[Catatan ke – 1 ] : “Sesuai Fitrah Perkawinan” (Candra Malik, dalam “Makrifat Cinta”)
Sebuah pernikahan. Maka serah-terima (ijab-qabul) adalah syariat yang harus ditempuh, yang menjadi tarekat adalah resepsi pernikahan itu yang penuh puja-puji sesuai kedudukan dan keadaan masing-masing. Padahal hakikat dari perkawinan itu adalah segala apa yang ditutupi oleh kelambu dan yang sejak malam pertama disebut aib, tabu, misteri, dan rahasia —yang hanya suami dan istri yang tahu, dan makrifat dari pernikahan itu adalah mengakrabi-diakrabi antara yang mencintai dan yang dicintai sesuai dengan fitrahnya.
Menempuh syariat atau pelaksanaan hukum semata-mata untuk sejak awal mewujudkan sakinah (ketenangan). Tarekat atau perayaan pernikahan diadakan dengan harapan semakin merangsang mawaddah (gelora cinta). Sejak disahkan sebagai suami istri maka telah sampailah kedua mempelai pada hakikat pernikahan yaitu membangun keluarga yang mengekalkan rahmat atau anugerah kasih sayang. “Supaya engkau cenderung merasa tenteram, dan dijadikan di antara engkau rasa kasih dan sayang“, seperti termaktub dalam QS Al-Rum [30]:21, yang dari pernikahan inilah manusia menyadari fitrahnya, inilah Makrifat Cinta.
Fitrah manusialah untuk saling mencintai antara laki-laki dan perempuan, menikah, memiliki anak, dan membangun keluarga. Dari fitrah ini, sepasang manusia menjadi perantara Al-Fathir, Sang Pencipta, dalam menciptakan manusia. “Dan Allah menciptakan engkau dari tanah, kemudian dari air mani, kemudian menjadikan engkau berpasangan.”(QS Fathir [35]:11).
Maka jelaslah apa yang dimaksud dengan Idul Fitri, yaitu kembali kepada fitrahnya, kembali kepada Kesadaran asal muasal kejadian. Manusiawi dan sesuai fitrah manusia pula jika Muhammad Saw melalui hadits yang diriwayatkan Dailami dan Abu Dawud, bersabda bahwa dia menyunnahkan pernikahan dan menganggap siapapun umatnya yang sanggup menikah, tetapi tidak mau menikah, alias menyalahi fitrah manusia itu, sebagai bukan umatnya.
Dengan jalan kelahiran, manusia hadir di muka bumi, lalu makrifat atau mengenal kehidupan. Dari sinilah manusia kemudia mempelajari penciptaan dirinya, menelusuri jati diri, menemukan kesejatian hidup, dan mencapai Kesadaran asal-muasal kejadian.
Dengan jalan senggama yang dimuliakan, syahwat tidak hanya dilampiaskan, tetapi disempurnakan sebagai ibadah asyik-masyuk sepasang kekasih, dan inilah hakikat keintiman antara yang mencintai dan yang dicintai.
Dengan jalan perayaan pernikahan, organisasi rumah tangga mereka menjadi pemahaman bagi masyarakat, sebagaimana inti dari tarekat, yaitu menjadi sarana transportasi publik untuk tujuan tertentu. Dengan jalan pernikahan yang sah maka tidak ada yang dilanggar dari Sunatullah dan sunnah Rasulullah, sebagaimana syariat seharusnya dikukuhkan.
“Barangsiapa mengenal diri, ia mengenal Ilahi”, adalah petuah yang sungguh benar. Mengenal diri, itulah Suluk. Mengenal Sang Pencipta, dimulai dari mengenali dengan materi apa diri ini diciptakan, yang menurut QS Al-Thariq [86]:6-7, “Diciptakan dari air mani yang dipancarkan. Keluar di antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan”.
Dari pendekatan ini, sepasang suami-istri bisa mencapai makrifat dengan penyatuan tubuh yang sah, yang padanya sistem reproduksi bekerja. Manunggal dalam gairah kasih dan gelora cinta.[]
[Catatan ke – 2 ] : “Cinta Lelaki-Perempuan” (Haidar Bagir, dalam “Islam-Risalah Cinta dan Kebahagiaan)
Perkawinan, sebagai tanda-tanda-Nya. Maka, kita pun bertanya, tanda-tanda apa? Sesungguhnya apa saja yang baik, yang benar, yang indah adalah tanda-tanda Allah—yang Dia sendiri adalah yang Mahabaik, Mahabenar, dan Mahaindah. Akan tetapi, tak ada tanda Allah yang lebih agung daripada cinta. Karena sesungguhnya, yang merangkum semua sifat Allah adalah cinta. “Tuhan adalah Cinta”. Demikian seperti yang disabdakan dalam sebuah hadits.
