Oleh: Irfan BN*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Diam adalah sebuah proses berjalannya “kehendak alam” yang melibatkan seluruh anggota tubuh dalam rangka menyatukan semua energi pikiran, perasaan, batin dan ruh.
Lalu apa sesungguhnya yang bisa kita pahami dari ilmu diam?
Energi-energi yang menyatu ketika laku diam dipraktekkan, akan diarahkan langsung pada satu tujuan, di mana diam dimaksudkan untuk memusatkan intelektualitas ke satu tujuan pusat, yakni kesadaran tunggal ilahiah.
Diam adalah penggalian mental yang intensif, pencarian pengertian yang didukung kehendak tak tertahankan dan penggabungan energi ke dalam ikatan yang sangat sederhana.
Diam itu ibarat menggabungkan batang-batang lidi yang terserak dalam satu ikatan sapu yang kuat dan tak bisa dipatahkan. Juga diibaratkan kumpulan sinar di dalam alam semesta batin, menjadi sinar laser kecil namun dapat menembus alam semesta ini.
Diam, yang kemudian diterminologikan menjadi ‘Ilmu diam’, bisa menjadi sarana rahasia dalam hajat untuk terkabulnya doa. ‘Ilmu diam’ ini bisa dikatakan sebagai dzikir, sehingga bisa menyelaraskan semua indera, emosi, pikiran bahkan semua proses fisik dan biologis tubuh. Mempelajarinya butuh latihan yang sangat tekun.
Dzikir diam ini sebagai latar belakang untuk merenungi apa tujuan hidup ini. Sehingga fokus dan menahan segala bentuk emosi sangat diperlukan. Karena itu, perlu pelatihan secara berulang dan terus-menerus (riyadhah dan mujahadah).
Di antara riyadhah dzikir diam yang mungkin bisa dipraktekkan, misalnya setelah shalat fardhu, atau setidaknya usai waktu senggang setiap hari. Riyadhah itu pada akhirnya, jika sudah mahir, maka akan berlanjut pada kesadaran 24 jam.
Meskipun seseorang sudah punya bakat alamiah, yaitu kelebihan supranatural atau manusia sakti sekalipun, ilmu diam merupakan keterampilan yang harus dipraktekkan. Jika tak dilatih, maka kemampuannya akan tumpul.
Meski terkesan sederhana, namun laku diam tak mudah dipraktekkan. Mata memandang di satu titik, namun mata batin masih membayangkan hal lain. Lalu, apa sebenarnya objek dari dzikir diam? Pertanyaan seperti ini sering dilontarkan.
Dalam diam, mata fisik dan mata batin kita harus menyatu dalam satu objek. Diam adalah maqom diri sejati seseorang tak perlu membayangkan hal-hal abstrak, seperti membayangkan Tuhan, misalnya. Selain menyalahi kaedah dalam ilmu tasawuf, sebab Tuhan tak dapat terjangkau dengan apapun juga.
Apa yang terlihat, apa yang terlintas, terdengar atapun terasa, itu bukanlah Tuhan. Pahami sifatnya yang sudah ‘Laisa Kamitslihi Syai’un‘ (Tak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya). Itulah sebabnya perlu mengenal diri sendiri, agar mampu mengenal Tuhan.
Jadi, ilmu diam selain merupakan kekuatan seseorang untuk menyatukan ke satu titik tujuan, juga sebagai penggalian intensif menuju diri sejati seseorang.
Bagaimana mengenal ruh diri sendiri, sebab ruh ini sebagai pengendali raga, memiliki kekuatan untuk menyatukan diri dengan semua energi yang ada di alam semesta ini. Pada hakikatnya, antara ruh diri sejati ini dan alam semesta satu dan manunggal.
Ilmu diam akan bisa tercapai bila seseorang mengurangi makan, minum, hubungan intim dan tak sedikit tidur di malam hari. Di dalam masyarakat Jawa dikenal kegiatan ini untuk mengendalikan indera, pikiran dan emosi dengan istilah laku Tapabrata.
Laku ini akan menghasilkan kekuatan intensitas spiritual hingga mencapai derajat manusia yang sangat tinggi. Intensitas spiritual akan membedakan manusia dengan binatang, sebab binatang tak mampu menahan keinginan. Misalnya bersenggama saat melihat lawan jenisnya.
Makan saat lapar, minum saat haus dan tidur saat mengantuk. Binatang mengikuti instingnya saja tanpa bisa menahan kehendaknya. Sementara manusia yang hanya menuruti hasrat biologisnya tanpa berkeinginan untuk melatih batinnya maka levelnya tak jauh berbeda dengan binatang.
