Home / Agama / BOM BUNUH DIRI

BOM BUNUH DIRI

capture-20130505-103851Diskusi Terbatas Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) dengan tema Bom Bunuh Diri ditinjau dari segi Psikologi Sosial bersama Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono

Sosok Pelaku Teror

Terjadinya Bom Bali II membuat kalangan masyarakat Indonesia dan bahkan dunia Internasional kembali tercengang. Reaksi orang setelah itu mulai merasa ngeri karena ternyata orang biasa dapat melakukan perbuatan seperti itu.

Pakar Psikologi Sosial UI Sarlito W Sarwono, telah mewawancarai beberapa orang terkait kasus pemboman di Indonesia. Satu diantaranya bernama Abu Fidha alias Ustad Saefuddin Beliau mewawancara Ustad Saefuddin atas permintaan Mabes Polri yang sedang memeriksa beberapa tersangka dalam kasus-kasus pemboman.

Perlu diketahui sebelumnya bahwa Abu Fidha ditangkap polisi di pesantrennya di daerah Jawa Timur, karena menyembunyikan dua orang buronan polisi yang dicurigai sebagai otak dari rangkaian pemboman di Jakarta dan Bali yaitu Dr. Ashari dan Noordin M Top.

Pada saat penangkapan terjadi kedua buronan itu terlebih dahulu diminta melarikan diri oleh Abu Fidha, sehingga polisi gagal menangkap mereka. Bahkan Abu Fidha melakukan perlawanan, sehingga polisi terpaksa memukulnya untuk menangkapnya. Selanjutnya Abu Fidha ditahan di Markas Polisi Daerah Jawa Timur di Surabaya.

Setelah diperiksa selama kurang lebih 2 minggu, Abu Fidha menunjukkan kerja sama yang baik dengan polisi, bahkan ia menjanjikan akan menunjukkan lokasi Dr. Ashari dan Noordin M Top jika polisi mau melepasnya.

Atas dasar itu, polisi melepaskan Abu Fidha di suatu tempat di Malang, dan beberapa hari kemudian ia ditemukan di halaman sebuah Rumah Sakit Jiwa di Malang dalam kondisi tubuh penuh luka akibat penganiayaan.

Ayah Saefuddin, bernama umar adalah seorang purnawirawan Polri, berpangkat Mayor dan terakhir berdinas sebagai perawat di Direktorat Kedokteran dan Kesehatan di Polda Papua.

Ia berasal dari Semarang. Ayahnya sejak kecil mendidiknya dengan disiplin militer sehingga Saefuddin kecil sejak kelas 5 SD minta pindah ke Gontor. Dalam analisis saya untuk melarikan diri dari kekerasan.

Ayahnya bukan ulama jihad / kyai , hanya polisi biasa. Anak ke 2 dari 7 bersaudara yang gagap sejak kecil itu kemudian pergi ke Gontor dan dapat beasiswa ke Mekah, Jedah dan Mesir. Kemudian dikirim ke Filipina dan Afganistan lalu pulang ketempat asalnya di Semarang.

Ustad Saefuddin lalu membuat pondok pesantren dan dia menjadi ustad disitu sampai suatu saat datang Noordin M Top dan Dr. Ashari yang dititipkan oleh seorang teman ulama setempat dengan pesan agar mereka dikembalikan ke jalan yang benar.

Lalu keduanya disembunyikan ke suatu gudang dan justru merekrut anak buah Saefuddin untuk dijadikan “bom hidup”, siap berjihad bunuh diri.

Ketika mau ditangkap polisi keduanya melarikan diri. Tinggallah Saefuddin sendiri yang lalu ditangkap dan dibawa ke Surabaya dan diperiksa. Disitulah Dia sangat ketakutan/terjadi konflik karena memiliki kepribadian lemah.

Dari 7 bersaudara ia sendiri yang lari dari bapaknya, kemudian mendapat penampungan di Gontor dan Saudi, jadi dia berlindung dibalik institusinya.

Ketika ia ditangkap oleh polisi, kemudian dimasukkan tahanan dan diinterogasi ia kembali lemah terus bingung, disatu pihak dia takut sama ancaman Dr. Ashari dan Noordin M Top, dan di lain pihak ia takut sama polisi.

