PEDAGANG dari Sriwijaya, Cola, dan Arab beramai-ramai mendatangi pelabuhan milik Dinasti Song di Tiongkok. Banyaknya pedagang asing yang datang dan tinggal tak pernah terjadi sebelumnya. Mereka berlomba-lomba memberikan hadiah pada kaisar agar diakui dan lebih mudah mendapat untung.
Khususnya Sriwijaya, hubungan dengan Tiongkok sudah dibangun sejak tahun 702, ketika Dinasti Tang berkuasa. Pada era Dinasti Song, utusan Sriwijaya ke Tiongok makin banyak. Ada 16 utusan dari tahun 960 hingga 1017.
“Jangan diartikan ini sebagai upeti, hadiah, sama saja seperti sekarang dalam hubungan diplomasi antarpemimpin negara,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Puslit Arkenas.
Menjelang akhir abad 8, Sriwijaya mendapat banyak keuntungan dari kapal asing yang singgah dalam pelayaran menuju Tiongkok dari Asia Selatan. Wilayah pelabuhannya yang strategis di Selat Malaka, membuatnya menjadi salah satu pelabuhan transit teramai. Salah satu yang sering singgah adalah pedagang Tamil dari India Selatan. Persebaran mereka terdorong oleh pesatnya pertumbuhan Kerajaan Cola sejak tahun 985.
Sebenarnya, tanpa singgah di pelabuhan Sriwijaya pun Cola dan Tiongkok sangat mungkin melakukan hubungan dagang langsung. Pedagang Tamil bisa saja memonopoli penjualan lada hitam dari Timur Tengah langsung ke Dinasti Song. Begitu juga, suplai dari Tiongkok ke pedagang Arab dan Yahudi bisa langsung disalurkan oleh orang Tamil. Banyak pedagang Arab dan Yahudi yang bermukim di teritori dinasti Tamil.
Jika itu terjadi, Sriwijaya sebagai pusat perdagangan martim di Asia Tenggara tentu terancam. Informasi palsu pun disebarkan oleh para pedagang Sriwijaya untuk mencegah hal itu. Kenyataan ini membuat hubungan Sriwijaya dan Cola tak sebaik sebagaimana dipikir banyak ahli.
Cikal Bakal Sriwijaya
Sumber-sumber India sejauh ini banyak mendukung anggapan terjalinnya hubungan baik antara Sriwijaya dan Cola. Seperti Prasasti Nalanda (860) yang menceritakan pembangunan asrama bagi pelajar-pelajar Sriwijaya di Nalanda ketika berlangsungnya Dinasti Pala. Ada pula keterangan dalam Piagam Leiden yang bercerita kalau penguasa Sriwijaya pernah menyumbang bagi pembangunan kuil di wilayah Kerajaan Cola pada 1005.
Tansen Sen dalam “The Military Campaigns of Rajendra Chola and the Chola-Srivijaya-China triangle”, yang diterbitkan dalam Nagapattinam to Suvarnadwipa masih menambah daftar itu. Menurutnya hampir sepuluh tahun kemudian, perwakilan dari Sriwijaya mempersembahkan batuan mulia bagi kuil di Nagapattinam itu.
“Ini berlanjut pada pemberian lampu oleh pedagang Sriwijaya. Sekira tahun1018, penguasa Sriwijaya menyebutkan pemberian hadiah, termasuk cinakkanakam (emas Cina) untuk kuil di Nagapattinam,” tulis sejarawan dari NYU Shanghai itu.
Menurut Tansen bukti-bukti ini membuat banyak tafsiran. Ada yang melihatnya sebagai cara Sriwijaya membangun hubungan komersial dengan dinasti Tamil. Sementara Nilakanta Sastri (1949) melihatnya sebagai bukti hubungan mesra kedua negara sebelum serangan pertama Cola ke Kadaram, salah satu wilayah Sriwijaya di Kedah, pada 1025.
Tansen tak sependapat karena “melalui analisis catatan Tiongkok yang mendalam bisa diindikasikan hubungan Cola dan Sriwijaya sebelum 1025 tak seakrab yang dipikirkan Nilakanta Sastri.”
