Penulis : Dina Y. Sulaeman, Magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Research Associate Global Future Institute
BRICS: Kekuatan Ekonomi Baru?
Krisis ekonomi di Eropa dan AS yang telah melemahkan Dollar menjadi momen penting bagi lima negara kapitalis plat merah (kapitalisme yang dikontrol oleh negara/pemerintah, bukan oleh swasta), yaitu Brazil, Russia, India, China dan South Africa (BRICS). Pada bulan Maret 2013 lalu, pemimpin kelima negara itu berkumpul di Durban, Afrika Selatan dan menyepakati dibentuknya lembaga keuangan sejenis IMF. BRICS memiliki kekuatan dari sisi jumpah penduduk, yaitu 40% dari populas dunia, dan GDP mereka adalah seperlima dari total GDP dunia. Bahkan Bank Dunia pun menyatakan, dalam kondisi ekonomi sulit seperti sekarang, pertumbuhan ekonomi dunia bergantung pada BRICS yang memiliki 27% kekuatan daya beli dunia. Selain itu 45% tenaga kerja global berada di negara-negara BRICS. Mereka juga memiliki cadangan mata uang asing sebesar 4,4 Trilyun Dollar.
Waktulah yang akan membuktikan apakah rencana BRICS ini akan terwujud. Namun setidaknya, ini telah menjadi ancaman besar bagi kekuatan kapitalis Barat yang sejak tahun 1944 telah mendominasi ekonomi dan keuangan internasional melalui dua institusinya, IMF dan Bank Dunia, serta pemaksaan penggunaan dollar sebagai mata uang utama dalam perdagangan dan keuangan dunia.
IMF adalah semacam lembaga yang mengumpulkan cadangan dana dalam jumlah besar untuk kemudian dipinjamkan kepada negara-negara yang membutuhkannya. Meskipun dana itu dikumpulkan dari semua negara anggotanya, namun keputusan IMF sangat didominasi oleh AS. Ketika hampir semua negara berkembang memiliki hutang kepada IMF dan Bank Dunia, AS pun mengontrol segala kebijakan politik dan ekonomi di negara-negara tersebut. Hutang yang menjerat bangsa-bangsa telah menyeret mereka ke jurang kemiskinan dan ketidakberdayaan. Mantan Presiden Brazil, Luis Ignacio Silva pernah mengatakan, “Perang Dunia III telah dimulai, perang yang sunyi… Perang ini sedang merobek Brazil, Amerika Latin, dan hampir semua negara Dunia Ketiga. Yang tewas bukanlah tentara, tetapi anak-anak; jutaan orang memang tidak terluka, tetapi mereka kehilangan pekerjaan; jembatan-jembatan tidak diedakkan, tetapi pabrik-pabrik, sekolah, rumah sakit, dan semua kegiatan ekonomi menjadi bangkrut. Ini adalah perang antara AS melawan Amerika Latin dan Dunia Ketiga. Ini adalah perang melawan hutang luar negeri, AS menggunakannya sebagai senjata utama; senjata yang lebih mematikan daripada bom atom, dan lebih merusak daripada sinar laser.” (Dikutip dari Friesen, 2012)
KTT G-20: Perhelatan Mewah Para Elit
Pada bulan September 2009, rakyat AS dan dunia menyaksikan sebuah even yang menguras biaya 20 juta Dollar. Kantor-kantor di kota Pittsburgh diliburkan. Sekolah-sekolah ditutup. Banyak ruas jalan yang diblokir sehingga mengganggu akses warga. Dan, 12.000 polisi dan tentara didatangkan ke kota itu dengan menggunakan pakaian militer sangat lengkap, seolah akan berperang. Even itu adalah KTT G-20, yaitu kelompok 20 negara: Argentina, Australia, Brazil, Kanada, China, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, México, Russia, Saudi Arabia, Afrika Selatan, Korea, Turki, Inggris, AS, dan Uni Eropa.
Para demonstran antikapitalisme mendatangi kota Pittsburg untuk berdemonstrasi, namun para polisi bersikap keras kepada mereka. Para demonstran ditembaki dengan gas air mata dan ditangkapi. Seolah, pelanggaran HAM sah saja, asal para elit dunia yang sedang bersidang dalam KTT G-20 aman dan nyaman.