Akhirnya ia bilang “Pak saya dilepas saja nanti saya tunjukkan dimana Noordin dan Ashari”, Atas dasar itu dia dilepas sampai Jawa Barat tapi lama kelamaan makin bingung lalu kembali ke Malang terus seperti orang bengong masuk kampung keluar kampung seperti orang gila yang kemudian ditangkap dan dipukuli ramai – ramai.Setelah itu dibawa ke sebuah Rumah Sakit Swasta di Paseban.

Saya temui waktu itu ia ditemani oleh bapaknya. Oleh Prof Dadang Hawari ia didiagnosa Schizophrenia tapi saya lihat tidak ada lagi, tetapi mungkin dalam keadaan akut, tdk bisa ngomong, Prof Dadang mendiagnosis ia Schizophrenia.

Ketika dengan saya jauh lebih tenang, bicaranya bagus, bisa cerita masa lalu, tidak ada Schizophrenianya lagi. Jadi kalau Schizophrenia biasanya tidak sembuh, tapi tampaknya ini shock saja.

Setelah dalam lindungan polisi di rumah sakit, diperlakukan baik, ia tenang lagi. Kesimpulan saya setelah mendengar pengakuan 3 atau 4 orang itu sosok, cara ngomong kurang lebih sama begitu yakin tapi dibalik keyakinannya itu kompensasi untuk menutupi kekosongan hidupnya.

Kalau ditelusuri riwayat pelaku, ketika kecil pasti ada masalah, traumatik, kosong. Kemudian dalam kekosongan jiwanya diisi, jadi berbahaya. Di UI saya dengar dari teman yang mengurus mahasiswa di UI perekrutan aktivis ekstrimis Islam dilakukan saat – saat pendaftaran / registrasi mahasiswa baru.

Calon Mahasiswa yang dari desa biasanya datang sendiri yang kelihatannya culun, bingung mencari loket di didekati, ditolong dibantu mendaftar kemudian diajak kerumah disitu lalu dimasukkan ke sentra – sentra dan mulai diin doktrinasi.

Maka di UI sekarang ini cukup nampak mahasiswa yang “ekstrim” misalnya laki-laki pakai janggut, kalau sholat celana digulung, tidak mau salaman sama perempuan, lalu yang menjadi perlu kita waspadai adalah orang seperti ini banyak.

Di saat banyak penggangguran, orang putus sekolah, hubungan keluarga bermasalah, orang-orang yang kosong, sebentar pergi ke bendungan hilir banyak orang duduk di pinggir jalan, itu berbahaya.

Mengatasinya dengan meningkatkan kesempatan kerja, harus sekolah, kerjaan tetap dan jelas statusnya sehingga tidak akan mudah dimasuki. Sekarang maupun zaman PKI dulu sama.

PKI itu dulu bukan bom bunuh diri tapi teroris seperti itu banyak, waktu pertempuran, pembantaian di Madiun itu yang masuk.

Karena orang orang yang kosong inilah yang kebetulan Islam, maka inilah yang masuk. Intinya orang kalau lagi kosong apa saja masuk. Ada yang berspekulasi bahwa ada yang dikasih uang, keluarganya dijamin, saya tidak percaya itu.

Dalam bahasa Psikologinya, dalam teorinya Maslow, aktualisasi dirinya itu terpenuhi sementara ini dia nobody is nothing tiba-tiba menjadi martir, utusan Allah, pejuang dan sebagainya langsung ada kenaikan dan sangat bermakna bagi yang bersangkutan. Jadi ini teknik – teknik merekrut dan sebagainya.

Saya memberikan Kutipan suatu buku dari IRAN ditulis oleh Dr. Nader Poerhassan, 2002 (The Corruption of Moslem Minds, New Mexico: Barbed Wire Publishing, Versi Indonesia diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin, 2004, Gara – gara Ulama, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta), tentang bagaimana doktrin agama bisa menyesatkan umat.

Orang-orang Syiah menurut Poerhassan itu didoktrin begitu kuat dengan agama sehingga dia mempunyai kepercayaan yang menyimpang.

Kekuasaan dari rezim agama pada umat, cara mengatasinya dengan mengajari proses harus dilakukan, tidak bisa langsung jadi, harus diciptakan sistem yang bisa menangkal, mungkin lembaga ini tidak dalam posisi seperti itu, mau dapat biaya dari mana, bukan policy maker, tetapi melalui jaringan yang bisa mempengaruhi decision maker yang penting bisa menciptakan lingkungan yang kohesif.

