BENCANA covid-19 saat ini telah menjadi fakta global yang memerikan dan mengguncang kesadaran teologis banyak orang. Menurut data terakhir, telah ada 203 negara, teritorial, dan kapal internasional yang menjadi tempat berkembangnya virus menular ini. Untuk Indonesia saja, total 3.908.247 orang positif terpapar virus, 3.443.903 pasien sembuh dan 121.141 pasien meninggal dunia hingga kemarin, 18 Agustus 2021.
Secara persentase kematian covid-19 memang ‘kecil’, yaitu 5%. Namun, yang membuat bencana ini melahirkan kepanikan global ialah karena sebaran dan jumlah penjangkitnya yang cukup besar dan merata di seluruh dunia. Tidak ada satu benua pun yang bebas dari pandemi ini. Bahkan, teritorial suci, seperti Mekah, Vatikan, Jerusalem, Badrinath, dan Karbala juga ikut terinfeksi virus aneh ini.
Guncangan teologis
Di antara yang paling terdampak penyebaran kasus covid-19 ialah kaum agamawan, yang kini di garda terdepan menafsirkan fenomena ini secara teologis. Dalam Islam, penyebaran wabah covid-19 ini dihubungkan dengan penyakit tha’un seperti dalam kodifikasi hadits Sahih Bukhari-Muslim. Kisah tentang wabah telah dikenal secara teologis.
Namun, yang membuat umat terguncang ialah ketika ada praktik keagamaan yang mulai dilarang pemerintah. Sedikit banyak kebijakan ini melahirkan benturan teologis karena umat dilarang (sementara) berkumpul pada momen ritual, seperti shalat berjemaah atau misa ke gereja. Umat Hindu Bali juga dilarang melaksanakan Melasti, tradisi sebelum Nyepi, meskipun ada juga yang ngeyel. Sebagian kalangan menganggap pelarangan oleh negara ialah ‘fatwa keliru’.
Padahal, dalam sejarah Islam, ritual keagamaan umat dengan jumlah massa besar berkali-kali sempat tidak terlaksana karena situasi abnormal. Krisis politik dan wabah menyebabkan umrah dan haji tak terlaksana puluhan kali, di antaranya kasus pencurian hajarul aswad oleh kelompok Qaramithah pada 930 M dan baru dikembalikan 22 tahun sesudahnya, lalu perselisihan antara Bani Abad dan Bani Abid pada 983 dan 1257 sehingga wilayah Hijaz ditutup, serta wabah kolera di Mekah pada 1837, 1846, 1850, 1858, 1865, dan 1883. Situasi itu jelas menguncang kesadaran teologis umat Islam.
Bukan hanya itu, agama juga kerap diperalat untuk membangun konsep teologis ‘lain’. Pada masa totaliterisme Stalin dan Hitler, gereja melakukan ‘konsensus terpaksa’ membenarkan kekejaman, seperti kerja paksa, penyiksaan, dan genosida.
Akhirnya, posisi teologis Kristen terperosok dan mencari kambing hitam kekacauan Eropa saat itu kepada Yahudi dan komunitas nonkaukasia. Ini persis ketika wabah pes menyebar di Eropa pada pertengahan abad ke-14 dan menuduh umat Yahudi sebagai penyebab. Situasi seperti itu menjebak agama untuk merespons secara ‘ekstrem dan fatalistis’ fenomena sosial, seperti wabah dan perang.
Sketsa historis menunjukkan bahwa ‘pencocokan’ teologis agama–akan cenderung dihadirkan pemuka agama secara tidak autentik pada krisis politik. Konsep teologi yang berkembang kemudian seperti dikatakan Karen Armstrong, pemikir perbandingan agama asal Inggris, “Sangat sekularistik dan ikut membusuk dalam konflik dan kedaruratan.”