Karena itu, ilmu diam harus dikerjakan secara istiqomah, sehingga ia mampu menangguhkan kebahagiaan yang sifatnya sementara dan tak abadi. Lalu apa tanda-tanda orang yang telah berhasil dalam diamnya? Jelas, hidupnya akan tenang, karena sudah tahu hidupnya yang sejati. Sekarang ia hanya menuruti kehendak Tuhannya.
Kehendak Tuhan adalah inti dari pencapaian ibadahnya. Hidup yang tenang karena tak terganggu oleh bias pelangi kenyataan yang palsu, berubah-ubah, sementara lalu hatinya sabar dan ikhlas. Tak lagi mementingkan diri sendiri, namun mengutamakan hal lain, yakni masyarakat dan umat manusia secara keseluruhan. Mata batinnya sangat tajam untuk melihat tanda-tanda ilham dalam tubuhnya.
Sebagaimana juga Siti Maryam, Allah memberikan perintah khusus kepadanya untuk diam. Allah memerintahkan Siti Maryam mengandung Nabi Isa tanpa proses seksual dari lawan jenis dan memerintahkan puasa diam.
Puasa diam yang dilakukan Maryam diabadikan dalam surah Maryam ayat 26:
فَكُلِيْ وَاشْرَبِيْ وَقَرِّيْ عَيْنًا ۚفَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّا ۚ ۞
“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (QS. Maryam [19]: 26)
Karena sedang berpuasa yang tidak membolehkan makan, minum dan berbicara itulah, maka ketika ditanya tentang siapa ayah dari putra yang ada di gendongannya, Maryam saat itu tidak menjawab dengan perkataan. Maryam hanya menunjuk kepada Nabi Isa anaknya itu.
Bagaimana pertanyaan dan jawaban kaumnya kepada Nabi Isa diabadikan dalam surah Maryam ayat 28:
يٰٓاُخْتَ هٰرُوْنَ مَا كَانَ اَبُوْكِ امْرَاَ سَوْءٍ وَّمَا كَانَتْ اُمُّكِ بَغِيًّا ۖ ۞
“Wahai saudara perempuan Harun (Maryam), ayahmu bukanlah seorang yang berperangai buruk dan ibumu bukan seorang perempuan pezina.” (QS. Maryam [19]: 28)
Bayi Nabi Isa menjawab pertanyaan-pertanyaan kaumnya itu secara ajaib. Dengan menegaskan kedudukannya sebagai seorang Nabi dan Utusan Allah SWT, diturunkan kepadanya Kitab Injil, diberkati di mana saja berada, diperintahkan kepadanya untuk shalat. Kisah itu secara lengkap diceritakan oleh Allah SWT:
فَاَشَارَتْ اِلَيْهِۗ قَالُوْا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِى الْمَهْدِ صَبِيًّا ۞ قَالَ اِنِّيْ عَبْدُ اللّٰهِ ۗاٰتٰىنِيَ الْكِتٰبَ وَجَعَلَنِيْ نَبِيًّا ۙ ۞ وَّجَعَلَنِيْ مُبٰرَكًا اَيْنَ مَا كُنْتُۖ وَاَوْصٰنِيْ بِالصَّلٰوةِ وَالزَّكٰوةِ مَا دُمْتُ حَيًّا ۖ ۞ وَّبَرًّاۢ بِوَالِدَتِيْ وَلَمْ يَجْعَلْنِيْ جَبَّارًا شَقِيًّا ۞ وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا ۞ ذٰلِكَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ ۚقَوْلَ الْحَقِّ الَّذِيْ فِيْهِ يَمْتَرُوْنَ ۞
“Dia (Maryam) menunjuk kepada (bayi)-nya (agar mereka bertanya kepadanya). Mereka berkata, “Bagaimana mungkin kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?” (29). Dia (Isa) berkata, “Sesungguhnya aku hamba Allah. Dia (akan) memberiku Kitab (Injil) dan menjadikan aku seorang nabi (30). Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada dan memerintahkan kepadaku (untuk melaksanakan) shalat serta (menunaikan) zakat sepanjang hayatku (31), dan berbakti kepada ibuku serta Dia tidak menjadikanku orang yang sombong lagi celaka (32). Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan hari aku dibangkitkan hidup (kembali) (33). Itulah (hakikat) Isa putra Maryam, perkataan benar yang mereka ragukan (34).” (QS. Maryam [19]: 29-34)
_________
* Source: Bondowoso