Paling tidak orang mempunyai kegiatan misalnya karang taruna digiatkan lagi, dulu ada pramuka harus dari situ memulainya.

Dalam seminar dengan MenHanKam saya mengusulkan dihidupkan kembali WaMil yang membuat orang mempunyai kegiatan, arah dan visi tertentu. Secara makro harus bisa menciptakan kondisi yang dapat menjawab orang yang kosong kepalanya.

Sekarang Islam nanti PKI, seperti Pol Pot di Kamboja, yang digerakkan petani – petani, anak muda yang bodoh dengan diberikan senjata untuk membunuh professor. Itu karena dikasih sesuatu. Itu tidak terjadi di Thailand. Jangan menjadi masyarakat Kamboja tahun 70 – an.

Kalau kita lihat orang bengong jika kita masuk pasti masuk. Diajak ngobrol dijanjikan macam-macam pasti masuk. Yang menjadi masalah mereka merekrut orang untuk melakukan bunuh diri.

Kita harus menetralisir seluruh bangsa ini dari kelompok marginal. Dari sekian juta orang dapat 10 atau duapuluh orang saja sudah cukup untuk melakukan perbuatan itu.

Untuk mencegah terjadinya aksi teror itu harus dengan sistem tidak bisa orang per orang, pemerintah juga tidak akan mampu karena akan memerlukan biaya tinggi.

Program kita harus bekerja dalam tataran sistem, bukan hanya ditujukan kepada perorangan atau secara subjektif kelompok aliran agama tertentu karena tiap agama mempunyai potensi untuk menguatkan keyakinan agamanya dan disisi lain mempunyai kekosongan tertentu yang dapat menyimpang.

Aspek Yang Disorot

Tentu ada orang yang membicarakan dari segi sosiologi, kriminologi, terorisme itu sendiri, sistem jaringan dan teknologi.

Kalau dari orang agama yang dimasukkan bukan orang yang pandai kutip ayat- ayat tapi yang bisa menganalisis mengenai agama seperti Rektor UIN Azuumardi Azra, Cak Nur (almarhum), yang mempunyai wawasan bagaimana agama bisa berpengaruh kepada orang seperti ini.

Orang yang berpengalaman mengenai studi tentang sosiologi antropologi, keamanan, dan terorisme itu sendiri atau orang yang mengerti tentang terorisme.

Analisis Dr. Nader Poerhassan

Dr Poerhassan adalah putera seorang perwira AU Iran jaman Shah Reva Pavlevi. Tahun 1979 bersama kakaknya, Amir, tinggal di AS untuk belajar.

Dia pernah pulang sebentar untuk bertempur melawan Irak, tetapi diminta ayahnya kembali ke AS dan menikah dengan anggota COWAD AS bernama Cris, yang beragama Katolik.

Dari perkawinan itu mereka mempunyai 2 anak.
Bagi kebanyakan pemeluk Islam, termasuk kaum Suni, juga di Indonesia, pandangan Dr. Poerhassan sangat mungkin tidak bisa diterima.

Berikut temuan Dr. Poerhassan mengenai analisisnya :

