Ada perpecahan yang mengerikan baik antar individu maupun masyarakat. Kita memulai kalimat dengan kata-kata “kami”, “kamu,” dan “orang lain.” Rasa benci kita tak pernah beranjak ke mana-mana. Kita berkesimpulan bahwa barisan kita yang memuakkan ini, yang tampaknya akan terus berlanjut, masih menanggung perasaan yang akan muncul dalam ketegangan di masa depan. Kita jauh satu sama lain, dan jarak atau perpecahan ini tercermin dalam setiap tindakan kita. Seperti butir-butir tasbih yang terlepas, kita terpencar-pencar berserakan di sana-sini. Kita saling memicu penderitaan yang jauh lebih tak terperikan dibandingkan apa yang dilakukan orang-orang yang tak beriman.
Sejatinya, kita telah mengabaikan Tuhan, sehingga Dia mencerai beraikan kita. Karena kita tidak mampu memercayai dan mencintai-Nya dalam kadar yang semestinya, Dia mengambil rasa cinta dari hati kita. Apa yang kita lakukan sekarang, di lubuk hati yang terdalam yang nelangsa karena jauh dari-Nya, adalah mengucapkan kata-kata egois “aku”, “kamu,” dan mencap satu sama lain sebagai “reaksioner”, “kafir”, “fanatik”, dan untuk terus membuat skenario melengserkan satu sama lain. Seolah-olah kita telah dikutuk, seolah-olah kita benar-benar telah kehilangan rasa mencintai dan dicintai, padahal kita mendambakan kasih sayang dan kebahagiaan.
Kita tidak mencintai-Nya, sehingga Dia membawa pergi cinta kita. Tidak peduli berapa lama kita menunggu, Dia akan membuat kita saling kasih mengasihi satu sama lain apabila kita berpaling kepada-Nya dan mencintai-Nya. Tetapi, kita begitu jauh dari sumber cinta. Jalan yang kita tapaki tidak mengarah kepada-Nya, sama sekali tidak. Sebaliknya, jalan itu membawa kita menjauh dari-Nya. Ruh kita, yang dulunya menerima getaran cinta, sekarang tak merasakan apa-apa. Hati kita seperti padang nan tandus; ada gua-gua di dunia batin kita, menyerupai sarang satwa liar. Cinta Allah adalah satu-satunya obat untuk semua hal yang negatif ini.
Cinta Allah adalah esensi dari segala sesuatu dan merupakan sumber paling murni dan bersih dari semua cinta yang ada. Kasih sayang dan cinta mengalir ke hati kita dari-Nya. Setiap jenis hubungan antar manusia akan berkembang sesuai dengan hubungan kita dengan-Nya. Cinta Allah adalah iman kita, keyakinan kita, dan ruh kita dalam jasad. Dia lah yang menghidupkan kita. Kalau hari ini kita masih hidup itu hanya karena-Nya. Inti dari semua keberadaan adalah cinta-Nya, dan akhirnya adalah penjabaran cinta ilahi dalam bentuk Surga. Dia menciptakan segala sesuatu tergantung pada cinta dan Dia telah mengikat hubungan dengan manusia untuk kebahagiaan yang suci, yaitu untuk dicintai.
Ruang lingkup manifestasi cinta adalah jiwa. Ke arah manapun kita menghadap, akan selalu mengarah pada Tuhan. Penderitaan karena disorientasi dan tersesat dalam aneka ragam kemusyrikan, bukan dalam Keesaan Allah, sudah menjadi bagian dari kita.[1] Jika kita menghubungkan cinta kita untuk segala sesuatu kepada Allah, dan jika kita dapat mengambil cinta dalam arti yang sebenarnya, maka kita akan menjauhkan diri dari berbagai hal yang mencerai beraikan cinta dan kita akan terhindar dari menyekutukan Allah. Sehingga, kita akan tetap seperti mereka yang melangkah di jalan yang benar dengan segala cinta dan hubungan kita dengan semua yang ada.
Orang-orang musyrik telah menganggap berhala-berhala sebagai sesembahan hanya karena berhala-berhala itu disembah oleh nenek moyang mereka. Sebaliknya, Allah dicintai dan disembah karena Dia adalah Allah. Kemuliaan dan Kebesaran-Nya menuntut kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya. Kita selalu berusaha untuk menyembah-Nya, untuk mengungkapkan cinta kita kepada-Nya, mengucapkan terima kasih kepada-Nya atas keberhasilan kita, dan untuk menyuarakan kasih sayang kita kepada-Nya, hubungan kita dengan-Nya, dan tautan kita kepada-Nya.