Pada tahun 2010, KTT G-20 kembali digelar. Kali ini di Toronto dan menjadi sebuah even yang membutuhkan operasi pengamanan paling besar dan paling mahal dalam sejarah Kanada. Total dana yang dihabiskan, adalah 858 juta dollar Kanada. Pada tahun 2012, para pemimpin negaranegara G-20 itu berkumpul di sebuah resort mewah di pantai Los Cabos. Entah berapa jumlah dana yang dikeluarkan pemerintah Meksiko. Namun yang jelas, para demonstran anti G-20 dilarang mendekati Los Cabos sehingga mereka hanya bisa menggelar aksi demo, diskusi, dan workshop di La Paz.
Dan tahun ini, 2013, KTT G-20 akan digelar di Rusia, pada bulan September. Ada sesuatu yang unik di sini. Bukankah G-20, IMF, dan Bank Dunia berada di satu jalur, sementara Rusia seolah berada di jalur lain, dengan menyepakati berdirinya lembaga tandingan IMF bersama anggota BRICS? Bagaimana sebenarnya posisi masing-masing?
KTT G-20: Upaya Menyelamatkan IMF
Sejarah G-20 berawal dari pertemuan tertutup lima negara besar, AS, Inggris, Prancis, Jerman, dan Jepang di Gedung Putih, Washington D.C. pada tahun 1973 untuk membicarakan masalah keuangan dunia. Pada tahun 1975, barulah kelima negara (G-5) ini secara terbuka mengadakan pertemuan di Prancis. Pada tahun 1976, G-5 ditambah Italia dan Canada (membentuk G-7) bertemu di San Juan, Puerto Rico. Pada tahun 1998, Rusia pun diajak bergabung, dan terbentuklah G-8 yang mengadakan KTT di Birmingham, Inggris. Isu yang ditangani waktu itu adalah krisis finansial di Asia dan Rusia.
Para anggota G-8 kemudian merasa bahwa keputusan-keputusan yang mereka buat akan memiliki pengaruh yang lebih besar seandainya melibatkan negara-negara dengan kekuatan ekonomi besar di dunia. Itulah yang melatarbelakangi dibentuknya G-20, yang beranggotan G-8 plus 11 negara berkekuatan ekonomi besar plus Uni Eropa, sehingga kelompok ini menghimpun hampir 90% PDB (Produk Domestik Bruto) dunia, 80% total perdagangan dunia, dan dua per tiga penduduk dunia. Pertemuan perdana G-20 berlangsung tahun 1999 di Berlin. Indonesia masuk ke dalam G-20 karena bila dilihat dari PDB-nya, Indonesia berada pada urutan ke-15 dunia.
Website G-20 menyebutkan bahwa tujuan pertemuan para pemimpin negara-negara G-20 adalah untuk untuk mengatasi krisis ekonomi saat ini dan menetapkan kerangka kerja untuk mencegah krisis keuangan di masa depan, sambil berupaya mengamankan pertumbuhan global yang seimbang dan berkesinambungan, serta mereformasi arsitektur pemerintahan global. 2
Namun, dalam setiap KTT G-20 keputusan konkrit yang dicapai adalah: membantu IMF. Dalam KTT di Toronto (Juni 2010) dicapai kesepakatan untuk ‘menyempurnakan reformasi lembaga-lembaga keuangan internasional’ (yang dimaksud tentu saja antara lain IMF). Pada KTT di Seoul (November 2010) disepakati untuk ‘memodernisasi IMF’. Dalam KTT di Cannes (2011), para pemimpin negara G-20 sepakat untuk menjamin agar IMF terus memiliki sumber dana agar tetap dapat berperan sistemik terhadap negara-negara anggotanya. Di KTT Los Cabos (2012), keputusan yang diambil lebih blak-blakan lagi: berkomitmen untuk memperkuat kemampuan IMF dalam memberikan kredit hingga 456 milyar dollar.
