Prolog: Cinta Tuhan untuk Manusia
Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan alam semesta terlebih dahulu sebelum penciptaan khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 29-30). Allah juga telah menundukkan segala sumber daya alam di bumi ini untuk manusia, dengan perintah-Nya bahtera berlayar di lautan, dan bahkan dengan restu-Nya langit tertahan, tak jatuh ke bumi. Tidakkah demikian ini membuktikan bahwa Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia (QS. Al-Hajj: 65).
Terlebih lagi, setelah mengajarkan seluruh nama-nama (al-asma`a kullaha) kepada Adam as, Allah SWT memerintahkan para Malaikat yang suci agar bersujud kepada Adam, lalu menempatkannya di surga bersama sang istri, Hawa. Meski kemudian telah melanggar titah akibat rayuan Iblis, yang selalu menjauhkan Adam-Hawa serta anak-turunnya dari Tuhan dan surga (Asy-Syaithan), sehingga mereka berdua diturunkan ke bumi. Tuhan tetap memaafkan sepasang kasih manusia pertama ini setelah mereka bertaubat (QS. Al-Baqarah: 31-37). Dan sungguh Tuhan akan senantiasa memuliakan segenap keturunan Adam, menganugerahi mereka rezeki dari yang baik-baik, dan mengunggulkan mereka dengan keunggulan yang sempura di atas kebanyakan ciptaan-Nya yang lain (QS. Al-Isra`: 70).
Berdasarkan dari ayat-ayat suci diatas, sudah jelas bahwa Tuhan kita mencintai manusia terlebih dahulu sebelum kita sebagai manusia memiliki kemungkinan untuk mencintai-Nya. Prioritas ontologis ini harus selalu diingat. Allah dapat saja menciptkan makhluk yang tidak bisa apa-apa kecuali memuliakan-Nya, dan Dia melakukan itu dengan menciptakan Malaikat dari cahaya-Nya. Tetapi, dalam kasus manusia, Dia menciptakan makhluk yang dianugerahi keistimewaan: kehendak bebas (al-ikhtiyar), yang mampu mencintai-Nya secara sadar, atau juga mampu untuk tidak hanya tidak mencintai, bahkan menolak keberadaan-Nya sendiri[1]. Namun demikian, rahmat cinta-Nya senantiasa tetap meliputi setiap ciptaan-Nya di dunia ini, baik untuk yang meyakini-Nya maupun yang mengingkari-Nya. Karena rahmat tak terbatas-tak terhingga inilah, pertama-tama Allah mengenalkan diri-Nya dalam surat Al-Fatihah (Pembuka Al-Quran) sebagai Ar-Rahman, Dzat Sang Maha Pengasih-Pemurah[2].
Lantas, bagaimanakah kita sebagai makhluk, yang Ia kasih-istimewakan, mampu membalas cinta kasih-Nya?
Membangun Cinta kepada Tuhan: Kiat dan Pengamalan
Tidak ada cinta dengan paksaan. Cinta Tuhan untuk dan kepada manusia merupakan anugerah terbesar, sebagai simbol penghormatan-kemuliaan bagi manusia sekaligus modal utama baginya untuk memilih jalan kehidupan di dunia ini: membalas cinta-Nya dengan mengikuti petunjuk-Nya atau malah menolak-Nya dengan pengabaian dan pendustaan. Masing-masing dari kedua pilihan ini berakhir dengan hasil-konsekuensi yang saling bertolak-belakang sebagaimana yang telah Allah gariskan[3]:
“Kami berfirman: “Turunlah kalian semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepada kalian, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Adapaun orang-orang yang menutup diri dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 38-39)
“Allah berfirman: “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka, jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha: 123-124)
Sudah tentu akal sehat dan naluri manusia kita tidak akan rela merasakan penghidupan yang sempit di dunia, dan kelak menjadi penghuni kekal neraka lagi buta. Akan tetapi masalahnya, ketika kita hendak memutuskan untuk membalas cinta-Nya dengan mencintai-Nya, bagaimanakah kiat mengikuti petunjuk-Nya?
Demi memecahkan masalah inilah, Tuhan menurunkan firman-firman-Nya dari Langit[4] kepada manusia-manusia terpilih, yang umat beriman kenal sebagai para Nabi dan Rasul, yang membawa berita gembira dan peringatan mengancam, supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudahnya mereka diutus (QS. An-Nisa`: 165). Untuk menghadapi dan menaklukkan mereka yang masih membantah dan mungkir atas ajaran Ilahi ini, Allah memberkati para Nabi-Rasul dengan berbagai keistimewaan yang terlihat luar biasa, yang biasa disebut dengan mukjizat.