Tansen menjelaskan, berdasarkan sumber Tiongkok, Song Shi, sebuah catatan bagi Kaisar Huizong (1101-1125) pada 1106, kemungkinan utusan Sriwijaya telah memberikan infomasi yang salah tentang Cola kepada Dinasti Song. Sehingga, Tiongok mengira Cola merupakan negara bawahan Sriwijaya. Bahkan, sampai akhir abad 12, Dinasti Song masih yakin kalau Cola taklukan Sriwijaya.
Dampaknya, status Cola di mata Dinasti Song sama dengan Kucha, negara bawahan Song yang kini di wilayah Xinjiang. Status suatu negara asing ditetapkan lewat kekuatan militernya. Jika status negara tinggi, para pedagangnya mendapat hak berdagang yang lebih menguntungkan di pelabuhan Dinasti Song.
“Menjadikan Cola sebagai negara bawahan Sriwijaya bukan hanya Song memandangnya sebagai kerajaan dengan kekuatan militer lemah karena ditaklukkan Sriwijaya, tapi juga membuat pedagang-pedagangnya hanya mendapat akses terbatas dalam pasar di Dinasti Song,” jelas Tansen.
Ternyata, Sri Lanka pun, wilayah yang ditaklukkan Cola, juga mengira Tiongkok bergantung pada Sriwijaya. Melihat hal ini, menurut Tansen, kemungkinan besar Sriwijaya adalah informan utama Dinasti Song mengenai Asia Selatan. Kesalahan informasi ini mungkin diketahui juga oleh para pedagang Tamil. Mereka mendapat buktinya ketika Cola mengirim utusan pertama kali ke Song pada 1015.
“Kerajaan Sriwijaya harus melakukan langkah preventif untuk mencegah hubungan langsung Cola dan Tiongkok, setidaknya dengan merusak kondisi yang menguntungkan bagi pedangan Asia Selatan,” lanjut Tansen.
Oleh karena itu, Tansen menilai, serangan Cola ke Sriwijaya pada 1017 sangat mungkin terjadi medahului serangan besar pada 1025. Sudah sejak saat itu hubungan Cola dan Sriwijaya meruncing meski sumber Tiongkok tak mencatat peristiwa serangan ini. Namun, kedatangan utusan Sriwijaya ke Dinasti Song tercatat dan mungkin membuktikan hubungan kedua negara. Berdasarkan catatan itu, Sriwijaya mengirim utusan sejak tahun 1018 hingga 1028.
Sementara utusan Cola datang lagi ke Dinasti Song pada 1020. Kepala utusannya, Pa-lan-de-ma-lie-di, tiba-tiba sakit dan meninggal segera setelah tiba di Guangzhou. Namun, tak ada bukti orang Sriwijaya yang membunuh kepala utusan Cola itu. Lima tahun kemudian, Rajendracola menyerang pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya tapi tak membuahkan hasil. Serangan berikutnya pada 1025 juga tak berpengaruh banyak kepada Sriwijaya. Ia masih sanggup memperlihatkan eksistensinya dengan mendapatkan kembali posisinya di Semenanjung Melayu dan tetap menjalin hubungan dengan Tiongkok.
Sejarawan asal Jerman, Hermann Kulke dalam “Naval Expeditions of the Cholas in the Context of Asian History” yang terbit dalam Nagapattinam to Suvarnadwipa mencatat pada 1079 Sriwijaya mendonasikan 600.000 keping emas untuk perbaikan kuil di Kanton. Berdasarkan laporan Tiongkok abad 12 diketahui kerajaan ini kembali dijuluki pelabuhan penting bagi rute perdagangan internasional dari Jawa, Arab, Quilon (Kollam di India), ke Tiongkok.
“Sementara Cola, setelah ekspedisi angkatan lautnya sukses di Sriwijaya mereka justru enggan mengubah keberhasilan militer mereka ke dalam kekuasaan politik yang lebih permanen,” tulis Hermann.
Oleh: Risa Herdahita Putri
Source: historia.id