  1. Pemimpin agama sangat berpengaruh besar dalam menyebarkan sentimen agama dan kebencian. Misalnya di IRAN orang takbir : Allahu Akbar 3 x, Mampus Amerika , Mampus Rasul, Mampus Israel. Disana ada buku (Kitab Kuning) yang isinya peraturan agama, dikodifikasi seperti hukum pidana yang menjadi acuan.
  2. Hadis sebagai pencemaran terhadap Al Qur’an. Al Qur’an sendiri menyebut Isa, anak Maryam, sebagai nabi yang paling dimuliakan Tuhan, bukan Muhammad. Isa sudah ditentukan sebagai nabi sejak dalam kandungan, sementara Muhammad sendiri baru dijadikan Rasul pada usia 40 tahunan. Isa diberi Tuhan mukjizat dan Ruh Kudus. Muhammad diklaim sebagai nabi teragung. Tetapi kalau itu benar, kata Poerhassan, tentu hal itu akan dinyatakan dalam Al Qur’an.
  3. Muhammad sengaja dipilih dari seorang rakyat jelata yang buta huruf, untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan, menjelaskannya dan memberi contoh-contoh kepada umat, tanpa ia sendiri membuat aturan-aturan baru. Ayat-ayat Tuhan yang dibawakannya pun tidak berbeda dan hanya penegasan kembali dari ayat-ayat kitab suci sebelumnya (Zabur dan Injil), yang sudah disiarkan oleh nabi Musa dan Isa.
  4. Adanya peraturan – peraturan rumit yang dibuat dalam bentuk Risalah (fatwa ulama Syiah) yang konon bersumber dari hadis. Misalnya Jika seseorang menikahi sepupunya, dan kemudian ia berzina dengan ibunya (yaitu bibinya), maka perkawinannya dengan sepupu itu tetap sah. Contoh kedua adalah mandi sunah yang terbaik adalah pada hari Jum’at dan bulan puasa, setiap tanggal ganjil setelah tanggal 21 bulan puasa, atau setiap malam, khususnya pada saat menjelang matahari terbenam (tak satu pun ayat Al Qur’an yang menyebutkan hal itu).
  5. Ayatullah Khomeini mengatakan bahwa jika ada panggilan jihad, maka anak-anak dibawah umur pun tidak perlu minta ijin orangtua untuk berjihad. Tidak mengherankan jika para pemimpin agama mampu meyakinkan bahwa tindakan-tindakan keji yang dilakukan oleh umat Islam adalah untuk keagungan Tuhan.

Teror Atas Nama Tuhan

Seorang peneliti Amerika bernama Jessica Stern meneliti bagaimana karakter orang – orang yang menjadi pemimpin agama dan para pengikut mereka, yang dalam kenyataannya justru melakukan berbagai kekejaman seperti terorisme, pembunuhan dan sebagainya, sehingga mereka bisa menjadi lebih jahat dari pada kejahatan yang konon ingin mereka berantas itu sendiri.

Menurut Stern, terorisme atas nama agama bukan barang baru, melainkan sudah berlangsung sejak dahulu. Antara tahun 1090 sampai dengan 1275 (hampir 2 abad), misalnya, ada sebuah organisasi yang bernama The Assasins atau Ismaili-Nizari, yang bertujuan memurnikan Islam.

Anggota-anggota sekte ini menyerang korbannya dengan pisau di siang hari bolong, di tengah keramaian. Kematian setelah menewaskan korbannya adalah salah satu tujuan tindakan teror itu sendiri. Mereka dianggap sebagai martir yang mati syahid, persis dengan pembom bunuh diri jaman sekarang, yang berjihad dengan mengikatkan bom ditubuhnya dan menyerang tempat-tempat umum.

Ada perbedaan antara penjihad 10 abad yang lalu dengan yang sekarang. Dulu, anggota – anggota The Assasin hanya mengincar politisi, ulama atau tokoh masyarakat yang menentang ajaran kelompok mereka.

Sekarang para teroris bunuh diri tidak memilih korbannya termasuk anak-anak, wanita, orang jompo, sipil, atau militer, kulit putih atau hitam, bahkan yang seagama. Mereka bisa melakukannya, karena mereka menganggap para korban itu bukan manusia-manusia, sebagai hasil dari rangkaian pelatihan yang disebut Densitisation Training yang berlaku pada semua agama/sekte.

Orang – orang yang bisa diindoktrinasi adalah orang-orang yang ambivalent, bingung menatap masa depannya, dan tidak tahu harus memilih jalan yang mana.

Mereka bisa terdiri dari orang yang secara sosial-ekonomi kurang punya prospek ke masa depan, atau orang muda, termasuk dari golongan terpelajar yang merasa tersisihkan dari lingkungan keluarganya, atau tidak puas kepada pemerintah. Buat para anggota ini sekte-sekte puritan seperti ini menawarkan jalan yang jelas membedakan yang benar-salah, kami – mereka, dan hitam – putih.

Misalnya, Fatima Ummu Yahya Latiha El-Fadel, pengikut Ja’far Umar Thalib yang juga penerjemah Jessica Stern. Ia bergabung dengan Laskar Jihad setelah mewawancai Ja’far setelah suatu acara unjuk rasa. Kekagumannya pada Ja’far membuat mahasiswi sebuah Perguruan Tinggi Negeri terkemuka ini, bukan hanya menghormati Ja’far pribadi, melainkan juga memperlakukan isteri-isteri Ja’far bagaikan dewi atau peri.