Allah sendiri telah memberikan isyarat terhadap pertanyaan di atas dengan firman-Nya : “Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS [51]:49).
Kata “berpasang-pasangan” adalah terjemahan dari kata “azwaj”, yang berakar kata sama dengan kata “zawaj” (berarti perkawinan). Makna asli kata ini adalah “bergabung menjadi satu, menggenapkan”.
Dengan kata lain, sebelum terjadi pemasangan, unsur-unsur yang terlibat belumlah genap, yakni masih merupakan pecahan. Terkait dengan makhluk manusia, “kebelum-genapan” atau “keterpecahan” ini membuatnya selalu rindu untuk mendapatkan unsur lain penggenapnya, yang dengan demikian menjadikan dirinya tak lagi belum genap atau terpecah.
Kerinduan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, dan sebaliknya, adalah tanda (sekaligus pengingat) bagi kerinduan yang seharusnya hadir dalam hubungan manusia dengan Allah Swt. cinta Allah kepada manusia dan alam semesta, serta cinta manusia kepada-Nya.
Cinta yang tulus, yang berintikan kebahagiaan dalam berbakti kepada yang dicintai, dan seharusnya tercipta dalam perkawinan akan memberikan kilasan tentang cinta dan kerinduan yang seharusnya mewarnai hubungan setiap makhluk dengan Sumbernya.
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu amat dalam cintanya kepada Allah.”(QS [2]:165).
Allah Swt telah menciptakan manusia dengan fitrah kecintaan kepada-Nya. Bukankah, manusia menyimpan di dalam dirinya tiupan Ruh-Nya, bagian Diri-Nya? Maka, seperti tetesan-tetesan air, entah itu air sungai, air hujan, atau embun pagi, ia selalu rindu untuk kembali ke laut, sumbernya.
Sesungguhnya, yang benar-benar merupakan soulmate (belahan jiwa) manusia adalah Allah Swt. Dan hanyalah bungkusan aspek fisik manusia dan keterikatan dengan badan yang terus didorong-dorong oleh nafsu saja yang menyebabkannya lupa kepada Kekasih-sejatinya ini.
Sekali lagi, perkawinan, pemujaan, dan cinta-kasih yang tulus, yang seharusnya terkembang dalam sebuah perkawinan yang baik adalah tanda hubungan pemujaan dan penuh kasih antara manusia dan Allah Swt. sebuah penanda yang pada gilirannya, semestinya dapat mengingatkan setiap laki-laki dan perempuan yang saling mencinta itu akan cinta sejatinya.
Jadi, perkawinan dalam Islam memiliki nilai spiritual yang amat mendalam, bukan saja karena ia adalah tindakan menyalurkan syahwat dalam bingkai aturan syari’ah, bahkan juga bukan hanya sebuah bentuk hubungan kasih sayang yang memang dianjurkan Islam. Jauh lebih dalam dari itu, perkawinan adalah tanda Allah yang melaluinya, manusia diingatkan akan hubungan penuh kecintaan-nya dengan Kekasih-sejatinya itu.
Ini sebabnya Rasulullah Saw menyatakan, “Tiga hal dari duniamu telah dibuat menyenangkan bagiku, yakni perempuan, wewangian, dan shalat. (Tetapi) cahaya mataku terdapat dalam shalat.” Dia menyebut shalat terakhir karena shalat adalah tujuan dari ketiganya. Artinya, perempuan (istri) dan wewangian menenangkan serta memperkuat hati, yang dengan kekuatan hati itu beliau menyibukkan diri dengan (ibadah) shalat dan mendapatkan cahaya-mata (kecintaan)-nya di situ.
Menurut Al-Ghazali, hati manusia memperoleh ketenangan dan keintiman bercengkerama dengan pasangannya. Ketenangan ini dapat meningkatkan hasrat untuk beribadah karena kegiatan untuk beribadah dapat menguras tenaga dan menimbulkan kelelahan. Ketenangan yang diperoleh dengan cara ini memulihkan kekuatan hati. Sayyidina Ali r.a berujar, ”Jangan sepenuhnya menghilangkan kerehatan dan ketenangan hati agar ia tak menjadi buta.”