Dalam KTT Los Cabos itulah, beberapa negara menyetujui memberikan ‘pinjaman’ kepada IMF, antara lain Singapura memberi pinjaman sebesar 4 miliar dollar AS, sementara Malaysia, Thailand dan Filipina, masing-masing 1 miliar dollar AS. Bahkan, Indonesia pun bersedia menyumbang 1 M dollar kepada IMF. Namun, laporan lain menyebutkan bahwa ada dana misterius sebesar 25 Trilyun yang diserahkan Indonesia kepada IMF. 3
Kesediaan Indonesia memberikan pinjaman uang kepada IMF jelas ironis. Gubernur BI, Darmin Nasution, menyatakan bahwa bantuan Indonesia itu adalah untuk ‘menjaga pandangan bangsa-bangsa lain kepada Indoenesia satu-satunya anggota G20 dari ASEAN’ . Dalam logika Darmin, ‘masa Indonesia yang paling besar voting share di ASEAN tidak membantu IMF?’ 4
Jusman Dalle, seorang analis ekonomi, menyebut fenomena ini sebagai bentuk ‘diplomasi narsistik’. Dengan memberikan dana ke IMF, pemerintah Indonesia seolah ingin pamer agar diakui dunia sebagai negara yang kuat ekonominya. 5 Padahal, bila dipandang dari sisi ‘diplomasi harga diri’, sebenarnya justru Indonesia sedang dibodoh-bodohi. Ketika IMF ‘jaya’, Indonesia dipaksa mengambil berbagai kebijakan yang justru memperburuk kondisi ekonominya. Kini ketika IMF kekurangan uang, malah Indonesia dimintai sumbangan.
Sejarah IMF dan Bank Dunia
IMF dan World Bank (Bank Dunia/WB) adalah dua anak kembar yang dihasilkan melalui kesepakatan Bretton Wood 1944. Menurut klaim negara-negara penggagasnya, IMF didirikan untuk menjamin stabilitas ekonomi global dan menyediakan dana pinjaman untuk negara-negara yang mengalami penurunan ekonomi supaya negara-negara tersebut bisa memulihkan kembali perekonomiannya. Sementara itu, WB didirikan untuk membantu negara-negara dalam membangun infrastruktur seperti jalan atau bendungan. Diharapkan, bila berbagai sarana publik telah dibangun, kemiskinan bisa tereliminasi.
Namun kenyataannya, seperti telah disebutkan di atas, pada hakikatnya IMF dan WB adalah lembaga makelar riba. Untuk bisa meminjam dana ke WB, sebuah negara harus menjadi anggota IMF. Setiap anggota IMF diwajibkan memberikan uang sesuai dengan kuota yang ditetapkan bagi mereka masing-masing. Kuota ditetapkan berdasarkan kekuatan ekonomi masing-masing negara, antara lain dilihat dari PDB, keterbukaan ekonominya, dan cadangan devisanya. Dua puluh lima persen dari jumlah uang itu harus dibayar dalam bentuk mata uang kuat (seperti dollar, euro, yen, atau poundsterling), dan sisanya dibayar dalam mata uang masing-masing negara. Uang yang terkumpul itulah yang kemudian dipinjamkan kepada negara-negara yang membutuhkannya.
Otoritas di IMF terdiri dari dua bagian. Pertama, Dewan Gubernur, dimana semua negara anggota menempatkan satu wakilnya. Namun, Dewan mendelegasikan hampir seluruh kekuasaannya kepada Dewan Direktur Eksekutif. Direktur Eksekutif inilah yang menangani oprasional IMF.
Kuota sebuah negara akan berdampak pada kekuatan suaranya dalam pengambilan keputusan di IMF dan seberapa besar mereka boleh meminjam uang kepada IMF. Pemilik kuota terbesar dalam IMF adalah AS, disusul oleh Jepang, Jerman, Inggris, dan Prancis (G-5). Tentu saja, merekalah yang mendominasi pengambilan keputusan di IMF dan WB. Masing-masing negara itu memiliki wakil (direktur) dalam Dewan Eksekutif IMF. Sementara itu, 19 direktur yang lain dipilih di antara 150-an negara anggota lainnya. Presiden WB biasanya warga negara AS dan dipilih melalui parlemen AS. Sementara itu Managing Director IMF adalah orang Eropa.
Kekuatan dominasi G-5 terlihat jelas ketika sebuah negara meminjam uang kepada IMF. IMF baru mengucurkan dana pinjaman bila negara itu telah melaksanakan syarat-syarat yang ditetapkan IMF: mencabut subsidi, meningkatkan pajak, liberalisasi pasar, dan meningkatkan suku bunga. Semua persyaratan itu ujung-ujungnya hanya menguntungkan negara-negara pemegang saham terbesar di IMF dan WB (yaitu negara-negara G-5). Misalnya, ketika subsidi barang-barang dicabut dan dilakukan liberalisasi pasar, maka produk dari negara-negara majulah yang akan membanjiri pasar. Atau, IMF memerintahkan privatisasi perusahaan-perusahaan negara; yang artinya sahamnya dijual kepada pihak swasta yang memiliki uang, yang tak lain para kapitalis dari negara-negara maju. IMF juga memerintahkan dilakukannya liberalisasi finansial, sehingga memberi kelonggaran pada keluar-masuknya aliran modal internasional.