Dalam cinta duniawi, aspek seperti keindahan, kesempurnaan, bentuk, harmoni dalam penampilan, kebesaran, reputasi, kekuasaan, posisi, status, kesejahteraan, keluarga dan keturunan, dan sebagainya semuanya telah dianggap sebagai alasan untuk cinta. Kadang-kadang, ada orang yang jatuh ke dalam kesesatan menyekutukan Allah, karena mereka cinta dan sayang secara berlebihan pada fenomena tersebut, yang dapat menjelaskan mengapa ada penyembahan berhala. Orang-orang seperti ini biasanya gandrung pada kecantikan wajah atau fisik, atau perilaku, mereka membanggakan kesempurnaan, bersujud di hadapan keindahan dan kebesaran, mengorbankan kemanusiaan dan kebebasan demi kekayaan dan kekuasaan, dan menyanjung keserakahan akan posisi dan status. Dengan cara ini, dengan membagikan cinta dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk yang tak berdaya, mereka tidak hanya menghamburkan emosi, yang semestinya hanya layak dipersembahkan kepada Yang Mahakaya dan Mahaagung, tetapi mereka juga mengalami kematian setelah kematian akibat cinta yang tak terbalas, atau kepada ketidak pedulian dan ketidak setiaan dari apa saja yang mereka cintai.
Adapun orang-orang yang beriman, di sisi lain, mereka dari semula mencintai Allah, dan mereka berbagi kasih sayang kepada orang lain melalui cinta-Nya. Demi manifestasi dan anugerah Yang Mahaesa, mereka tetap berhubungan dengan setiap orang dan segala sesuatu, menyatakan cinta dan menghargai semua ini atas nama-Nya.
Memang benar, tanpa memperhatikan Allah, cinta apapun terhadap obyek apapun akan sia-sia, tidak menjanjikan, patut diragukan, dan tak menghasilkan apa-apa. Di atas segalanya, orang yang beriman harus mencintai-Nya, dan menyukai orang lain hanya karena mereka adalah manifestasi yang penuh warna dan refleksi dari nama dan sifat-Nya. Juga, orang harus memuji semua ini dengan penuh kekaguman, dan setiap kali seseorang melihat hal seperti itu dia harus berpikir, “Ini juga dari Engkau,” dan mengalami masa penyatuan dengan Yang Mahapengasih. Untuk ini, bagaimanapun, kita membutuhkan orang-orang yang suci dan berbudi luhur yang dapat membaca ayat-ayat Allah dalam wajah manusia. Sesungguhnya, bagi mereka yang dapat menguraikan semua ini, setiap makhluk adalah cermin yang bersinar dan puji-pujian tertulis dalam ayat yang agung; di atas segalanya adalah wajah manusia, yang mencerminkan rahasia Yang Mahapengasih.
Yang Mahaadil menjadikan Engkau sebagai cermin Dzat-Nya,
Cermin dari Dzat-Nya yang unik. [Hakani][2]
Betapa berartinya bait di atas, bukan hanya mengingatkan kita akan posisi kita, tapi juga juga menekankan realitas yang ada. Jika manusia adalah cermin misterius dari kecantikan-Nya yang tersembunyi, yang, tanpa diragukan lagi, memang demikian, maka seseorang harus berpaling kepada-Nya dengan mata hatinya, berbaring menunggu untuk menyaksikan berbagai penjelmaan, dan mengharapkan tiupan angin yang akan membawanya ke alam cinta yang dalam. Juga, untuk mendapatkan ridho-Nya, dan dengan demikian, untuk menjadi salah seorang yang disukai-Nya, seseorang harus menggunakan setiap sarana yang tersedia di jalan yang mengarah ke kedekatan-Nya. Seperti kunci dalam gembok Harta Karun, jantungnya harus tetap berdetak sepanjang waktu. Dengan demikian, jika cinta itu dibaratkan Sulaiman dan hati adalah takhta Sulaiman, tak diragukan lagi bahwa raja akan naik takhta, cepat atau lambat.