Kadang terjadi, Rasulullah Saw merasakan beban berat ketika menerima wahyu, dan beliau Saw akan memegang tangan Aisyah dan berkata “Bicaralah kepadaku, Aisyah”. Kemudian, beliau mendapatkan kembali kekuatannya maka kehausan untuk melanjutkan dakwah dan beribadah kepada Allah akan menguasainya kembali, dan beliau akan berkata, ”Buat kami senang, wahai Bilal.” Dan beliau pun akan kembali melakukan shalat.[]
[Catatan ke – 3] : “Perjanjian Suci nan Perkasa” (Jalaluddin Rakhmat, dalam “Jalan Rahmat-Mengetuk Pintu Tuhan)
Sebentar lagi kita akan melihat dan mendengarkan pernyataan dua anak manusia dalam ijab dan qabul. Kalimat-kalimatnya terdengar bersahaja, tetapi akibatnya luar biasa.
Dengan kedua kalimat itu, perbuatan maksiat menjadi peribadahan. Hubungan amaliah menjadi ikatan kesucian, pernyataan yang sederhana menjadi perjanjian yang perkasa. Tuhan kita menyebutnya “mitsaqan ghalizha”, atau perjanjian yang kokoh, kuat, dan suci. Ijab dan qabul bukan hanya perjanjian di antara manusia, ia adalah perjanjian yang dipertahankan dan diteguhkan dengan perintah Ilahi.
Allah Swt memperingatkan para suami untuk memperlakukan istri-istrinya dengan baik. Mengapa? Karena Allah Azza wa Jalla berfirman, “Istri-istri kamu telah mengambil dari kalian perjanjian yang perkasa, wa akhadzna minkum miitsaaqan ghaliizhan.” (QS [4]:2).
Sebentar lagi, kita akan menyaksikan mitsaqan ghalizan. Ribuan tahun yang lalu, Allah Swt pernah menghadirkan para nabi, dan secara khusus memanggil para pemimpin para nabi dan rasul yang disebut Ulul ‘Azmi, bukan saja untuk menyaksikan tetapi juga mengikatkan diri dalam perjanjian yang juga disebut mitsaqan ghalizan ini. Dia berfirman, ”Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu sendiri (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang perkasa.” (QS [33]:33). Di hadapan kebesaran Allah Swt, dihadapkan kepada perjanjian yang perkasa, manusia-manusia suci itu bergetar hatinya, berguncang dadanya, dan tunduk patuh seluruh jiwa raganya.
Ribuan tahun yang silam, Tuhan mencabut bukit Sinai, menggerakkannya di angkasa dan menggantungkanya di atas kepala orang-orang Bani Israil. “Dan telah Kami angkat di atas kepala mereka bukit Thursina untuk menerima perjanjian yang telah Kami ambil dari mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka: “Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud”. Dan Kami perintahkan pula kepada mereka: “Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu” dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang perkasa-miitsaaqan ghaliizan.”(QS.[4]:154).
Kemudian, Bani Israil melanggar miitsaaqan ghaliizan ini, dan Tuhan mengutuk mereka, ”Jadilah kalian monyet-monyet yang terkutuk.”(QS.[2]:65).
Sebentar lagi, dua hamba Allah akan mengikatkan diri dalam perjanjian suci dan perkasa, miitsaaqan ghaliizan. Apabila ketika mengucapkan ijab dan qabul ini, hati anda bergetar, dada anda berguncang, jantung anda bergemuruh, ketahuilah anda memang sedang berjanji di hadapan Tuhan –tangan anda tengah memegang tangan Tuhan.
Anda berdua terikat dalam suatu perjanjian yang sama sucinya dengan perjanjian para nabi yang mulia, sama sakralnya dengan perjanjian Ulul ‘Azmi diantara para rasul, sama kudusnya dengan perjanjian Nabi Muhammad, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa as. Jika anda berdua memenuhi perjanjian ini dengan setia, anda akan dihimpunkan bersama manusia-manusia suci itu, di Jannatun Na’im di hadapan Rabbul ‘Alamin.
Namun jika anda berdua melanggar perjanjian ini, jika anda melepaskan kembali ikatan yang perkasa ini, jika anda menyia-nyiakan miitsaaqan ghaliizan, anda akan berhadapan dengan kemurkaan Ilahi, sebagaimana yang menimpa Bani Israil dahulu.
Marilah kita berlindung kepada Allah Swt dari pelanggaran apapun terhadap perjanjian ini. Marilah kita gantungkan diri kita kepada Yang Maha Kuasa, sehingga kita diberi kekuatan untuk menjaga dan memelihara perjanjian suci ini.