Inilah yang terjadi di Indonesia setelah menerima pinjaman IMF tahun 1998: kepemilikan asing di perbankan nasional dibuka, sehingga pihak asing bisa memiliki hingga 99 persen saham di bank-bank nasional. Akibatnya, kini sebagian besar bank nasional berskala besar pada saat ini dimiliki oleh pemegang asing, kecuali bank BUMN dan beberapa bank besar nasional. 6
Hakikat IMF yang tak lain lembaga rente dan tak peduli pada nasib rakyat negara yang dihutanginya semakin tampak ketika, di antaranya, memerintahkan pencabutan subsidi kesehatan, dan uang yang dihemat dari pencabutan subsidi itu harus digunakan untuk mencicil pembayaran hutang ke IMF. IMF tidak peduli pada nasib rakyat kecil yang kehilangan akses perlindungan kesehatan; yang penting hutang wajib dibayar.
Mbalelo-nya Uni Soviet [dan Rusia]
Kondisi ini sebenarnya sudah dideteksi oleh Uni Soviet sejak awal rencana pembentukan IMF dan WB. Pada tahun 1943, pemerintah AS mengajukan proposal untuk membentuk sebuah sistem keuangan internasional. Saat itu Perang Dunia II tengah berlansgung. Semua negara Sekutu diundang untuk mendiskusikan hal ini, termasuk Uni Soviet.
Pada April 1944, AS dan Inggris sepakat untuk mengeluarkan Joint Statement para pakar yang berisi rencana pembentukan IMF. Soviet diminta menyetujui statemen itu meski tidak ambil bagian dalam penyusunannya. Disepakati pula bahwa pada 1 Juli 1944 akan diadakan konferensi moneter internasional di Bretton Woods, AS. Presiden Roosevelt memberitahukan hal ini kepada Uni Soviet sebelum mengirim undangan ke negara-negara lain.
Sejak awal konferensi, delegasi Soviet sudah memrotes AS terkait kuotanya di IMF. Soviet minta diberi jatah kuota sebesar 1 juta dollar; serta dan menolak ketentuan bahwa 25% dari jumlah itu dibayar dengan emas. Soviet pun sangat berperan dalam penyusunan Article IV section 10 Piagam IMF, yang berbunyi, “Bank dan pejabatnya tidak boleh mencampuri urusan politik internal nagara anggota; keputusan mereka tidak boleh terpengaruhi oleh karakter politik negara anggota. Setiap keputusan yang diambil hanya berdasarkan pertimbangan politik yang relevan.”
Akhirnya Soviet bersedia menandatangani Final Act of The Conference. Segera setelah PD II usai, Soviet meminta pinjaman dari AS sebesar 10 milyar dollar dan tidak dikabulkan.
Setelah itulah, Soviet menolak meratifikasi Perjanjian Bretton Woods (pembentukan IMF dan WB). Bahkan, dalam sidang majelis umum PBB tahun 1947, wakil dari Soviet mengatakan bahwa institusi Bretton Woods adalah perpanjangan tangan Wall Street; bahwa WB adalah sebuah instrumen politik bagi sebuah kekuasaan besar (yang dimaksud tentu saja negara-negara kapitalis Barat).
Pernyataan Uni Soviet ini semakin hari semakin terbukti. Namun, pada tahun 1991, Uni Soviet bubar dan negara-negara pecahannya, termasuk Rusia, beramai-ramai mengajukan permintaan keanggotaan kepada IMF. Selain untuk mendapatkan dana pinjaman dari IMF, keanggotaan di IMF juga menjadi syarat untuk mendapatkan pinjaman dari WB. Khusus untuk Rusia, Barat memberikan perhatian lebih karena keinginan untuk meliberalisasi Rusia, dilandasi kekhawatiran bahwa bila ekonomi Rusia tidak membaik, akan membawa Rusia ke arah ekstrimitas dan potensi perang nuklir. Namun, resep liberalisasi ala IMF tidak membawa hasil positif bagi perekonomian Rusia. Bahkan, pada Agustus 1998, terjadi krisis moneter hebat. Rusia yang disebut-sebut sebagai penerima paket bantuan terbesar dalam sejarah IMF, akhirnya malah jatuh ke dalam krisis finansial dan politik yang terburuk sepanjang sejarahnya (Davies and Woods, 1999). Situasi ini terjadi pada masa kepresidenan Boris Yeltsin. Saat itu, Rusia mengalami depresi ekonomi, tingkat kemiskinan melonjak tajam, dari 1,5% era Soviet menjadi 39–49% pada pertengahan 1992. Korupsi dan kriminalitas pun merajalela.