Sekali Sulaiman naik takhta, atau dengan kata lain, ketika cinta memenuhi hati, orang selalu memikirkan-Nya, berbicara kepada-Nya di dunia batin dan merasakan berkah-Nya, secara terbuka dan eksplisit, di dalam air yang mereka minum, dalam makanan yang mereka rasa dan di udara yang mereka hirup. Selain itu, mereka merasakan kehangatan keakraban-Nya dalam semua tindakan. Hubungan gelombang pasang kedekatan dan cinta begitu mendalam dan hati mereka mulai terbakar seperti api. Kadang-kadang, mereka hancur oleh api cinta, namun, tidak pernah diantara mereka ada yang mengeluh, tidak pernah pula ada yang membuat lelah lainnya dengan desahan mereka. Sebaliknya, orang-orang seperti itu menganggap semua itu sebagai hadiah yang dianugerahkan-Nya. Mereka terbakar bagai tungku tanpa asap atau api. Seperti kesucian, mereka memendam sukacita dan cinta kepada Tuhan, tidak pernah mengungkapkan rahasia apapun kepada orang-orang yang tak bijaksana.
Jalan ini terbuka untuk siapapun. Meskipun demikian, seorang pelancong haruslah tulus dan tekun. Jika orang-orang yang beriman tahu bahwa semua keindahan, kesempurnaan, kebesaran, keunggulan, dan keindahan hanyalah milik Allah, maka mereka akan berpaling kepada Allah dengan suka rela, cinta, dan kasih sayang yang telah terkandung dalam semua sifat tersebut dan mereka mencintai Allah dengan cinta yang sesuai dengan Kemahamuliaan-Nya.
Cinta ini, kalau bukan nafsu, adalah untuk-Nya dan merupakan sumber cinta dan gairah manusia dalam cara yang menyatu. Lagi pula, dalam hati yang terikat pada keseragaman dan yang bersandar pada prinsip-prinsip Islam, orang tidak pernah bisa mengamati penyimpangan apapun, mebiarkan segala bentuk kekacauan cinta. Orang-orang yang beriman mencintai Allah karena Dia adalah Allah, dan cinta mereka untuk Tuhan tidak berhubungan dengan pertimbangan duniawi atau non-duniawi. Mereka menyaring dan menguji mata air cinta yang memancar dan air terjun kegairahan mereka kepada Allah dengan Al-Qur’an dan prinsip-prinsip dari sosok yang paling mulia.[3]
Orang-orang semacam ini juga menggunakan semua itu sebagai penghalang di jalan yang mereka ikuti yang cenderung salah. Bahkan pada saat-saat ketika mereka benar-benar dilanda api cinta, mereka tetap bertindak benar dan adil. Praduga sama sekali tidak penah mencampuri cinta mereka kepada Allah. Sebaliknya, dalam hal Dia sebagai Pemilik Sejati dan Pelindung segalanya, yang dikenal dengan nama dan sifat-Nya, mereka mencintai Tuhan dengan sepenuh hati dengan cinta yang bersih, sakral dan khidmat.
Orang-orang yang briman mencintai Allah lebih dari apa pun, baik sebelum maupun setelah segala sesuatu sebagai Kekasih Sejati, Dambaan Sejati, dan Sesembahan Sejati. Mereka mendambakan Allah dan melalui tindakan apapun yang dapat mereka lakukan mereka berteriak bahwa mereka adalah hamba Allah.
Demi pengabdian ini, pertama, mereka mencintai Nabi Muhammad saw, sosok yang menjadi kebanggaan manusia, yang menjadi pelayan setia, penafsir yang benar terhadap Dzat, Nama dan Sifat Allah, penutup suksesi para nabi dan esensi kerasulan (Semoga Allah melimpahkan salam sejahtera untuk mereka).
Kemudian, mereka mencintai semua nabi lainnya dan orang-orang suci yang menjadi kekasih Allah, cermin paling murni, dan hamba saleh Tuhan Yang Mahakuasa, yang bertindak mewakili tujuan ilahi dan mengawasi bangunan, rancangan, dan ketertiban dunia. Selanjutnya mereka mencintai orang-orang muda, karena Allah menganugerahkan mereka sebagai penghargaan persekot atas umat manusia agar mereka dapat lebih memahami dan mengevaluasi dunia yang fana ini.
Setelah itu, mereka mencintai dunia ini, karena itu adalah sebuah bidang garapan dari alam semesta dan juga merupakan perwujudan dari asmma’ul husna (nama-nama Allah yang indah). Kemudian mereka mencintai orang tua mereka, karena telah menjadi pahlawan cinta dan kasih sayang, dan bertanggung jawab menjaga anak-anak. Akhirnya mereka mencintai anak-anak, karena tulus melindungi orang tua dan juga memiliki kedekatan yang intim kepada mereka. Semua ini dapat dianggap sebagai tanda kasih sayang kepada Allah dan cinta demi Allah.
