Home / Agama / Thariqat/Tasawwuf / Cinta Adalah Hukum Tanpa Batas

Cinta Adalah Hukum Tanpa Batas

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku, dalam Cinta Allah yang mengikuti tasawuf dan bertarekat itu adalah “Hukum Tanpa Batas”. Berikut ku sampaikan sebuah artikel menarik yaitu tentang cinta manusia yang telah menembus batas kemanusiaan dan telah memasuki batas ke-Ilahi-an. Namun sedemikian tingginya paparan kitab ini selayaknya kita wajib didampingi seorang Guru Mursyid karena tanpa pengetahuan yang cukup maka kita akan masuk kepada pelanggaran Syariat dan dianggap melalaikan hukum kewajiban berketuhanan.

Selain ridha, fana dan seterusnya cinta merupakan salah satu maqam tertinggi. Abu Thalib al-Makki dalam kitab ‘Qût al-Qulûb fî Mu’âmalatil Maĥbûb’ menjelaskan bahwa: “Cinta merupakan maqam sufi yang paling tinggi. Cinta adalah anugerah terbesar yang Allah karuniakan kepada para hambanya yang benar-benar ikhlas beribadah. Cinta juga puncak anugerah Allah yang paling tinggi. Allah berfirman: Ia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya (al-Maidah: 54). Cinta juga memiliki arti yang sama dengan ridha.”

Setelah mengemukakan demikian, Abu Thalib al-Makki menambahkan dengan mengatakan demikian: “Zaid bin Aslam menjelaskan bahwa ‘sesungguhnya Allah ketika cintaNya kepada seorang hamba mencapai ujung batasnya akan berkata: perbuatlah sesukamu, sungguh aku telah mengampunimu.”

Abu Thalib juga mengutip hadits yang bunyinya: “Jika sudah mencintai seorang hamba, Allah tak akan lagi mempedulikan dosa-dosanya.” Keterangan yang disampaikan oleh Abu Thalib al-Makki ini seolah menegaskan secara jelas bahwa jika seorang hamba sudah sangat dicintai oleh Allah, ia sudah terbebas dari beban menjalankan syariat.

Dalam ensiklopedi tasawwufnya, al-Futuhat al-Makkiyyah, Ibnu Arabi menjelaskan konsep cinta secara lebih detail dan mungkin lebih tegas terutama mengenai terbebasnya seorang hamba yang mencintai dan dicintai Allah dari beban menjalankan syariat. Menariknya, penjelasan Ibnu Arabi ini didasarkan kepada al-Quran dan al-Hadits dan kedua sumber ini ditafsirkan sesuai dengan mazhab tasawwufnya.

Pemaparan tentang cinta dalam al-Futuhat al-Makkiyyah ini dapat kita temukan dalam bab yang berjudul “na’tul muĥibbi bi-annahu jawâzal ĥudûd ba’da ĥifdzhihâ” (Seorang Pencinta akan terlepas dari menjalankan syariat setelah sekian lama menjalankannya). Tentu yang dimaksud pecinta di sini ialah seorang sufi yang sudah mencapai tingkat tertinggi maĥabbah, tingkat terbukanya tabir ilahi, darajat al-kasyaf wal ‘ilm. Pada tataran ini, seorang pencinta sudah bisa dikatakan telah terbebas dari beban-beban syariat, beban yang sebenarnya masih harus dipikul oleh kaum sufi yang masih dalam posisi hal (shâĥibul ĥâl).

Untuk memperkuat kesimpulan ini, kita perlu membaca secara langsung kutipannya. Sengaja disajikan di sini dalam kutipan yang agak panjang agar kita dapat menyelami samudera kasyafnya Ibnu Arabi:

“Allah SWT telah memilih para pencinta-Nya dari sekian hamba-hambaNya yang lain. Para pencinta Allah inilah yang dimaksud dalam hadits: “Seorang hamba telah melakukan dosa lalu ia tahu bahwa ia punya Allah yang akan mengampuni dan menghilangkan dosa. Lalu Allah pun berkata kepada hamba tersebut: “lakukan sesuka hatimu, sungguh aku telah mengampuni dosamu,” lalu Allah pun membolehkan semuanya untuknya dan menghilangkan beban syariat baginya. Hal demikian karena tidak mungkin Allah menyuruhnya melakukan keburukan.

