika seseorang meyakini bahwa manusialah pusat segalanya–atau pusat alam semesta sebagaimana yang diajarkan Renaisans Barat—pada akhirnya orang itu memikirkan sendiri semua masalahnya: kesehatannya, pendidikannya, keluarganya, dan masyarakatnya. Seorang antroposentris tidak percaya adanya kekuatan di luar dirinya –kekuatan metafisika—yang bisa membantu mereka mengatasi semua problematika kehidupan.

Semua masalah pun tersedot ke dalam dirinya. Ketika problematika kian terakumulasi dalam dirinya, kian menumpuk, dia mulai mengeluh. Ketika sampai pada suatu titik di mana ia tak kuat lagi menampung semua persoalan, dia kolaps, depresi, stres, akhirnya hancur.

Contoh perilaku manusia yang “sok” menampung semua permasalahan, sebut saja, ketika ia menyerap semua permasalahan yang seharusnya bukan masalahnya. Misal, orang lain yang punya masalah—entah itu masalah perceraian para artis, penipuan oleh oknum ustadz, dan masalah lainnya yang lazim ditayangkan oleh program infotainment—malah dia yang stres.

Padahal, itu, kan, bukan masalah mereka. Namun, informasi terserap masuk sekonyong-konyong ke dalam memorinya. Pada tahap lebih lanjut, masuk juga ke dalam perasaannya.

Dia hafal betul detail permasalahan yang semestinya bukan masalahnya. Lama-lama mereka merasa masalah itu masalah mereka juga. Inilah yang oleh Neil Postman disebut “kenyataan virtual yang meracuni persepsi manusia,” sebagaimana dipaparkannya dalam buku yang mengkritisi “doktrin televisi”: Menghibur Diri Sampai Mati.

Kembali ke permasalahan. Masalah yang tak perlu itu menambah beban pikiran mereka. Pasalnya, di luar itu, mereka sudah punya urusan sendiri terkait pekerjaan, istri dan keluarga, anak-anak, hingga lingkungan masyarakatnya. Beban yang sudah menumpuk itu harus ditambah lagi masalah perceraian artis.

Ketika semua masalah dia serap sendiri, dia tanggung sendiri, tak heran jika hidupnya jadi penuh beban. Dan inilah konsekuensi perilaku seorang antroposentris: merugikan diri sendiri.

Ada juga orang yang menjalani hidupnya dengan prinsip laa Ilaaha Illallah. Laa Ilaaha: Tiada Ilah, tiada yang dipuja, tiada yang dia cintai, tiada yang dia segala-galakan, Illallah: kecuali Allah.

Saat dia meniadakan yang lain, lepaslah semua beban dari dirinya. Ketika dia melepaskan diri dari kungkungan masalah di sekitarnya, lepaslah dia dari beban dunia. Dia keluar dari belenggu, melesat, dan mendekat kepada Allah.

Orang-orang seperti ini sadar jika bukanlah dirinya yang menjadi pusat segalanya. Ia menjadikan Allah sebagai pusat. Sebagai Yang Maha Menentukan. Dia mendekat kepada Allah.

Inilah yang disebut Allah-sentris. Bahasa ilmiahnya adalah teosentris. Bahasa agamanya adalah tauhid.

Allah pusat segala-galanya. Untuk itu, semua beban dalam dirinya dia lepas, pasrah pada Allah Azza wa Jalla.

Orang yang Allah-sentris selalu bekerja dengan sungguh-sungguh. Ia sadar, yang menjadi atasan hakikinya bukanlah bos di kantor, melainkan Allah. Jika ia merasa atasannya adalah Allah, dia akan bekerja penuh integritas.

Umumnya, orang seperti itu berkarakter bijaksana, baik sebagai bawahan maupun pimpinan. Dia tahu nilai dan makna di balik apa yang sedang dia kerjakan.

Itu semua karena dia selalu terhubung dengan Allah Yang Maha Ada dan Yang Maha Mengadakan. Allah yang Maha Hidup dan Maha Menghidupkan. Allah yang Maha Cerdas dan Maha Mencerdaskan. Allah yang Maha Berkehendak dan Maha Menghendakkan. Allah yang Maha Kuasa dan Maha Memampukan.

Karena itu, masalah apapun dia serahkan semuanya kepada Allah.

Dia yakin bahwa yang memberikan rezeki itu hanyalah Allah. Dia hanya perlu bekerja penuh kesungguhan. Semua masalah dia serahkan kepada Allah sebagai pusat segalanya.

Hidupnya terasa tenang, penuh sukacita, tanpa beban. Inilah cerminan orang yang senantiasa bertawakal, selalu bergantung dan berharap hanya kepada Allah.

Source: TQN News

 

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...