Apakah isi perjanjian suci nan perkasa ini? Allah Swt berfirman, ”Dan di antara tanda-tanda keagungan-Nya ialah Dia ciptakan kamu dari antara kamu pasangan-pasangannya, supaya antara kamu hidup tenteram bersamanya, dan Allah jadikan di antara kamu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya, dalam hal itu ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.” (QS.[30]:21).
Tujuan dari pernikahan ialah membentuk keluarga yang dipenuhi dengan kedamaian, cinta dan kasih sayang. Setelah ijab dan qabul, anda berdua dituntut untuk berniat dengan hati, berkata dengan lidah, dan bertindak dengan anggota tubuh untuk memelihara ketentraman dan mengembangkan cinta dan kasih sayang.
Karena itulah, setiap perilaku anda yang mendatangkan kebahagiaan dalam keluarga dihitung sebagai ibadah yang utama. Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang kemuliaan seorang isteri yang berkhidmat kepada suaminya. Rasulullah Saw bersabda, ”Jika seorang isteri memindahkan sesuatu di rumah suaminya dari satu tempat ke tempat yang lain karena menghendaki kebaikan, Allah akan memperhatikan dia. Siapapun yang diperintahkan Allah, pastilah akan dilepaskan dari azab-Nya.”
Dalam hadits yang lain disebutkan, ”Jika seorang isteri memberikan seteguk minuman kepada suaminya, ia memperoleh pahala yang lebih baik daripada ibadat satu tahun.” Rasulullah Saw bersabda, ”Keindahan dunia yang paling baik adalah perempuan yang shalihah.”
Ketika ditanya tentang ciri istri yang shalihah, beliau bersabda, ”Apabila kamu memandangnya, ia membahagiakan kamu; bila kamu memerintahnya, ia mentaati kamu; apabila kamu tidak bersamanya, ia memelihara dirinya dan menjaga hartamu.”
Ketahuilah, saudariku bahwa senyuman ceria anda yang membersihkan debu kelelahan dari wajah suami anda, pelukan hangat yang mencairkan salju kepedihan dari hati suami anda, telinga setia yang mendengarkan semua keluhan suami anda, dan hati bersih yang setiap saat siap berbagi duka dan bahagia dengan suami anda, semua dihitung sebagai ibadah yang utama di sisi Allah Swt.
Jika anda memberikan seteguk minuman saja dihitung sebagai ibadah satu tahun, apalagi memasukkan rasa bahagia kepada seseorang yang telah Allah takdirkan untuk menjadi pasangan hidup anda.
Ketahuilah, saudariku, bahwa Allah telah menciptakan anda sebagai tempat berteduh ketika kepala suami anda disengat panasnya zaman; sebagai tempat berlabuh ketika perahu suami anda dihempaskan badai cobaan; sebagai tempat bersandar ketika punggung suami anda dihimpit beban kehidupan. Anda telah dipilih dari enam milyar umat manusia untuk membuat kehidupan suami anda tenteram dan bahagia.
Saudariku, berkhidmatlah kepada suami anda sebagaimana Khadijah berkhidmat kepada Rasulullah Saw. Lama setelah Khadijah meninggal dunia, Rasulullah Saw masih mengenangnya dengan penuh kerinduan.
Suatu hari, ketika Aisyah mendampinginya, seorang perempuan lewat. Nabi segera berdiri menyambut perempuan itu. Ia menghamparkan serbannya untuk dijadikan tempat duduknya. Ia menjelaskan bahwa perempuan itu adalah sahabat Khadijah dan sering mengunjunginya. Ketika itu, Aisyah mengungkapkan kecemburuannya dengan mengatakan, ”Engkau sebut-sebut perempuan tua itu padahal Tuhan sudah menggantikannya dengan yang lebih baik”, Rasulullah Saw marah, lalu bersabda, ”Demi Allah, tidak ada yang dapat menggantikan Khadijah. Dialah yang memberikan kepadaku kasih sayang, ketika semua orang membenciku. Dialah yang memberikan hartanya ketika semua orang menahannya dariku. Dialah yang memberiku anak, ketika semua isteriku yang lain tidak memberikanya.”
Saudariku, jadilah Khadijah bagi suamimu. Kelak, jika anda ditakdirkan meninggal lebih dahulu, lalu orang mendatangi suami anda dan menawarkan pengganti anda, ia akan berkata sebagaimana yang Nabi katakan. Sebagai Khadijah bagi suami anda, anda telah memenuhi perjanjian suci, miitsaaqan ghaliizan.