Tak mengherankan jika pada situasi wabah seperti sekarang ini penafsiran agama yang cenderung ‘misoginis’, apokaliptik, negatif, dan menyerang umat lain menjadi tersemai. Muncul fatwa pejoratif bahwa covid-19 kutukan dari langit atau tentara Allah yang menyerang orang kafir. Agama sejatinya memberikan pembebasan dan kebaikan, tapi kerap terjerumus pada ketamakan, kebencian, dan ambisi yang dibungkus oleh retorika palsu (Armstrong, Compassion, 2010).
Gerakan dekonstruktif
Pada situasi ini tentu diperlukan cara pandang agama yang lebih ‘posmo’, yaitu menghadirkan konsep teologis yang lepas dari pengaruh sekularistik dan politik. Sayangnya, pengagum model penafsiran sakartis kerap menyebut diri mereka puritan/antibidah/salafi.
Konsep teologi konservatif kerap mengaitkan Tuhan sebagai pemilik otoritas penyebar ketakutan dan kecemasan. Tugas wakil Tuhan akhirnya membungkam dan menjagal manusia dengan tafsir politis. Model seperti itu terlihat pada teologi Jemaah Islamiyah, ISIS, Dove World, Bharatiya Janata, Ghulat, Wahabiyah, dll yang bersikap berlebihan dan cenderung menyesatkan pihak lain secara terbuka.
Maka, diperlukan cara pandang baru, yang posmodernis, yang melampaui cara pandang lama yang tertutup, eksklusif, dan ahumanis. Pola penafsiran bahwa pihak lain sebagai neraka dan sumber masalah ialah wujud kegagapan teologis mencari jawaban autentik. Menyalahkan perempuan, minoritas, agama lain, atau berbeda mazhab sebagai biang kerok atas wabah juga manifestasi ketidaksadaran teologis dan membuat agama semakin dijauhi.
Meskipun tidak baru, ruang teologis juga perlu melakukan autokritik dan mencari kebaruan dalam menjawab masalah. Konsep teologi posmodernisme harus menarik upaya reflektif agama dengan lingkungan sekitarnya, dengan mendekonstruksi sisi-sisi egois tafsir dari pola saling menuduh. Meskipun agama ialah konsep sakral historis, ia harus mampu hidup untuk masa sekarang (Graham Ward, 2001).
Pemahaman teologi secara dekonstruktif akan membuat agama nyaman menjawab masalah. Nilai-nilai instrinsik agama harus memberikan jawaban yang rasional, humanis, dan ‘demokratis’ sehingga tidak lari pada pemahaman destruktif atau fatalistis, seperti menyebut bahwa tidak perlu takut pada wabah covid-19 karena Allah akan menyelamatkan siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Islam mengajarkan sikap rasional ketika berhadapan dengan wabah. Seperti dijelaskan Sahih Bukhari- Muslim bahwa jangan pernah masuk ke wilayah yang sedang terserang wabah dan jangan keluar jika sudah berada di dalamnya. Hadis Nabi tersebut jelas mengekstrapolasi penanganan untuk tidak menambah risiko di tengah wabah.
Islam juga mengajarkan sikap patuh pada pemerintah dan disiplin pada komando yang dikeluarkan. Di dalam al-Qur’an, seperti Surah An Nisa (4) ayat 59 dan Surah Al Anfal (8) ayat 46, mengajarkan sikap untuk taat kepada pemerintah dan tidak berselisih paham sehingga umat menjadi tersegregasi. Mengacaukan peran pemerintah melalui pandangan agama yang sinis, sarkastis, dan anarkis jelas bertentangan dengan pesan autentik Islam.
Kini, diperlukan dekonstruksi teologis merespons wabah ini secara bersama. Agama-agama harus bersatu padu dengan pemerintah melawan penyakit yang bisa mengganggu peradaban kita ini. Perlu dibangun pemahaman pluralisme yang agonistik, yaitu semua agama bersikap aktif dalam melahirkan ekspresi kolektif menyelesaikan masalah covid-19 dengan rendah hati, empati, humanis, dan emansipatif.
Oleh: Teuku Kemal Fasya, Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh, Dewan Pakar Nahdlatul Ulama Aceh
Sumber: mediaindonesia.com