Sementara itu Stern sendiri menyebut Ja’far Umar Thalib sebagai “criminal religious radical”. Dia pernah merajam seorang wanita yang mengaku berzina, dan ketika polisi menahannya, ia menuduh bahwa ada persekongkolan Yahudi – Cina yang mengatur penangkapannya.

Ja’far sendiri sangat menjaga citranya yang tinggi dan jauh dari jangkauan umat biasa. Ia akrab dengan Wakil Presiden (ketika itu) Hamzah Haz, yang kebetulan adalah Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, sebuah partai Islam yang semasa Soeharto menjadi partai oposisi.

Ia pun tinggal di daerah yang dirahasiakan di Solo. Untuk menemuinya Stern harus melalui beberapa prosedur yang cukup rumit. Ketika bertemu, ia pun tidak bisa bertatap muka langsung, karena wawancara dilakukan dari balik tirai.

Dalam wawancara itu, Stern sendiri ditemani oleh penterjemahnya, Fatima yang juga salah satu pengikut Laskar Jihad, dan isteri ke-3 Ja’far yang cantik dan terpelajar (mampu menulis surat dalam bahasa Inggris yang isinya adalah menghimbau Stern untuk beralih agama).

Yang paling penting adalah klaim Ja’far sendiri bahwa ia mempunyai ajaran yang lebih puritan dan radikal dari Osama bin Laden. Dikatakannya bahwa kepercayaan masyarakat Jawa yang merupakan campuran Islam dengan Hindu – Budha dan animisme, maupun ajaran Wahabi yang sudah terkontaminasi oleh keinginan Kerajaan Saudi Arabia untuk menguasai dunia melalui ajarannya yang bertumpu pada hadis – hadis yang lemah, harus dimodernisasi dengan kembali ke ajaran – ajaran Islam yang benar versi Ja’far.

Strategi eksklusivisme untuk meninggikan citra diri agar dihormati dan disegani oleh umatnya, menurut Stern, bukan monopoli Ja’far ataupun Islam radikal lainnya.

Strategi ini digunakan oleh setiap pimpinan Sekte dan Kultus. Salah satu caranya dengan mengajarkan tentang hari kiamat dan pengadilan akhir yang menimbulkan kecemasan.

Di sisi lain tawaran perlindungan ditawarkan oleh sekte agama tersebut. Para anggota diharuskan untuk saling melindungi rekannya sekelompok dari ancaman pengaruh dari luar.

Jika ada yang gagal melakukan ini, akan ditegur dan dipermalukan di depan umat yang lain. Dan untuk menegaskan eksklusivisme mereka, biasanya mereka memilih tempat yang eksklusif dan terisolir.

Pada tanggal 19 April 1985, disebuah daerah pinggiran di negara bagian Arkansas, AS, sejumlah 200 orang anggota pasukan pemerintah AS, mengepung sebuah pemukiman yang terisolir dari keramaian, yang dihuni oleh pengikut sebuah sekte Kristen bernama CSA (Convenant, the Sword and the Arm of the Lord) yang dipimpin oleh pendeta James Ellison. Kelompok sekte ini sudah mengantisipasi serangan musuh dari luar dengan cara menyebar ranjau disekitar pemukiman mereka.

Serta menyediakan bahan pangan untuk penghuni di dalam pemukiman yang cukup untuk 5 tahun.
Pemimpin sekte Aum Shinrikyo, Shoko Ashara, meramu doktrinnya berdasarkan campuran ajaran – ajaran Hindu, Budha dan Kristen untuk menjaga legitimasi otoritasnya dan meminta kesetiaan penuh anggota-anggotanya.

Dalam ajaran buatannya sendiri itu dikembangkan doktrin – doktrin yang mengajarkan bahwa pemimpin sekte adalah manusia luar biasa yang tidak bisa melakukan kesalahan karena ia adalah bagian dari Yesus.

Maka ia boleh saja melakukan hal – hal yang menyimpang, tanpa disalahkan seperti poligami, multiple sexual partners dan meminta agar anggotanya menyerahkan seluruh kekayaannya kepadanya.

Pimpinan kelompok Kristen di Maluku bernama Benny Doro juga mengembangkan mitos – mitos tentang dirinya. Ia mengatakan kepada Jessica Stern yang mewawancarainya, bahwa dirinya mendapat perintah langsung dari Tuhan Yesus untuk menjadi komandan militer dan atas perlindungan Tuhan Yesus ia kebal peluru, bahkan bisa menangkap peluru dengan jarinya.