Apa yang terjadi jika saudari melanggar perjanjian suci nan perkasa ini? Jika anda membebani suami anda di luar kemampuannya; jika anda meremehkan usahanya untuk membahagiakan anda; jika anda mengkhianatinya karena mengejar hawa nafsu; jika anda menjadikan neraka bagi suami anda; jika anda mencemari kesucian keluarga dengan menyia-nyiakan amanah; jika anda menyakiti suami anda, anda telah melanggar miitsaaqan ghaliizan, anda akan menerima azab pedih di dunia dan di akhirat.
Rasulullah Saw bersabda, ”Jika seorang perempuan menyakiti suaminya, Allah tidak akan menerima sholatnya, dan tidak akan menerima amal baiknya sampai ia membantu suaminya dan membuatnya bahagia. Begitu pula dengan suami akan menanggung dosa yang sama jika menyakiti dan menzalimi isterinya.”
Inilah nasihat Imam Ali kepada anda, ”Janganlah istrimu menjadi makhluk yang paling menderita karena perbuatanmu. Jika engkau nanti mengucapkan kalimat yang merendahkan kehormatan istrimu; jika engkau mengumbar kata-kata yang melukai hatinya; jika engkau mengumbar kehormatan istrimu; jika engkau mengumbar kata-kata yang menyakiti hatinya; jika engkau mengecilkan dan menganggap tidak berarti segala pengkhidmatannya; jika engkau mengacuhkannya, membiarkannya, menelantarkannya, dan menyengsarakannya, engkau akan berhadapan dengan pengadilan Ilahi. Istrimu akan menggiring dan menghempaskan engkau di hadapan Tuhan dengan mengadukan segala kezaliman anda. “Bekal yang paling buruk untuk Hari Akhir adalah berbuat zalim kepada hamba Allah.” Apalagi perbuatan zalim itu dilakukan kepada orang yang telah ditakdirkan Allah untuk mendampingi hidup anda.
Saudaraku, perlakukan istri anda sebagaimana dahulu Rasulullah Saw memperlakukan istrinya. Ketika orang-orang datang menemui Aisyah lama setelah Rasulullah saw meninggal dunia, mereka bertanya kepadanya tentang Rasulullah Saw. Aisyah tidak langsung menjawab, ia menarik napas panjang, seraya berkata, ”Semua tingkah lakunya indah mempesona.” Salah seorang di antara mereka mendesak, ”Ceritakan kepada kami yang paling mempesona dari apa yang anda lihat.” Dengan berurai air mata, Aisyah berkata, ”Pernah suatu ketika, di tengah malam, Rasulullah Saw bangun. Beliau berkata, ”Aisyah, izinkan aku untuk beribadah kepada Tuhanku.” Aku berkata, ”aku ingin engkau dekat kepadaku, tetapi aku ingin juga engkau menyembah Tuhanku.” Lalu, Rasulullah Saw berdiri shalat malam, menangis terisak-isak sampai basah janggutnya dengan air mata.
Bagi Aisyah, tidak ada yang paling indah selain ucapan Rasulullah Saw yang meminta izin kepadanya, bahkan untuk shalat malam sekalipun. Dalam permintaan izin itu ada kecintaan, kemesraan, penghormatan, dan ketulusan. Jika anda berhasil menumbuhkan kecintaan, kemesraan, penghormatan, dan ketulusan dalam kehidupan keluarga anda, anda sudah memenuhi perjanjian suci. Anda telah dipilih Tuhan —dari enam milyar penduduk bumi– untuk menjalankan miitsaaqan ghaliizan dengan berkhidmat kepada isteri anda.
Semoga Allah menganugerahi anda berdua limpahan kasih sayang-Nya yang tidak terhingga. Aamiin.[]
[Catatan ke – 4] : dari Abdullah Yusuf Ali (cendekiawan Muslim dan Hafiz kelahiran Bombay)
“Kebahagiaan adalah keadaan kepuasan pribadi, kebahagiaan batin yang terwujud dalam kehidupan orang yang baik, melalui nasib baik dan nasib buruk.
Kemudian, selalu ada tujuan akhir di mana pandangannya tertuju, rumah yang indah di akhirat, setelah perjuangan hidupnya berakhir. Tujuan hidup itu adalah Allah itu sendiri.”[]
Source: Demi Maha Cinta