Sebagai pamungkas para Nabi yang paripurna (khatamun Nabiyyin), Rasulullah Muhammad Saw. diperintah Tuhan agar mengikuti jejak-jalan petunjuk para Nabi sebelumnya, dan menegaskan bahwa Al-Quran yang diturunkan kepadanya tidak lain merupakan peringatan untuk seluruh umat semesta (QS. Al-An’am: 90). Karena itu, firman Allah agar Muhammad mengatakan:
“Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutlah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran: 31).
Setidaknya, ada dua kiat yang ditawarkan Islam untuk membangun cinta kepada Tuhan, agar kita bisa mengikuti Rasul Muhammad dan petunjuk Tuhan, sehingga kita mampu menelusuri jalan spiritual menuju taman cinta-Nya. Dua kiat ini akan penulis jelaskan secara singkat sebagai berikut:
1. Meyakini Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa
Bagaimana mampu mencintai Allah jika tak meyakini-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Esa? Namun, bagaimana pula mungkin kita bisa meyakini-Nya tanpa mengenal-Nya terlebih dahulu? Al-Quran mengisahkan berbagai perjuangan para Nabi untuk mengenalkan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa kepada kaum mereka agar mereka meyakini dan beriman kepada-Nya. Nabi Ibrahim, misalnya, mengamati sang ayah dan kaumnya di kerajaan Babilonia meyembah berhala, bintang-gemintang, rembulan, dan matahari.
Maka dengan lembut, tegas dan lugas, Nabi Ibrahim memperingatkan mereka atas titik sesat agama mereka: Tuhan tidak mungkin “tak bisa berbicara-tak bermanfaat atau malah terbenam atau berubah-ubah dari tiada ke ada serta sebaliknya”, lalu Nabi Ibrahim mengajari mereka pandangan akal yang sehat-sistematik untuk menemukan dan mengenali Tuhan bahwa “Alam semesta ini berubah, dari semula tak ada menjadi ada, kemudian bisa jadi kembali tidak ada. Jadi, siapakah yang menciptakan “perubahan” alam semesta raya ini?” Maka, Sang Penciptalah yang berhak sebagai Tuhan sejati, yang tak sepatutnya dipersekutukan (QS. Al-An’am: 74-80)[5].
Di surat yang lain, Al-Quran juga memberi kunci bagaimana Nabi Ibrahim mendapat petunjuk (hidayah-huda) dari Allah sehingga bisa menemukan dan mengenal Tuhan yang sejati. Selain menggunakan akal pikiran yang sehat, Nabi Ibrahim juga memiliki hati yang bersih-suci (QS. Ash-Shaffat: 84). Dari dua surat diatas, bisa disimpulkan bahwa ajaran Nabi Ibrahim tentang ketuhanan adalah Monotheisme yang bersih, atau Tauhid sejati. Tidak ada Tuhan melainkan Allah. Tetapi setelah bergulirnya waktu hingga tiba terutusnya Nabi Muhammad, Tuhan Nabi Ibrahim yang masyarakat Arab-Quraisy dakwahkan itu hanya tinggal nama. Masyarakat Makkah dan Arab saat itu telah kembali menyembah hingga 360-an berhala, yang mengelilingi Ka’bah[6], padahal dahulu didirikan Nabi Ibrahim bersama putranya Nabi Isma’il untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa (QS. Al-Baqarah: 127).
Ketika masyarakat Makkah dan beberapa ahli agama di Arab mulai mempertanyakan konsep ketuhanan yang dibawa oleh Nabi Muhammad, maka Allah pun menjawab rasa penasaran mereka dengan menurunkan surat Al-Ikhlash yang agung:
“Katakanlah (wahai Muhammad): “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”(QS. Al-Ikhlash: 1-4)
Dengan kisah kedua Nabi Allah di atas, lengkaplah sudah bagaimana kita bisa mengenal Tuhan yang Maha Esa dan konsep ketuhanan perspektif Islam melalui kitab sucinya, Al-Quran Al Karim. Dengan mengoptimalkan perangkat akal-sehat dan jiwa-naluri atas petunjuk-Nya, manusia pasti mampu mengenal Allah dan meyakini-Nya sebagai Sang Pencipta Tunggal, yang bukti-bukti keagungan-Nya terhampar luas dalam setiap ciptaan-Nya (al-Âyât al-Kauniyyah, QS. Al-Baqarah: 164) dan juga terjelaskan dalam ayat-ayat suci Al-Quran.
2. Memperbanyak Mengingat-Nya
Mengenal dan meyakini Tuhan tidak serta-merta membuat seseorang langsung jatuh cinta kepada-Nya. Memang keduanya merupakan prasyarat mencinta-Nya, tapi tentu merengkuh cinta Tuhan tak semudah membalik tangan, bukan? Keyakinan iman kita harus diperkuat dan terus diperbaharui dengan kiat kedua: senantiasa berupaya memperbanyak ingat kepada-Nya sepanjang waktu. Sulit? Tidak terlalu juga.