Orang-rang yang tidak beriman mencintai orang lain seakan-akan mereka mencintai Tuhan, sedangkan orang-orang yang beriman mencintai mereka karena Allah, keduanya sama sekali berbeda. Cinta yang berorientasi kepada Allah semacam ini, yang diresapi melalui iman dan do’a, terasa unik bagi orang-orang yang beriman yang sejati. Sementara cinta ragawi yang didasarkan pada ketidakpatuhan dan diri yang cenderung jahat adalah penjelmaan dari dosa dan ketidaktaatan yang tersembunyi pada sifat manusia, cinta Allah dan ucapan-ucapan para pecinta Allah seperti ramuan suci yang hendak malaikat reguk.
Jika cinta ini tumbuh sedemikian rupa sehingga para pecinta meninggalkan segala sesuatu—material atau spiritual—demi Sang Kekasih, tidak menyisakan apapun untuk diri mereka sendiri, maka yang ada hanyalah Sang Kekasih di dalam hati. Jantung bersiap diri dengan pertimbangan ini, berdetak teratur, sedangkan mata membahasakan cinta dengan air mata. Jantung mencela mata untuk menyingkap rahasia, dan dada untuk menenangkan. Sambil menangis dan berlumuran darah di dalamnya, ia mencoba untuk tidak membiarkan orang lain menanggung penderitaan, dan berkata:
Engkau mengaku jatuh cinta, lalu tidak berduka atas bencana cinta,
Jangan biarkan orang lain larut dalam penderitaanmu atas cinta. (Anonim)
Sebenarnya, cinta adalah raja, jantung adalah takhta, dan keluhan harapan dan kerinduan yang diucapkan pada tikar sajadah di sudut-sudut terpencil adalah suara dari sang Raja.
Seseorang seharusnya tidak pernah membiarkan orang lain mengeluh seperti ini di tempat-tempat terpencil, yang sesungguhnya merupakan tempat berpijak untuk meluncur mencapai Tuhan, karena yang dengan demikian ini akan membuat orang-orang bodoh mengolok-olok mereka. Jika cinta yang spektakuler ini dipersembahkan untuk Yang Mahamengetahui, maka ia harus disimpan di ruang yang paling pribadi, tidak membiarkannya terbang jauh dari sarangnya.
Sambil menceritakan cinta sepele mereka, pecinta konvensional ini berkeliaran kesana-kemari, memproklamirkan cinta mereka kepada khalayak, bertindak seperti orang sinting, membuat cinta mereka tampak oleh semua orang. Orang-orang yang mencintai Allah, di sisi lain, begitu tulus dan tenang.
Sambil menyandarkan kepala di hadapan Allah, mereka mengekspresikan diri hanya kepada-Nya. Berkali-kali mereka pingsan, tetapi tidak pernah mengungkapkan rahasia mereka. Mereka melayani-Nya dengan tangan dan kaki, mata dan telinga, lidah dan bibir dan mereka mengembara di sifat-sifat-Nya yang mulia. Tenggelam dalam cahaya-Nya mereka mencair dan menghilang sebagai hamba-hamba yang siap mati dalam cinta-Nya.
Ketika mereka merasakan dan menyadari keberadaan Allah, mereka terbakar dan berseru, “Lagi!” Saat mereka merasa sampai di puncak hati masih saja mereka berteriak, “Lagi!” Mereka tidak pernah puas dengan cinta meskipun mereka mencintai dan dicintai. “Lagi!” Mereka terus mengulang-ulang. Dan saat mereka terus memohon, Sang Kekasih Agung menyingkap tabir untuk mereka, menyampaikan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, dan juga membisikkan banyak rahasia ke jiwa mereka. Setelah sampai pada titik tertentu apa yang mereka rasakan, apa yang mereka cintai, apa yang mereka pikirkan menjadi Dia.
Dalam segala sesuatu yang mereka lihat mereka temukan penjelmaan yang anggun dari keindahan-Nya. Sambil menyerahkan kekuatan mereka sepenuhnya, pada waktu tertentu mereka menghubungkan kekuasaan kehendak mereka ke milik-Nya, meleleh dalam tuntutan-Nya, dan mengevaluasi tingkatan tinggi ini dengan seberapa banyak mereka mencintai dan dicintai, dan kemudian dengan seberapa banyak mereka mengenal dan dikenal.