Sudah tidak terhitung berapa Muslim yang pernah dibunuhnya. Demikian juga pemimpin Yahudi radikal di Israel yang bernama Yoel Lerner. Ia bermaksud menghancurkan masjid di kota Jerusalem, karena ia sudah berdialog langsung dengan Tuhan.

Kekerasan atas nama Agama pada Orang Awam

Kepribadian yang ditunjukkan pada kasus Abu Fidha adalah gambaran kepribadian yang terganggu. Stress pada masa kanak – kanak yang kemudian disalurkannya kepada gerakan ekstrim yang dirasakannya lebih memberikan kenyamanan, perlindungan dan kepastian. Demikian pula yang terjadi atas diri Fatima, salah satu pengikut Ja’far Umar Thalib.

Sebaliknya, Ja’far Umar Thalibnya sendiri, atau Noordin M Top, Dr. Ashari dan Osama Bin Laden tentunya juga mempunyai kepribadian yang lain dari yang lain, karena mereka tidak hanya punya ideologi religius tertentu, melainkan mereka bisa merekrut orang untuk mengikuti ideologinya bahkan menyuruh orang lain berjihad dan menjadi martir untuk ideologinya.

Jadi faktor individuallah yang lebih besar perannya dalam menentukan ekstremitas keagamaan seseorang, baik sebagai pengikut maupun sebagai pimpinan.

Tetapi penelitian Melissa (2005) terhadap sejumlah mahasiswa di Jakarta, menunjukkan kecenderungan lain. Dalam penelitiannya, ia mengasumsikan mahasiswa sebagai golongan muda yang kritis, sehingga bebas prasangka, termasuk agama, khususnya dalam hal memilih presiden wanita.

Tetapi hasil penelitiannya membuktikan lain, yaitu bahwa buat mahasiswa agama tetap merupakan hal yang tidak dapat dikritik. Dengan demikian berarti bahwa faktor rasio yang seharusnya sudah terasah melalui proses pendidikan tinggi, tidak mengubah pola pikir mereka jika menyangkut agama.

Jika temuan Melissa ini benar dan berlaku umum, maka bangsa ini akan menghadapi kesulitan yang cukup serius di masa yang akan datang, khususnya yang menyangkut kehidupan antar umat beragama.

Yang lebih mencemaskan adalah bahwa gejala ini bukan hanya tipikal Indonesia, melainkan sudah merupakan gejala global.

Manipulasi terhadap ajaran agama seperti disinyalir oleh Dr. Poerhassan, terjadi di semua sekte dan agama yang menyebabkan makin mengentalnya prasangka dan sikap ekstrim para penganut agama sehingga makin besar kemungkinan akan terjadinya tindak kekerasan dan terorisme.

Pada suatu titik bisa terjadi bahwa terorisme atau membunuh atas nama agama, tidak perlu dilakukan atas nama suatu perkumpulan atau gerakan yang terorganisasi, melainkan bisa dilakukan sendiri sebagai pribadi-pribadi.

Meskipun demikian ada yang berpandangan optimistik mengenai sikap para penganut agama, misalnya Prof. Tu Wei Ming, seorang pakar sejarah agama-agama dari Universitas Harvard, mengatakan bahwa Konvergensi antar semua agama dapat terjadi pada suatu saat di abad ke – 21 ini, karena pasti akan terjadi dialog antar agama, melalui berbagai sarana media massa yang semakin canggih dan setiap orang yang terlibat pada dialog itu akhirnya akan berpaling kepada hari nurani masing-masing.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada skala makro ada manipulasi ajaran agama ( Dr. Nader Poerhassan ).

Sedangkan pada skala messo dan mikro ada pemimpin – pemimpin dan organisasi agama eksklusif yang menawarkan “jalan keluar” untuk mereka yang “bingung” ( Jessica Stern ).

Pada tingkat individual digambarkan bahwa individu – individu yang ambivalen atau depresif bisa menjadi sasaran ekstrimitas (Abu Fidha).

About admin

Check Also

Kalimat Haqq Bertujuan Bathil

“Sebuah fenomena akhir zaman yang penuh fitnah, tipuan dan kepalsuan, menuntut kita semua untuk istiqâmah ...