Para pecinta Allah tidak akan mungkin melakukan dosa kepada-Nya. Mereka telah dibebaskan oleh Allah untuk melakukan apapun yang mereka kehendaki. Sebelum mencapai ke posisi ini (terbebas dari beban syariat), para pecinta Allah sebenarnya dulunya masih dibebani untuk menjalankan syariat dan ketika sudah mencapai puncak tingkat maĥabbah, mereka sudah tidak lagi dibebani kewajiban untuk melaksanakan syariat. Allah telah mengaruniakan kepada mereka kemuliaan ilmu… Ini tentu berbeda dari shaĥibul ĥâl (yang masih belum mencapai tingkat kasyaf).

Hukum yang berlaku bagi shaĥibul ĥâl ialah sama seperti hukum orang gila yang terlepas dari taklîf syar’i. Mereka ketika melakukan kebaikan dan melakukan keburukan tidak diberi pahala dan juga tidak diberi sanksi. Kondisi ini jelas berbeda dengan orang-orang yang sudah mencapai tingkat maĥabbah tertinggi. Dengan kata-kata lain, para pencinta Allah masih diberi pahala namun tidak mendapat siksa (walaupun melakukan dosa).”

Ibnu Arabi dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah kemudian menambahkan alasan terbebasnya para pencinta Allah dari menjalankan syariat demikian;

الْحُبُّ مَزِيْلٌ لِلْعَقْلِ، وَمَا يُؤَاخِذُ اللّٰهُ إِلاَّ الْعُقَلآءَ، لاَ الْمُحِبِّيْنَ، فَإِنَّهُمْ فِي أَسَرِهِ، وَتَحْتَ حُكْمِ سُلْطَانِ الْحُبِّ

“Cinta dapat menghilangkan akal sedangkan Allah hanya mengambil perhitungan hukum bagi orang-orang yang berakal, bukan bagi orang-orang yang mabuk cinta kepada-Nya. Para Pencinta Allah masuk ke dalam lindungan-Nya dan mereka dikendalikan oleh kuasa cinta.”

Jadi, landasan pembebanan syariat bagi seorang hamba ialah karena berakal. Namun karena seorang hamba terlalu cintanya kepada Allah, sampai-sampai akalnya hilang. Hilangnya akal berarti terbebas dari kewajiban melaksanakan syariat. Untuk lebih memperjelas lagi, Ibnu Arabi juga masih dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah menegaskan demikian:

الْمُحِبُّ غَيْرُ مُطَالِبٌ بِالْآدَابِ، إِنَّمَا يُطَالِبُ بِاْلأَدَبِ مَنْ كَانَ لَهُ عَقْلٌ، وَصَاحِبُ الْحُبِّ وَلَهَانِ مَدَّلَهُ الْعَقْلُ، لاَ تَدْبِيْرَ لَهُ فَهُوَ غَيْرُ مُؤَاخِذٌ فِي كُلِّ مَا يَصْدُرُ عَنْهُ

“Seorang Pencinta tidak dituntut untuk menjalankan adab syariat. Yang dituntut menjalankan adab seperti ini ialah orang-orang yang berakal. Para pencinta Allah tidak dikendalikan oleh akal dan oleh karena itu pula mereka tidak terkena beban syariat dan perbuatan-perbuatan mereka tidak terkenai sanksi.”

Jadi, dalam pandangan Ibnu Arabi, jika sudah mencapai puncak kewalian dengan melewati tingkatan ridhâ, maĥabbah dan fanâ tertinggi, seorang sufi-wali sudah tidak lagi terbebani menjalankan ibadah-ibadah formal seperti yang dilakukan oleh kalangan awam pada umumnya. Kaum sufi-wali sudah terbebas dari menjalankan syariat atau kalau kita pinjam bahasa al-Hujwiri dalam Kasyful Maĥjûb:

لِأَنَّهُمْ تَحَرَّرُوْا مِنْ مَشَقَّةِ الْمُجَاهَدَةِ وَخَرَجُوْا مِنْ قَيْدِ الْمَقَامَاتِ وَتَغَيُّرِ اْلأَحْوَالِ وَوَصَلُوْا إِلَى إِدْرَاكِ الطَّلَبِ

Li-annahum taĥarrarû min masyaqqatil mujâhadah wa kharajû min qaidil maqâmâti wa taghayyuril aĥwâl wa washalû ilâ idrâkith thalabi

Mereka terbebas dari letihnya mujahadah dan terlepas dari pencapaian maqam dan perubahan ahwal…“.

Wallâhu A’lam.

 

About admin

Check Also

Mintalah Allah dan Tidak Meminta MakhlukNya

“Bila meminta masuk surga dan terhindar dari neraka maka berarti kita masih meminta makhluk ciptaanNya” ...