Dengan ketaatan dan kesetiaan kepada-Nya, mereka mengekspresikan cinta. Mereka kunci pintu hati dengan baut demi baut seaman mungkin sehingga tak seorang pun pernah bisa memasuki rumah yang murni itu. Dengan seluruh tubuh, mereka menjadi saksi Tuhan, dan pujian serta penghargaan mereka kepada Tuhan jauh melampaui pemahaman mereka.
Di sisi lain, keyakinan mereka akan jawaban Tuhan atas kesetiaan itu, begitu kukuh. Tempat mereka di sisi Tuhan begitu dekat, Tuhan ada di dalam hati mereka, itulah sebabnya mereka berusaha untuk berdiri tegak di hadapan-Nya.
Mereka tidak pernah berlagak seperti seorang kreditur ketika mereka sangat mencintai-Nya; sebaliknya, mereka secanggung seorang debitur. Seperti yang Rabi’ah al-‘Adawiyah[4] katakan, “Aku bersumpah demi Engkau Yang Mahasuci bahwa aku tidak menyembah-Mu karena mengharap Surga-Mu. Lebih dari itu, aku mencintai-Mu dan mengaitkan penghambaanku dengan cintaku.”
Dengan demikian, mereka berjalan dengan cinta yang berpendaran terhadap Dzat-Nya, menjaga rahmat dan kebaikan dalam pikiran. Dengan hati, mereka terus-menerus berusaha untuk tetap dekat dengan-Nya, dan dengan nalar dan kecerdasan, mereka mengamati fenomena dalam cermin asma-asma Allah. Mereka mendengar suara cinta dalam segala hal, terpesona oleh keharuman setiap kuntum bunga, dan menganggap setiap pemandangan yang indah sebagai pantulan keindahan-Nya. Untuk-Nya, semua yang mereka dengar, rasakan, atau pikirkan, tak ada yang lain kecuali cinta, sebagai hasilnya mereka melihat seluruh keberadaan sebagai eksibisi cinta dan, sekali lagi, mendengarkannya sebagai harmoni cinta.
Sekali cinta menancapkan tenda-tenda mewah di lembah-lembah hati, semua peristiwa yang berseberangan tampak sama, seperti perdamaian-kerusuhan, anugerah-bencana, panas-dingin, kenyamanan-ketidaknyamanan, kesedihan-kesenangan, semuanya menyajikan nada yang sama dan mencari cara yang sama. Sungguh, bagi hati yang penuh kasih, penderitaan tidak ada bedanya dengan kebahagiaan.
Bagi mereka, penderitaan adalah obat mujarab, sehingga mereka meneguk kepedihan dan penderitaan seperti meminum air dari telaga Surga. Tidak peduli betapa tak kenal ampunnya waktu dan segala peristiwa, mereka masih kokoh dengan rasa kesetiaan yang mendalam. Dengan mata terpaku pada pintu yang akan dibuka, mereka menunggu untuk menyambut banyak penjelmaan dan kebaikan dalam dimensi yang berbeda. Mereka menobatkan cinta-Nya dengan menghormati dan juga mematuhi-Nya. Jantung mereka berdetak dengan penyerahan dan bergetar karena takut akan ketidakpatuhan kepada Sang Kekasih. Agar tidak terperosok, anehnya, mereka berlindung lagi di bawah Dzat yang Unik, Sumber ketergantungan dan pertolongan.
Endnotes:
[1] Penulis menyinggung “disorientasi dan tersesat dalam aneka ragam kemusyrikan” dalam hubungannya dengan kegagalan untuk menyerah pada kehendak Tuhan Yang Mahaesa, bahkan, menyerah kepada sesembahan duniawi, seperti kekayaan yang berlebihan, penyalahgunaan kekuasaan, kesenangan yang penuh maksiat, dll. Penyembahan terhadap berhala merupakan manifestasi lain dari penyembahan terhadap banyak Tuhan.
[2] Hakani Mehmed Bey (w. 1606): Seorang penyair yang karyanya, Hilya (suatu genre sastra yang menggambarkan ciri-ciri fisik Nabi) menjadi yang pertama dari karya-karya sejenisnya.
[3] Nabi Muhammad saw.
[4] Rabi’ah al-‘Adawiyah (c. 703-805): dikenal sebagai wanita suci yang kesalehannya luar biasa.
Oleh: Fethullah Gulen