Tahun 1998, IMF kembali mengucurkan dana sebesar 22.6 milyar dollar kepada Rusia. Namun, tahun berikutnya, Yeltsin mundur dan digantikan oleh Vladimir Putin. Putin melakukan berbagai reformasi, meski dikritik oleh Barat sebagai tindakan yang tidak demokratis dan menyalahi instruksi liberalisasi ala IMF. Hasilnya, Rusia kembali stabil dan mengalami kemajuan.
Kini ketika IMF kelabakan untuk mengatasi krisis ekonomi di Eropa, Rusia malah menawarkan diri untuk membeli saham IMF sebesar 10 milyar Dollar. Rusia dan China dikabarkan memiliki cadangan devisa berkali-kali lipat dibanding dana yang dimiliki IMF. Direktur IMF, Christine Lagarde, telah mengumumkan bahwa kuota negara-negara BRICS telah meningkat dari 10,71% menjadi 14,18% . Rusia sendiri telah naik tingkat, menjadi negara urutan ke-9 pemilik saham/kuota terbesar di IMF. 7 Dan terakhir, BRICS bahkan sepakat untuk mendirikan lembaga tandingan IMF.
Penutup
Rusia telah membuktikan bahwa justru dengan menolak resep liberalisasi ala IMF, kekuatan ekonominya malah semakin meningkat. Jalinan kerjasama di antara negara-negara BRICS telah memunculkan kekuatan ekonomi baru yang mampu menghadang dominasi ekonomi Barat. Artinya, Indonesia sebenarnya memiliki alternatif sekutu. Selama ini, Indonesia telah memilih bersekutu dengan Barat, namun hasilnya hanyalah belitan hutang yang tak ada habisnya, kemiskinan yang merajalela, dan tergadainya kekayaan alam. Tentu sudah waktunya bagi Indonesia untuk bergerak dan berubah. Bila melihat pengalaman Iran yang puluhan tahun diembargo Barat, terbukti bahwa tanpa Barat pun Iran bisa meraih kemajuan ekonomi, sains, dan teknologi. Seperti diketahui publik, Iran menjalin kerjasama erat dengan Rusia, China, dan negara-negara Amerika Latin.
Namun tentu saja, perlu diwaspadai pula bahwa bahwa asas untung-rugi akan tetap berlaku dalam negosiasi dengan BRICS. Mereka pastilah akan membela kepentingan nasional masing-masing. Karena itu, diplomasi harga diri yang mengedepankan kepentingan nasional harus tetap dipegang teguh oleh para negosiator dan diplomat Indonesia. Kerjasama yang benar adalah yang menguntungkan kedua pihak. Jangan sampai terjadi, berupaya keluar dari mulut harimau, tetapi malah jatuh ke mulut buaya.
Referensi:
- Bernstein, Edward. The Uni Soviet dan IMF. Dimuat dalam A Retrospective on the Bretton Woods System: Lessons for International Monetary Reform (ed: Michael D. Bordo and Barry Eichengreen). 1993. Chicago: The University of Chicago Press
- Davies, Nigel Gould and Ngaire Woods.1999. Russia and the IMF. Makalah dapat diunduh di: http://www.globaleconomicgovernance.org/wp-content/uploads/Russia%20and%20the%20IMF.pdf
- Friesen, Elizabeth. 2012. Challenging Global Finance: Civil Society and Transnational Networks. New York: Palgrave Macmillan
- Mason, Edward. 1973. The World Bank Since Bretton Woods. Washington: Brookings Institutions.
- Nelson, Rebecca M. and Martin A. Weiss. 2013. IMF Reforms: Issues for Congress. Makalah dapat diunduh di: http://www.fas.org/sgp/crs/misc/R42844.pdf
- The History of The G20. The Wall Street Journal, 2 Apr. 2009. Web. 24 Sept. 2009
http://www.theglobal-review.com