Hal termudah agar kita senantiasa mengingat-Nya adalah membiasakan untuk menghubungkan segala kenikmatan dengan Tuhan Sang Pemberi nikmat. Ingatlah, segalanya yang kita miliki merupakan nikmat dari Tuhan, yang sepatutnya mengingatkan kita kepada-Nya. Untuk meningkatkan daya ingat ini, Rasulullah Saw. mengajarkan kita untuk meluapkan harapan (doa) pada setiap aktivitas: Ada doa tidur-bangun dari tidur, doa makan-setelah makan, doa masuk toilet-keluar toilet, dan seterusnya. Bila kita mengingat-Nya setiap kali nikmat “mendatangi” kita, terlebih kita amalkan doa-doa ini dengan menghayati kandungannya, pastilah ingatan kita kepada Allah Swt akan menyuburkan benih-benih cinta Ilahi di dalam sanubari.
Inilah cara termudah yang Rasulullah tunjukkan kepada kita: “Cintailah Allah karena segenap nikmat-Nya yang Ia karuniakan kepadamu….”[7].Semakin banyak mengingat-Nya, semakin tenteram jiwa kita, semakin besar cinta kita kepada-Nya, hingga tergolong sebagai Ulul Albab, yaitu orang-orang yang senantiasa mengingat Allah disaat berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring. (QS. Ali Imran: 190-191), hingga menjadi Mukmin sejati. Kriterian seorang mukmin sejati adlah mereka yang ketika disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dilantunkan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada Tuhanlah mereka berserah diri (QS. Al-Anfal: 2).
Epilog: Cinta Tuhan Melahirkan Cinta Sesama
Selain meningkatkan kualitas-kuantitas ketaatan religi, cinta kepada Tuhan juga meniscayakan cinta sosial terhadap sesama. Sejak periode Makkah, Al-Quran telah mengkategorikan orang yang sering menghardik anak yatim dan enggan menganjurkan memberi makan kepada orang miskin sebagai orang yang mendustakan agama (QS. Al-Ma`un: 1-3). Ketika memasuki episode Madinah dalam banyak kesempatan, Al-Quran tak jarang menyerukan umat beriman untuk menunaikan zakat, yang merupakan simbol cinta sesama, setalah perintah salat, yang merupakan menifestasi cinta kepada Tuhan[8].
Cinta sesama juga selalu ditekankan oleh Rasulullah Saw, yang memang diutus untuk misi menebar cinta kasih kepada semesta alam raya (QS. Al-Anbiya`: 107). Banyak teladan dan hadits Nabi Kasih ini tentang cinta sesama. Diantaranya, yang paling berkesan bagi penulis:
1. “Siapa yang tak mengasihi manusia, takkan pernah Allah kasihi.”[9]
2. “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, hingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.”[10]
3. “Orang-orang yang penuh kasih sayang pasti disayang Allah yang Maha Rahman: (Maka dari itu,) kasihilah semua makhluk di muka bumi ini, niscaya semua makhluk di langit mengasihi kalian.”[11]
Sifat cinta sesama akan selalu terpancar dari setiap hamba yang mencintai Rabb-nya. Karena memang sumber segala jenis cinta lahir dari rahim yang sama: cinta Tuhan kepada makhluk-Nya, baik disadari atau tidak. Bahkan, kepada mereka yang dzalim pun, para kekasih Tuhan akan membalasnya tidak dengan kelaliman, tapi dengan belas cinta kasih.
Salah satu dari para kekasih Tuhan yang terekam jejaknya dalam beberapa literatur tafsir Al-Quran adalah seorang tua-renta bernama Habib An-Najjâr, yang hendak mencegah kaumnya agar tidak membunuh para utusan Nabi Mulia Isa Al-Masih[12]. Meski terjangkit penyakit kusta, ia dengan tulus berjalan dari ujung kota demi menasihati kaumnya yang lalim.
Namun, apa balasannya? Mereka malah merajam-melempari orang lemah ini dengan batu demi batu. Di tengah serbuan yang mematikan itu, ia justru terus-menerus memanjatkan doa kepada Tuhan: “Duhai Tuhan, berilah petunjuk pada kaumku, sebab sungguh mereka belum tahu.”Tak ada satupun orang yang berani menahan amukan massa ini, hingga akhirnya ia pun tewas mengenaskan.[13]
Atas cinta kasih pengorbanan dan ketulusan tokoh bernama Habib ini, Al-Quran meyakinkan bahwa setelah meninggal: “Dikatakan (kepadanya): “Masuklah engkau ke surga!” Ia berkata: “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun, dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” (QS. Yasin: 26-27).
