Home / Relaksasi / Renungan / Dahsyatnya Sikap Rasulullah SAW

Dahsyatnya Sikap Rasulullah SAW

“Keras kepala dan kedengkian luluh lantak dengan sikap lembut dan penuh kepengasuhan”.

Oleh: Admin*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

Abu Bakar menatap bungkusan roti di genggamannya lalu melihat pengemis renta di hadapannya. Bergantian. Lelaki pengemis itu buta matanya. Mengayun-ayun kepala. Tidak bicara.

“Janganlah engkau mendekati Muhammad karena dia orang gila, pembohong dan tukang sihir. Jika engkau mendekatinya, engkau akan dipengaruhinya.” Begitu pengemis Yahudi buta itu, dahulu, melontarkan kata-kata tajam, penuh kedengkian dan kebencian. Sekarang tidak lagi. Kabar meninggalnya Sang Nabi barangkali telah sampai kepadanya. Jadi, tak perlu dia berteriak ke mana-mana.

Sekarang, Abu Bakar duduk di hadapannya. Seolah tengah mengukur apa yang ada di kepala pengemis Yahudi itu. Terbayang sedikit perbincangannya dengan Aisyah beberapa waktu lalu. Perbincangan tentang pengemis di hadapannya.

“Wahai putriku, adakah satu sunah kekasihku yang belum aku tunaikan?”

Betapa Abu Bakar ingin mengikuti apa pun yang dahulu dilakukan Sang Nabi. Apa pun. Sekecil apa pun. Bahkan, setelah dia berusaha keras melakukan apa pun yang dicontohkan Sang Nabi, dia masih belum yakin seluruhnya dia ingat dengan tepat.

“Wahai, Ayahku,” Aisyah yang belia menatap mata ayahnya sementara air matanya mulai menjelaga. “Engkau adalah seorang ahli sunah dan hampir tidak ada satu sunah pun yang belum engkau lakukan, kecuali satu.”

“Apakah itu?” Mengerut dahi Abu Bakar. Ternyata benar bahwa pengetahuannya tentang Sang Nabi bukan tanpa celah sama sekali.

“Setiap pagi, Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi yang buta di sana.”

Di sini, Abu Bakar pagi ini. Tak mau menunda lama. Ingin dia tuntaskan apa pun yang dahulu dilakukan Sang Nabi dan dia punya kemampuan untuk menyamai. Pengemis buta itu, sama seperti hari-hari sebelumnya, menunggu belas kasihan orang-orang. Namun, dia telah meninggalkan caci maki terhadap Sang Nabi.

Abu Bakar membuka bungkusan yang dia siapkan. Mengambil potongan roti darinya, kemudian menyuapkannya ke mulut sang pengemis. Ini tidak susah. Sunah yang mudah.

Namun, tertahan tangan Abu Bakar, ketika pengemis buta itu menyentakkan kepalanya, menjauhkan mulutnya dari tangan Abu Bakar.

“Siapa Kau?”

Sudah berapa lama tak datang seseorang yang menyuapinya makanan, dan pagi itu hadir di hadapannya seseorang yang hendak melakukan hal sama. Namun, pengemis itu merasakan perbedaan di antara keduanya.

“Engkau bukan orang yang biasa datang kepadaku.” Dua bola mata yang tak lagi melihat cahaya itu bergerak-gerak. Ada kemarahan di sana. “Jika dia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah.”

Abu Bakar mendengarkan. Ini sesuatu yang memang ingin dia dengarkan.

“Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku dengan mulutnya dan setelah itu, dia memberikan padaku dengan mulutnya sendiri.”

Abu Bakar segera diserang perasaan yang melumpuhkan. Bahkan, kehendaknya untuk berlemah lembut terhadap pengemis itu tak ada apa-apanya dengan cara Nabi melakukan hal yang serupa. Dia hendak menyuapinya dengan perlahan sedangkan Sang Nabi mengunyahkannya terlebih dahulu supaya lembut makanan itu jadinya.

Alangkah perasaan haru bercampur dengan rindu. Kenangan akan kemuliaan dan tiadanya dendam, menghancurkan keteguhan Abu Bakar. Dia tersedu, sedangkan tangannya gemetaran. “Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu.” Dia tetap berusaha berkata-kata. “Aku salah seorang dari sahabatnya. Orang mulia itu telah tiada. Dia adalah Muhammad Rasul Allah.”

Seolah berhenti detak jantung di dada Yahudi tua itu. Seolah ada yang mencengkeram batang otaknya. Badannya gemetaran. Lalu membayang caci makinya yang bertahan lama di mulutnya. Caci maki yang dia katakan kepada setiap orang setiap saat. Dia mulai terisak. “Benarkah demikian?”

Luruh badan ringkih yang napasnya pun telah tertatih. Dia kini mulai menyesali diri. “Selama ini aku selalu menghina, memfitnah, dan menjelek-jelekkannya. Tapi… tapi,” terputus-putus kata-katanya. “Dia tidak pernah memarahiku, sedikit pun. Dia selalu mendatangiku setiap pagi. Membawakan makanan. Dia… dia begitu mulia.”

Bertangisan. Abu Bakar dan lelaki tua yang mengingatkan dia kepada junjungannya. Menjejaki apa-apa yang pernah dijejaki seseorang yang dicintai terkadang semacam mengentakkan dada dengan palu kerinduan.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ

“Ya Allah, sampaikanlah shalawat dan salam atas Junjungan kami Muhammad beserta para keluarganya dan para sahabatnya”.

_____________

Source: Disadur dari Novel “Muhammad Para Pengeja Tuhan”.

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...