Dunia kembali digemparkan oleh aksi penembakan brutal yang tercatat sebagai terparah dalam sejarah modern Amerika.
Sebanyak 58 korban meninggal dan lebih dari lima ratus terluka, ketika Paddcok menghujani timah panas ke arah kerumunan dua puluh ribuan orang yang sedang menyaksikan pertunjukan musik country.
Pembunuhan massal yang terjadi di Las Vegas ini mengalahkan rekor tertinggi sebelumnya saat Omar Mateen (29) memberondong sekitar tiga ratus dua puluh pengunjung dalam kelab malam komunitas gay Orlando. Lima puluh orang tewas kala itu, sedangkan 53 lainnya luka-luka.
Jika dicermati dua kejadian di atas memiliki banyak kemiripan. Jumlah korban tewas, sama-sama besar. Pelaku pembantaian dilengkapi senjata otomatis, dan keduanya mempunyai latar belakang kekerasan. Paddock dengan sejarah keluarga yang pernah dipenjara karena perampokan bank, sementara Omar Mateen berasal dari Afghanistan yang terjebak dalam peperangan panjang.
Akan tetapi sekalipun keduanya punya banyak kemiripan, dalam berita di dunia, terdapat sudut pandang berbeda.
Dalam kasus Paddock, tidak ada yang membahas identitas agama sang pelaku. Tindakannya pun tidak dihubungkan dengan agama yang dipeluk. Yang banyak diangkat justru latar belakang keluarga, pribadinya yang suka judi dengan taruhan tinggi serta mental tidak stabil.
Lain halnya ketika Omar Mateen melakukan hal yang sama. Latar psikologis mirip, mental yang tidak stabil, kesemuanya tidak dianggap cukup sebagai alasan. Sebab ia seorang Muslim, maka perilakunya pun disangkutpautkan dengan keislamannya.
Kejadian serupa berlangsung di tahun 2007, sewaktu Seung-Hui Cho, mahasiswa asal Korea menembaki mahasiswa di Virginia Polytechnic Institute and State University di Kota Blacksburg, Virginia, dan mengakibatkan 32 orang tewas dan 17 orang luka-luka.
Tidak ada media mengungkap agama sang penembak, apalagi mengaitkan aksi kejahatan dengan agama yang dianutnya.
Telusuri semua kejadian tragis sejenis, entah di Las Vegas, Orlando, Virginia, dan berbagai belahan lain, terdapat satu kesamaan lain: dalam setiap komunitas, kelompok, maupun golongan selalu terselip buah busuk.
Nyaris tidak mungkin satu keranjang seluruhnya berkumpul buah-buahan dalam kondisi sempurna. Sedikitnya akan ada satu dua yang rusak.
Hanya saja ketika buah busuk ditemukan dalam keranjang Muslim maka seluruh Muslim mendadak menjelma buah busuk.
Sedangkan ketika orang Korea yang bertindak dianggap sebagai aksi individual. Begitu pula jika pelaku teror merupakan orang kulit putih. Intinya ketika bukan penganut Islam yang melakukan kejahatan, maka pelakunya tidak akan dikaitkan dengan agama.
Washington Post mengungkap setidaknya ada 134 pelaku penembakan massal yang mengakibatkan tewasnya 948 orang (termasuk pelaku) di Amerika. Jika kita mencermati satu persatu, pelaku Muslim bisa dihitung dengan jari. Mayoritas pelaku pembunuhan massal adalah warga kulit putih bukan Muslim. Sedangkan sisanya orang Asia, Amerika Latin, atau kulit hitam.
Lalu kenapa label Muslim teroris yang tertanam? Karena saat pelakunya Muslim, maka aksinya selalu dihubung-hubungkan dengan Islam, sekalipun mungkin latar belakang pemicu merupakan persoalan kejiwaan atau masalah pribadi.
Hal menarik lain yang perlu dicatat, para pelaku pembunuhan massal mempunyai senjata mematikan dalam jumlah di atas kewajaran. Jika dipikir lebih lanjut maka kebebasan senjata yang menjadi akar masalahnya.
Uniknya, setiap muncul kejadian serupa, kebebasan senjata kembali digugat. Tapi selalu saja usaha pembatasan kepemilikannya gagal.
Lobi kekuatan pebisnis senjata begitu besar. Bahkan sumber devisa tertinggi bagi Amerika berasal dari penjualan senjata. Pebisnis senjata jelas cuma mendapatkan keuntungan besar jika kebutuhan produknya meningkat, terjadi konflik atau peperangan yang merebakkan perasaan tidak aman. Selama masih ada situasi demikian, beragam senjata yang mereka jual akan menemukan peminatnya.
Kalau begitu Islam selama ini hanya target paling empuk untuk dijadikan kambing hitam, karena siapa pun jika mau jujur – sebenarnya mampu menjawab pertanyaan berikut: “Jadi, siapakah sebenarnya yang layak disebut teroris?”
- Oleh: Asma Nadia
- Source: Republika.Co.Id