Sebagai penutup, izinkan penulis akhiri paper sederhana ini dengan puitisasi kisah heroik diatas sebagai berikut:
Saat diantara hidup dan mati
Matanya sedikit terpejam
Lalu cahaya-Nya tiba melintas
Surga, ia terlihat nyata
Namun, ada sedikit sesal yang masih ia simpan
Andai….andai
Bukan bahagia dulu yang ia tumpahkan
Melainkan tangis harap, yang mungkin sudah melambat
Andai mereka sadar
Andai mereka merasa
Andai mereka melihat
Andai mereka tahu betul
Apa yang kini kurasa
Apa yang kini kulihat
Luasnya ampunan
Gelimang pahala yang membuatku terhormat
Ah, andai saja
Isak batinnya, pedih
Konon, dalam catatan suatu riwayat, ia disalib di atas pintu sebuah kota tua itu
Ada juga yang mewartakan, setelah tercekik rantai, tubuhnya dimutilasi, kecil-kecil, lalu dipamerkan pada keramaian pasar
Ia terkubur disana
Meski diperlakukan keji, ia tak pernah sekalipun menyimpan dendam
Hingga surga menjemput, hatinya begitu welas dan memelasi mereka yang membunuh
“Kekasih Tuhan,” seseorang lagi memberiku bisikan, “takkan pernah tersulut api amarah, tapi senantiasa mendoakan baik untuk siapapun.”
Kuala Lumpur, Dini Rabu, 01 Februari 2017
Mohammad Roby
_________________________
Paper ini dibentangkan pada World Interfaith Harmony Week 2017 di University Malaya.
Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Ushulfiqh, International Islamic University Malaysia.
1) Sayyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: Meneguk Sari Tasawuf, (Bandung: Mizan, 2007), h. 93.
2) Al-Husain Al-Baghawi, Ma’alimut Tanzil (Tafsir Al-Baghawi), (Riyadh: Dar Thaybah, 1997), vol. 1, h. 1; Abdur Ra`uf As-Sinkili, Turjumanul Mustafid, (Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 2014), h. 2.
3) Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Al-Hubb fil Qur`an, (Damaskus: Darul Fikr, 2011), h. 21-24.
4) Diriwayatkan bahwa Sahabat Ubay bin Ka’ab pernah bertanya kepada Rasulullah Saw: “Berapakah kitab suci yang Allah turunkan?” Nabi Muhammad Saw pun menjawab: “Ada seratus empat kitab. Diantaranya: sepuluh Shahifah kepada Adam, kepada Syits lima-puluh Shahifah, lalu kepada Idris tiga-puluh Shahifah, dan kepada Ibrahim sepuluh Shahifah. Kemudian, kitab At-Taurat (Musa), Al-Injil (Isa), Az-Zabur (Daud), dan Al-Furqan (nama lain dari Al-Qur`an). Hanya saja, tulis Syekh Nawawi Banten, lebih tepat tidak perlu menghitung firman-firman Tuhan dalam bilangan tertentu, sebab saking banyaknya riwayat hadits yang berbeda-beda. Dan yang terpenting, wajib atas seorang Muslim meyakini bahwa Allah telah menurunkan beberapa kitab suci dari Langit, dan ia harus tahu empat kitab suci yang telah tersebut dalam akhir kutipan riwayat Ubay bin Ka’ab ini. Lihat: Syekh Nawawi Banten, Qathrul Ghayts, h. 14.
5) Mahmud Az-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyaf, (Bairut: Darul Kutubul ‘Arabi, 1407 H), vol. 2, h. 9.
6) Hamka, Studi Islam, (Singapura: Alharamain Pte Ltd), h. 2.
7) Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari Sahabat Ibn ‘Abbas, Sunan At-Tirmidzi, (Bairut: Darul Gharb Al-Islami, 1998), vol. 6, h. 134, no. 3789.
8) QS. Al-Baqarah, 43, 83, 110, 177, 277; QS. An-Nisa`: 77, 162; QS. Al-Ma`idah: 12, 55; QS. Al-Hajj: 78, dst.
9) Al-Mundziri, At-Tarhib wat Targhib, vol. 3, h. 210.
10) Hadits riwayat Muttafaqun álaih; Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, no. 13, dan Muslim, no. 45.
11) Hadits riwayat At-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya, no. 1924.
12) Menurut salah satu riwayat, nama para utusan mulia tersebut adalah Syam’un, Yohana, dan Polish. Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, (Riyadh: Dar Thaybah, 1999), vol. 6, h. 569.
13) Ibid., vol. 6, h. 570-73.